KASUS percobaan perampokan terhadap bekas Pangdam Siliwangi Ibrahim Adjie, 66 tahun, yang berakibat tertembak matinya salah seorang dari keempat perampok itu, digelar di meja hijau. Dua orang dari perampok itu, Tan Kim An alias Burik, 38 tahun, dan Chaeruddin alias Bongsor, 29 tahun, pekan-pekan ini didudukkan sebagai terdakwa di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Sebetulnya kasus itu sederhana saja. Burik dan Bongsor didakwa oleh Jaksa. H.F. Dimyati -- sehari-harinya Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan -- pada 13 Januari 1989 mencoba melakukan pencurian dengan kekerasan terhadap Ibrahim di kediamannya, di Jalan Gedung Hijau II/5. Pondok Indah, Jakarta Selatan. Tapi perkara itu menjadi menarik lantaran calon korban adalah Ibrahim Adjie pensiunan letnan jenderal. Dan perampokan itu seakan-akan hanya membangunkan "macan tidur". Akibatnya, seorang dari mereka, Rasyim, tewas dengan dada robek terkoyak tembakan pistol. Di sore hari kejadian itu, Burik dan tiga konconya, menurut jaksa, menyergap Ibrahim di halaman rumahnya. Bongsor menempelkan golok ke leher Ibrahim, sementara Rasyim menodongkan pisau ke lambung sasaran. Ibrahim, yang baru keluar dari mobilnya, Mercedes Benz -- dikemudikan sopirnya, Rudi -- tentu saja kaget. Kawanan rampok itu menggertak. "Cepat buka jam tangannya," kata mereka ke Ibrahim Adjie, yang pergelangannya dihiasi jam mirip Rolex. Suasana tegang. Tiba-tiba sang sopir berteriak, "Ambil pistol, Pak." Sementara itu, pembantu rumah, Farid, menurut berkas perkara, segera menyodorkan pistol Smith & Wesson dari laci mobil. Ibrahim meraih pistol itu. Melihat gelagat buruk, para perampok grogi. Ibrahim pun memerintahkan mereka agar menyerah. Tapi kawanan itu malah lari. "Dor", masih menurut berita acara, tembakan peringatan terdengar dari moncong pistol Ibrahim. Tapi para perampok itu tak juga berhenti. "Tembakan pun saya arahkan ke kaki mereka. Tapi akibat getaran pistol, peluru menembus dada salah seorang perampok," tutur Ibrahim, yang punya hobi berburu. Bongsor dan Conge -- nama terakhir sampai kini buron -- terus kabur dengan menggunakan satu sepeda motor Yamaha, membawa Rasyim yang terluka parah. Belakangan mayat Rasyim ditemukan bilangan Jakarta Utara. Tapi Burik sial. Ia tertinggal dan diringkus massa. Pemeriksaan perkara itu ternyata tak kalah menariknya. Seusai Jaksa Dimyati membacakan dakwaan, acara sidang langsung saja ke keterangan saksi Ibrahim Adjie, yang kebetulan sudah hadir di situ. Padahal, kedua terdakwa belum didampingi pengacara dan belum mengajukan eksepsinya. Toh selepas sidang, Burik dan Bongsor menyempatkan diri unluk minta maaf kepada Ibrahim. Menurut H.F. Dimyati, tata cara persidangan begitu tak menyalahi hukum acara (KUHAP). "Pak Ibrahim, yang bekerja di Batam itu, sibuk. Lagi pula, majelis hakim mengizinkan acara dilanjutkan dengan pemeriksaan saksi," kata Dimyati. Tapi bagaimana dengan pertanggungjawaban hukum Ibrahim, yang menjadi Presiden Direktur PT Kurnia Jaya Alam, kontraktor utama pembangunan prasarana di otorita Batam? "Lho, beliau kan berupaya membela diri. Pistolnya juga dimiliki secara sah, ada izinnya," ujar Dimyati. Kasus seperti yang dialami Ibrahim itu pernah juga terjadi di New York, yang dikenal dengan sebutan kasus Goetz. Seorang lelaki kulit putih, berkaca mata, Bernhard Goetz, dengan sepucuk revolver kaliber 38 miliknya menembak empat orang pemuda kulit hitam di sebuah kereta api bawah tanah, tiga hari menjelang Natal 1984. Di persidangan, Goetz mengaku menembak karena keempat pemuda Negro itu mencoba merampoknya. Tapi keempat korban, yang lumpuh dan cedera otak gara-gara penembakan itu, membantah keterangan tersebut. Salah seorang dari mereka, Troy Cant, 20 tahun, mengah sewaktu kejadian hanya meminta dengan sopan, "Tuan, tolong berikan aku US$ 5." Toh juri, pada Juni 1987, membebaskan Goetz dari tuduhan percobaan pembunuhan. Terdakwa itu hanya dikenai hukuman yang relatif rendah, karena terbukti memiliki pistol secara tidak sah. Akibat vonis itu, di luar pengadilan para warga Negro melakukan aksi unjuk rasa. Berbagai media pun rame-rame memberitakan kasus yang cenderung rasial itu. Tapi tentu saja kasus Ibrahim Adjie berbeda dengan Goetz.Hp.S., Diah P., dan Moebanoe M.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini