Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tiga poster yang mempersoalkan pengangkatan penyelidik internal menjadi penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi tertempel di dinding kantin bagian belakang Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, sejak 16 April lalu. Salah satu poster bertulisan “Mau menjadi penyidik KPK? Ikuti pelatihannya. Simsalabim, jadilah penyidik tanpa tes. Diskriminasi hak”. Poster lain mencantumkan tulisan agar siapa pun tak mencopot plakat-plakat tersebut.
Poster serupa tertempel di tembok-tembok lantai B-2 hingga lantai 16 kantor komi-si antikorupsi. Atas perintah pimpinan KPK, pegawai Biro Umum sempat mencopotnya. Dari grup percakapan WhatsApp pegawai KPK, para penyidik dari Markas Besar Kepolisian RI memprotes pencopotan poster. Ada juga yang langsung menyampaikan protes lewat pesan WhatsApp kepada orang yang mencopot -poster. Mereka menyuarakan penolakan karena penyidik baru ini langsung mendapat posisi di golongan 15-3. Sedangkan beberapa penyidik polisi yang sudah lama di KPK masih ada yang golongannya di bawah mereka, 15-1.
Ardian Rahayudi dan Pandu Hendrianto termasuk yang paling keras menyuarakan penolakan di grup percakapan. Ardi-an, salah satu penyidik kasus suap bekas Ketua Dewan Perwakilan Daerah, Irman Gusman, mengaku ia bersama penyidik dari kepolisian lainnya yang kembali memasang poster-poster itu di sejumlah titik kantor KPK pada 21 April lalu.
Wakil Ketua KPK Saut Situmorang tak membantah jika sejumlah poster bernada protes itu disebut ditempel penyidik kepolisian. “Tidak apa-apa. Asal tidak masuk kategori vandalisme, itu normal saja,” kata Saut, Jumat, 3 Mei lalu. Seorang penyidik polisi yang ditemui Tempo pada Jumat, 3 Mei lalu, mengatakan ia termasuk yang ikut menempel poster. Tapi penyidik ini meminta namanya tidak dikutip. “Pemasang-an poster itu sudah seizin Bagian Umum,” ujar polisi berpangkat komisaris ini.
Poster protes pengangkatan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi terpasang di dinding kantin gedung KPK, Jakarta, Jumat, 3 Mei lalu./TEMPO/Imam Sukam
Bukan hanya dalam bentuk poster, protes para penyidik Polri juga dituangkan dalam layang berjudul “Surat Terbuka untuk Negeri” yang disertai lampiran tanda tangan 42 penyidik KPK dari kepolisian. Selain ditujukan kepada pimpinan KPK, surat ditembuskan kepada Presiden Joko Widodo. Salah seorang penyidik kepolisian yang ditemui Tempo masuk daftar yang membuat surat. “Kami sebenarnya ada 50 orang di KPK. Tapi 6 lainnya sedang tugas di luar kota dan 2 lagi tengah sekolah, jadi tak ikut tanda tangan,” katanya.
Isi surat menyebutkan pangkal persoal-an bermula pada akhir 2018. Kala itu terjadi pertemuan terbatas penyidik soal rencana pengangkatan 22 penyelidik internal. Dalam rapat, para polisi berpangkat tertinggi ajun komisaris besar menganggap pengangkatan penyelidik internal menjadi penghuni lantai sembilan gedung KPK terkesan hanya mengimbangi jumlah penyidik dari kepolisian. Lantai sembilan merupakan ruangan penyidik KPK.
Mereka juga mempersoalkan penolakan pimpinan atas rekrutmen baru -penyidik da-ri kepolisian. Pada awal 2019, Deputi Pe--nindakan KPK Inspektur Jenderal Firli mengajukan rekrutmen terhadap penyidik madya, yakni dengan komposisi 12 komisaris besar, 12 ajun komisaris besar, dan penyidik muda. Pimpinan KPK sempat menyetujui pengajuan Firli ini, tapi kemudi-an dianulir dengan pertimbangan penyidik tingkat menengah belum begitu dibutuhkan. “Penyidik menengah untuk kebutuhan kepala satuan tugas ataupun koordinator supervisi penindakan,” ucap salah seorang penyidik Polri. “Pengajuan ini gagal karena desakan Wadah Pegawai.”
Untuk membahas pengangkatan itu, penyidik polisi menggelar pertemuan dengan pengurus Wadah Pegawai KPK di ruang rapat lantai 12 pada 1 Maret lalu. Undangan pertemuan dikirim melalui surat elektro--nik kantor kepada 28 anggota Wadah Pegawai KPK.
Dalam persamuhan tersebut, penyidik polisi menuding Wadah Pegawai KPK memanfaatkan momentum pimpinan menyetujui mekanisme perpindahan penyelidik menjadi penyidik tanpa tes. Sebagian besar pengurus Wadah Pegawai adalah penyidik yang sudah pensiun dari kepolisian dan penyidik internal. Menurut mereka, pengangkatan 22 penyelidik menjadi penyidik yang disokong Wadah Pegawai tanpa persetujuan petinggi Kedeputian Penindakan KPK. Seusai pelatihan selama satu bulan, 22 orang ini bertugas sebagai penyidik mulai 11 Maret lalu.
Menurut para penyidik Polri dalam pertemuan itu, mekanisme perpindahan penyelidik menjadi penyidik tanpa tes tidak sesuai dengan Peraturan Pimpinan Komi-si Pemberantasan Korupsi Nomor 1 -Tahun 2019 tentang Penataan Karier. Pasal 1 angka 4 dalam peraturan tersebut, kata mereka, menjelaskan rotasi adalah perpindahan jabatan di satu kedeputian/sekretaris jenderal pada tingkat jabatan dan fungsi yang sama. Mereka menganggap perpindahan penyelidik menjadi penyidik tanpa tes sebagai rotasi. “Penyidik dan penyelidik memang berasal dari kedeputian yang sama, tapi memiliki fungsi yang berbeda,” ujar penyidik polisi ini.
Mereka juga mempersoalkan pernyataan pemimpin KPK, Laode Muhammad Syarif, saat memberi sambutan dalam pembukaan pelatihan 22 penyidik internal bahwa lembaga antikorupsi nantinya tidak membutuhkan penyidik dari kepolisian. Dimintai konfirmasi soal ini, Syarif mengatakan tidak pernah memberikan pernyataan tersebut. “Tidak ada niat menghilang-kan semua penyidik Polri di KPK seperti itu,” kata Syarif.
Yudi Purnomo Harahap./ ANTARA/DHEMAS REVIYANTO
Ardian Rahayudi menolak berkomentar soal perseteruan ini. Pada Jumat, 3 Mei lalu, Tempo menemui Pandu Hendrianto di kawasan Kuningan City, Jakarta. Ia tak membantah diutus Ardian, seniornya, menemui Tempo. Pandu menjelaskan soal protes penyidik polisi di KPK, tapi ia tak ingin pernyataannya dikutip.
Belakangan, pengangkatan penyidik internal juga memicu protes dari polisi yang pernah berkiprah di KPK. Protes itu tertuang dalam surat yang diatasnamakan para alumnus penyidik KPK yang berasal dari Polri yang tersebar pada Jumat, 3 Mei lalu. Surat itu ditandatangani alumnus penyidik KPK yang kini menjabat Wakil Direktur Tindak Pidana Korupsi Badan Reserse Kriminal Polri, Komisaris Besar Erwanto Kurniawan. Dalam surat itu juga dilampirkan 97 nama anggota Polri yang pernah bertugas di KPK. Dua di antaranya sudah dimintai konfirmasi oleh Tempo dan membenarkan soal surat itu.
Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengatakan pemindahan penyelidik menjadi penyidik merupakan kebijakan pimpinan yang sudah dijalankan. “Penempatan 21 penyelidik ke penyidik itu legal,” ujar Saut. Selain pengangkatan penyidik internal, kata dia, saat ini masih berlanjut rekrutmen dari berbagai sumber, termasuk Polri. Hingga 30 April 2019, KPK total memiliki 118 penyidik dengan komposisi pegawai tetap 63 orang, dari Polri 50 orang, dan dari pegawai negeri sipil 5 orang. Mereka terbagi dalam 20 satuan tugas.
Proses pengangkatan penyidik dari kalangan internal KPK bukan pertama kali terjadi. Pada 2012, 2014, dan 2016, lembaga antikorupsi juga menjaring pegawai internalnya untuk menjadi penyidik. Jika berasal dari Kedeputian Penindakan, kandidat penyidik itu tinggal ikut menjalani pelatih-an karena sifatnya rotasi. Namun, jika dari direktorat lain, semisal hubungan masyara-kat atau tim laporan harta keka-yaan penyeleng-gara negara, kandidat penyidik itu wajib mengikuti rangkaian seleksi. Proses seleksi itu juga berlaku bagi calon pe-nyidik yang berasal dari Polri ataupun calon penuntut umum dari kejaksaan.
Kewenangan KPK dalam menunjuk penyidik independen ini tercantum dalam putusan Mahkamah Konstitusi pada November 2016. Saat itu, Mahkamah menolak uji materi yang diajukan advokat O.C. Kaligis, terpidana korupsi 10 tahun penja-ra karena menyuap hakim Pengadilan Ta--ta Usaha Negara Medan. Kaligis mempersoalkan status penyidik independen KPK yang termuat dalam Pasal 45 ayat 1 Undang-Undang KPK yang berbunyi -penyidik adalah penyidik pada KPK yang -diangkat dan diberhentikan oleh KPK. Pasal itu juga menerangkan penyidik adalah pejabat po--lisi Republik Indonesia dan pegawai nege-ri tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.
Ketua Wadah Pegawai KPK Yudi Purnomo Harahap mengatakan kebijakan pimpinan mengangkat 22 penyelidik KPK yang berpengalaman untuk menjadi penyidik sudah sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi. Hal ini juga dikuatkan oleh putusan hakim praperadilan yang memenangkan lembaga antikorupsi itu ketika koruptor menggugat keabsahan penyidik.
Yudi mengatakan penyidik-penyidik ba-ru tersebut telah dilantik dan diterima dengan baik oleh Direktur Penyidikan KPK. “Mereka telah diberi tugas melaksa-nakan penyidikan,” ucapnya. Dengan tam-bahan tenaga baru ini, menurut Yudi, KPK bisa lebih berfokus memberantas korup-si dan menargetkan 200 kasus penyidik-an pada 2019. “Kami, 1.500 pegawai KPK, mendukung penuh dan siap bekerja keras memenuhi target tersebut,” katanya.
LINDA TRIANITA, ANTON APRIANTO, MUSTAFA SILALAHI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo