Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kritik DPR mandul terus bergaung. Banyaknya pegawai negeri dan pensiunan mempengaruhi sikap kritis anggota Dewan? BERGUMPAL sumpah serapah selalu datang. Toh masih banyak orang memimpikan meraih kedudukan sebagai wakil rakyat di DPR. Apa pun stempel yang diberikan kepada mereka, tampaknya jadi anggota DPR memang enak. Bukan hanya untuk prestise, tapi juga setumpuk fasilitas. Mulai rumah, mobil, gaji, sampai prioritas memperoleh tiket kereta api. Tak heran, mungkin karena fasilitas itu anggota Dewan dituduh hanya jadi "tukang stempel karet" Pemerintah. Tudingan yang lebih pedas: DPR dikecam sebagai lembaga impoten, loyo, dan kurang berani. Terlepas benar atau tidak tuduhan itu, kalau diamati secara saksama, memang banyak rambu pembatas yang melingkari ruang gerak anggota DPR. Misalnya peraturan tata tertib DPR dan UU No. 3 Tahun 1985, yang memberi kewenangan kepada Presiden untuk membekukan pengurus tingkat pusat organisasi politik dan Golkar. Kehadiran UU itu, kata Wakil Ketua MPR Soeprapto, menyebabkan anggota DPR merasakan beban psikologis untuk menyatakan pendapat. Di situ, sikap tiap anggota DPR dikoordinasikan oleh fraksinya, dan fraksi diawasi oleh organisasi politik induknya. Dengan adanya hak recall pada organisasi induk, seorang anggota bisa dicopot dari kursinya setelah permohonan diajukan ke Presiden. Hal ini, menurut Soeprapto, menyebabkan organisasi politik harus mengadakan perhitungan untung rugi bila berhadapan dengan Pemerintah. Yang sering ditunjuk sebagai bukti kemandulan DPR adalah ketidakmampuan lembaga ini menggunakan hak istimewanya, seperti hak inisiatif (mengusulkan RUU), hak angket (hak penyelidikan), dan hak interpelasi (hak anggota DPR untuk meminta keterangan). Padahal, kalau ditilik dari latar belakang pendidikan, dari 500 anggota, 45,6% berpendidikan sarjana. Menurut anggota Fraksi Karya Pembangunan dalam Komisi I DPR, Anang Adenansi, tingginya tingkat pendidikan anggota tak seberapa berpengaruh terhadap keberanian mereka menggunakan hak-hak yang dimiliki. Pembatasan gerak dipengaruhi oleh mentalitas anggota sendiri. Ia karena banyak anggota berasal dari kalangan pensiunan militer dan pegawai negeri. "Kalau terjadi dialog dengan bekas menterinya, mereka terlihat rikuh dan pekewuh," kata Anang. Bagi Ben Messakh, juga anggota FKP, belum dimanfaatkannya hak DPR tak terlalu dipersoalkan. Parlemen Inggris saja, sebagai negara demokrasi tertua, sampai sekarang belum pernah membuat RUU. "Kalau menggunakan hak tapi tujuannya hanya mencari popularitas, buat apa?" Di pihak lain, Ben mengakui, dari segi penunjang, parlemen kita tergolong kurang memadai. Menurut Ben, DPR pada tahun anggaran 1991-92 pernah mengajukan anggaran kegiatan Rp 7 milyar. Tapi, setelah diajukan ke Pemerintah, hanya disetujui Rp 1,2 milyar. Gaji yang diterima seorang anggota pun hanya Rp 1,2 juta per bulan. Jumlah itu tak sepenuhnya bisa dibawa pulang karena masih dipotong angsuran mobil, iuran organisasi, dan macam-macam iuran lain. "Yang bisa dibawa pulang paling banter Rp 500 ribu," katanya. Jika penggunaan hak bisa dijadikan ukuran untuk menilai mampu atau tidaknya DPR, sebenarnya tuduhan yang menyebut DPR kita mandul tak sepenuhnya benar. Dalam sejarah Indonesia merdeka, kalau kita tengok kembali, dengan kondisi yang ada ternyata lembaga perwakilan rakyat kita pernah menggunakan hak angket, dan berhasil. Itu terjadi pada 1967, mengenai perusahaan negara. Hasilnya, antara lain, perumusan adanya perusahaan berstatus jawatan dan perusahaan umum. Pada 1980, hak angket dicoba lagi oleh Rachmat Moeljomiseno (FPP), Santoso Donosepoetro dan Usep Ranawidjaja (FPDI). Usul angket diajukan karena mereka tidak puas dengan jawaban Pemerintah mengenai kemelut Pertamina. Rachmat menyebutkan bahwa hanya dengan angketlah DPR bisa mengetahui sedalam-dalamnya apa yang terjadi di tubuh Pertamina zaman Ibnu Sutowo. Usul angket itu kemudian menjadi hangat setelah anggota DPR dari FKP menyatakan bahwa niat menggunakan angket sebagai "manifestasi ketidakpercayaan pada kepemimpinan Soeharto". Memperbaiki yang tak beres, pada pendapat FKP, tak harus lewat angket, tapi bisa dengan cara lain. "Sebagai fraksi pendukung Pemerintah, kami akan menelitinya lewat jalur sendiri," kata R. Soekardi Wakil Ketua Bidang Politik FKP, waktu itu. Usul angket itu pun kandas, sama nasibnya dengan usul interpelasi NKK yang disampaikan sebelumnya oleh Syafi'i Sulaeman dan kawan-kawan dari FPP. Kalaupun sekarang tak ada lagi penggunaan hak usul, tak berarti DPR hanya yes man. Menurut R. Soekardi, yang kini menjabat Wakil Ketua DPR/MPR, gambaran seperti itu bisa terjadi karena masyarakat tidak menerima informasi lengkap dari pers tentang kegiatan DPR sebenarnya. "Padahal, kalau kami melakukan rapat kerja dengan Pemerintah, dialognya sangat tajam. Justru pers yang tidak berani memuatnya," katanya kepada Wahyu Muryadi dari TEMPO. Derasnya kritik yang dilontarkan ke DPR sebuah pertanda menggembirakan. Dari lembaga itu masih bisa diharapkan munculnya getaran baru yang lebih semarak. Aries Margono, Ardian T. Gesuri, dan Siti Nurbaiti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo