HAKIM Tony Hartono dari Pengadilan Negeri Ujungpandang agaknya bisa digelari hakim spesialis hukuman mati. Bayangkan, majelis yang dipimpinnya, Rabu pekan lalu, memvonis mati terdakwa Freddy Tandra dan Sulaeman, yang semula hanya dituntut Jaksa M. Ali Djaya masing-masing 5 dan 12 tahun penjara. "Putusan ini kedengarannya memang kontroversial. Padahal, semestinya ya memang harus begitu," kata Tony Hartono, yang mengaku telah tiga kali menjatuhkan vonis mati selama kariernya. Freddy dan Sulaiman, bersama tiga temannya, memang terbukti bersalah melakukan pembunuhan berencana terhadap korban Hans Mogi, mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Atmjaya di Ujungpandang. Tapi cara yang mereka lakukan dalam pembunuhan itu, menurut Hakim Tony, luar biasa sadistisnya. Sebab itu, tiga orang pelaku lain dalam kejahatan itu juga dihukum berat. Lukman dan Baco dihukum masing-masing 10 tahun penjara, sementara Usman dipidana seumur hidup. Kasus pembunuhan itu sendiri berlatar belakang persaingan bisnis ayam potong. Freddy Tanda, selaku pimpinan Sarana Ternak, tak senang karena saingannya Andi Mogi, pemilik Toko Muda (ayah korban), menjual ayam potongnya dengan harga murah. Suatu ketika, Freddy memesan ayam potong ke Andi Mogi dalam jumlah besar. Ternyata orang tua tersebut, berbeda dengan kampanyenya di koran-koran daerah, tak mampu meladeni permintaan itu. Terjadi ribut-ribut kecil. Rupanya Freddy belum puas. Suatu hari, September lalu, ketika ia menghadiri pesta perkenalan dengan piminan PT Charon Pokphand di restoran Bambooden, Ujungpandang, ia bertemu lagi dengan dengan Andi Mogi dan Jonny Elim Kusuma. Di situ kembali Freddy terlibat pertengkaran mulut dengan Andi. Dan seperti kata saksi Rachman di persidangan, Freddy sempat mengancam akan membunuh keluarga Andi. Usai makan-makan di restoran itu, Freddy segera angkat kaki, pulang. Ia mengambil truk Dyna DD-2329-LA dan mengajak anak buahnya masing-masing Sulaeman, Usman, Lukman, dan Baco menuju ke rumah Jonny di Jalan Lombok. Rupanya, yang dicari tidak di tempat, Freddy tambah kalut. Ia segera tancap gas ke rumah Andi Mogi di Jalan Gunung Merapi. Di situ Freddy melihat Andi Mogi sedang berbicara dengan anaknya, Hans Mogi dan Wijaya Mogi, di depan rumah. Tanpa pikir panjang, Freddy langsung menabrak mereka. Tak terelakkan, Andi tersungkur. Nah, ketika Hans berusaha menolong orangtuanya, secepat kilat Freddy mengayunkan badik ke tubuhnya. Dan dari atas truk Baco ikut menyiram pasir ke arah Hans. Lebih tragis lagi, Sulaiman ikut menembus dada mahasiswa itu dengan badik. Sementara itu, Lukman merangsek Wijaya Mogi dengan kayu balok. Masih belum puas, kelima pengeroyok ini menginjak-injak tubuh Andi Mogi tua. Pembantaian ini mereka lakukan di depan segenap warga masyarakat Jalan Gunung Merapi, dan disaksikan oleh lurah setempat. Aksi brutal ini baru dapat diatasi setelah ada mobil patroli polisi lewat. Sayang, nyawa Hans Mogi tak terselamatkan. Dan Wijaya sempat menderita impoten dan lumpuh. Maka, manakala mendengar vonis mati dijatuhkan pada Freddy dan Sulaiman, saksi Andi Mogi serta merta berdiri di atas bangku pengunjung sidang dan berteriak, "Terima kasih, Pak Hakim, terima kasih banyak." Agaknya Andi merasa cukup puas. "Masih terbayang dalam ingatan saya ketika Hans dibunuh. Seperti anjing," katanya terbata-bata. Para terdakwa tampak hanya bisa tertunduk layu, sementara pembela Andi Liling langsung menyatakan naik banding. Tony Hartono, yang sudah 25 tahun jadi hakim, menganggap vonisnya sudah tepat. "Bayangkan, kalau tidak ada polisi yang datang, keluarga Mogi pasti habis semuanya," kata Tony kepada Erwin Patandjengi dari TEMPO.Agus Basri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini