Dua pekerja percetakan diadili karena kasus hak cipta. Terobosan terhadap kekebalan percetakan. PERCETAKAN ternyata tak bisa lagi berlindung di balik "isi di luar tanggung jawab percetakan". Buktinya, dua pengusaha percetakan, Welly Bolung, 36 tahun, dan Eddy Suherman, 30 tahun, pekan-pekan ini diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Welly dan Eddy -- masing-masing direktur utama dan kepala produksi percetakan CV Indonesia Printer di Jakarta -- dituduh Jaksa Charles Mindamora telah mencetak dus kemasan dan brosur (buku petunjuk) panci pemanggang, yang diduga "bajakan". Perbuatan itu, dakwa jaksa, dilakukan kedua terdakwa pada Januari 1990. Waktu itu, Eddy memperoleh order dari Lim Chayadi (pengusaha PT Picard Jaya Marketing) untuk mencetak 2.000 lembar dus dan brosur panci pemanggang merek Super Micro. Lim menyediakan klise order itu. Karena itu, biaya pencetakan or- der tersebut hanya Rp 1,35 juta. Belakangan, setelah panci pemanggang merek Super Micro beredar di pasaran, ternyata desain dus dan brosur tadi diketahui sebagai tiruan desain dus dan brosur panci pemanggang merek Disco Roaster -- kebetulan, penampilan kedua panci pemanggang itu hampir sama. Bedanya, ya, hanya mereknya diganti dengan merek Super Micro. Lim, 26 tahun, si pemberi order, sudah lebih dahulu diadili di pengadilan yang sama. Tapi, ia hanya diganjar hukuman percobaan. Persoalannya kini, bisakah Welly dan Eddy, yang hanya orang percetakan, juga dimintai pertanggungjawaban secara hukum. Jaksa pengganti, Fauzi Yunus, menganggap bisa. Sebab, katanya, sebagai pengusaha percetakan, seharusnya mereka mengetahui apakah pemesan memang pemegang hak cipta yang sah. Setidaknya, ya, mengecek nomor registrasi merek dagang -- sebagaimana kebanyakan produk bermerek sah. Toh, kedua pengusaha itu menerima saja order Lim kendati desain (klisenya) tanpa bernomor registrasi. Ahli hukum pidana, Prof. Muladi, berpendapat serupa. Sebuah percetakan, katanya, juga harus bertanggung jawab jika mencetak barang (buku) berisi ajaran komunis, yang terlarang. Menurut Muladi, tameng percetakan, kalimat "isi di luar tanggung jawab percetakan", sudah kuno. "Percetakan tak bisa berlindung di balik kalimat itu," kata Dekan FH Universitas Diponegoro Semarang. Hanya saja, tambah Muladi, persoalannya mampukah jaksa membuktikan unsur kesengajaannya. Yang jelas, "Percetakan yang profesional biasanya waspada dan menanyakan kepada pemesan apakah barang itu jiplakan atau bukan," kata Muladi. Sebaliknya, Welly menganggap pihaknya tak bisa dinilai ikut bersalah. Sebab, percetakannya tak tahu-menahu keabsahan order Lim itu. "Kalau setiap kali menerima order kami harus mengecek apakah sudah ada hak ciptanya atau belum, kapan kami bisa dapat order? Sebab itu, Welly tak bisa menerima jika pihaknya sampai dihukum pengadilan. "Dihukum sehari pun, saya tidak mau. Soalnya, ini menyangkut kepercayaan pelanggan," katanya. Pemuda lulusan STM itu juga menyinggung bahwa kasus ini tak akan terjadi jika saja Lim mau mengeluarkan biaya lebih besar untuk membuat desain sendiri (tak menjiplak). Menariknya, semangat kejaksaan membidikkan pasal hak cipta kepada kedua pengusaha itu tak sehebat tuntutannya. Sabtu pekan lalu, kejaksaan hanya menuntut Eddy 6 bulan penjara, sementara Welly 6 bulan penjara dalam masa percobaan setahun. Padahal, Undang-Undang Hak Cipta tahun 1987 mengancam pelanggar dengan hukuman maksimum 7 tahun penjara dan denda Rp 100 juta. Happy S., Nunik Iswardhani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini