SANG godfather, tokoh manipulasi sertifikat ekspor (SE), Santoso Tjoa, 38 tahun, memecahkan rekor persidangan in absentia (tanpa kehadiran terdakwa). Ia satu-satunya orang Indonesia yang sempat tiga kali diadili secara in absentia. Setelah dua kali divonis tanpa kehadirannya di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, pekan-pekan ini, lelaki asal Belitung itu kembali diadili dengan cara yang sama. Jaksa A. Manalu, yang membawa perkara ke sidang Pengadilan Negeri Karawang, kembali hanya bisa "menuding" kursi terdakwa yang kosong dan gagal menyeret Tjoa ke meja hijau. Menurut sumber TEMPO di Kejaksaan Negeri Karawang, petugas kejaksaan sudah mendatangi tiga buah rumah Tjoa antaranya rumah istri tuanya di Pluit Raya Utama, Jakarta Utara, dan istri mudanya di Taman Permata Indah, Jakarta Barat. "Tapi ketua RT setempat menyatakan bahwa Tjoa dan keluarganya sudah tidak tinggal di situ lagi," kata sumber itu. Di persidangan, Jaksa Manalu menuduh Tjoa telah memanipulasi kredit sekitar Rp 725 juta dari BBD Karawang. Kredit ekspor itu diperoleh Tjoa, 1982, lewat dua perusahaannya: Dakota Jaya Raya (DJR) dan Asian Fair Indonesia (AFI). DJR dengan dirutnya Soemantri, waktu itu, mengambil kredit dari bank pemerintah itu dengan alasan akan mengekspor produknya ritsluiting ke Hong Kong. Sementara itu, AFI -- dengan dirutnya D. Tasman -- mengaku mau mengekspor polyester ke RRC. Ternyata, sampai jangka waktu pengembalian kredit, Maret 1983, kedua perusahaan itu tak pernah mencicil utangnya itu. Rupanya, menurut sebuah sumber, DJR sama sekali tak mengekspor barang apa pun. Ekspor AFI, menurut Tjoa, sudah dilakukannya, hanya saja si pembeli di luar negeri tak mau membayar. Padahal, "itu kongkalikong saja. Duitnya mereka makan ramai-ramai," kata sumber TEMPO. Kasus manipulasi uang negara itu belakangan memang diusut. lapi sebelum kasus itu dilaporkan ke kejaksaan, Tjoa sudah terbongkar melakukan manipulasi yang lebih besar yaitu memanipulasikan SE mainan anak-anak lewat PT Tomy Utama Toy (TUT ) -- perusahaannya yang lain -- senilai Rp 2,4 milyar. Ia juga memanipulasikan ekspor 420 ton polyester, melalui PT Banyuloka, ke Shanghai. Pada Januari 1986, kasus pertama itu disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara -- ia divonis untuk perkara korupsi dan ekonomi dalam kasus itu dengan hukuman 10 tahun penjara dan denda Rp 50 juta. Sebelum perkara itu disidangkan, sebenarnya, ia sempat "terpegang" Mabes Polri. Tapi entah kenapa, setelah ia sempat dimasukkan sel, belakangan Mabes memberinya tahanan luar. Setelah itulah ia raib. Akibatnya, pihak kejaksaan hanya bisa menyeret "boneka-boneka" Tjoa, yaitu orang-orang yang didudukkannya sebagai direksi di perusahaan-perusahaannya. Dua pegawai PT TUT, Teddy dan Fatah, misalnya, terpaksa menjadi "tumbal" dan masing-masing dihukum 6 tahun penjara plus denda Rp 5 juta dan 2 tahun penjara serta denda Rp 2 juta. Sementara itu, Dirut PT TUT, Nyonya Eha Saleha, beruntung tak jadi diadili karena menurut pengusutan kejaksaan ia benar-benar hanya direktur "boneka". Kendati begitu, ia sangat kesal kepada bekas bosnya itu karena sempat berurusan dengan yang berwajib. "Tjoa memang sialan. Dia dapat madu, saya kena racunnya," kata Eha, yang sehari-hari hanya guru SD (TEMPO, 14 November 1987). Kini giliran Dirut DJR Soemantri menjadi "tumbal" -- kabarnya akan diseret ke kursi pesakitan. "Tjoa memang pandai meyakinkan orang. Saya tak menyangka akan ditipu begini," ujar Soemantri. "Tumbal" lainnya adalah bekas Direktur BBD Cabang Karawang, Achmad Laisi, yang apa boleh buat terpaksa mempertanggungjawabkan kecerobohannya. Tjoa, ayah enam anak -- dari dua istri itu memang terhitung lihai. Ia tak hanya jago memanipulasi milyaran rupiah uang negara, tapi juga "mempermainkan" penegak hukum. Ia, yang sampai kini diperkirakan masih berada di Indonesia, tak kunjung bisa tertangkap. Kendati begitu, dengan surat kuasa beralamat Singapura, ia melalui pengacaranya sempat-sempatnya naik banding atas vonis pada kasus pertama tadi. Bukan hanya itu, melalui telepon, ia beberapa kali menghubungi pejabat-pejabat kejaksaan. Ia bisa didengar tapi tak mungkin "dipegang". Ia memang raja buron.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini