AWAN gelap masih menyelimuti kasus penembakan Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita. Kendati peristiwa yang pertama kali terjadi di Indonesia itu sudah 10 hari berlalu, pihak kepolisian belum bisa memastikan identitas para pelaku penembakan. Apalagi menggulung tersangka berikut jaringannya dan mengetahui motif pembunuhan itu.
Padahal, sudah 38 orang saksi diperiksa polisi. Dari 38 saksi itu ada empat hakim agung dan istri muda almarhum. Rupanya, pemeriksaan wanita kedua dalam hidup Syafiuddin ini menarik perhatian. Namun, Kepala Direktorat Reserse di Kepolisian Daerah (Polda) Metro Jaya, Komisaris Besar Adang Rochjana, berharap agar sang istri muda jangan buru-buru dikaitkan dengan kasus tersebut. "Jangan ke situ dululah," ujar Adang.
Sementara ini, menurut Adang, pengusutan polisi lebih dikhususkan pada kasus-kasus besar yang pernah ditangani almarhum. Di-duga, pelaku penembakan berasal dari kelompok yang merasa dirugikan oleh vonis Syafiuddin. Ada tiga kasus besar yang disorot secara khusus oleh polisi. Pertama, kasus korupsi Bulog, yang berujung dengan vonis satu setengah tahun penjara terhadap Tommy Soeharto—sampai kini masih buron.
Adapun kasus kedua menyangkut korupsi hutan, dengan terdakwa si raja hutan Bob Hasan, yang menjalani hukuman enam tahun penjara di Lembaga Pemasyarakatan Nusakambangan. Sedangkan kasus ketiga adalah korupsi Bank Bali, dengan terdakwa Joko Tjandra, yang akhirnya divonis bebas.
Namun, dari ketiga kasus itu, baru kasus Tommy yang tersingkap hubungannya. Me-nurut istri Syafiuddin, Nyonya Soimah, kasus inilah yang paling membebani pikiran almarhum suaminya. Apalagi, dua bulan setelah perkara kasasi Tommy divonis, Syafiuddin pernah ditemui putra mantan presiden Soeharto itu.
Pada pertemuan khusus empat mata itu, kata sebuah sumber, Tommy sempat mengancam Syafiuddin. "Kalau saya diperlakukan baik-baik, saya akan lebih baik. Tapi, kalau saya diperlakukan jahat, saya juga bisa lebih jahat,’’ kata Tommy kepada Syafiuddin, sebagaimana dituturkan sumber tadi.
Rupanya, peristiwa itu disimpan rapat-rapat oleh Syafiuddin. Kabarnya, Syafiuddin sempat memberitahukan soal itu secara sekilas kepada Nyonya Soimah. Tapi ia tak menjelaskan kapan dan di mana pertemuan tersebut berlangsung.
Adakah kabar ancaman itu cukup meng-indikasikan hubungan Tommy dengan kasus penembakan Syafiuddin? Pengacara Tommy, Nudirman Munir, mengaku tak bisa mempercayai cerita semacam itu. "Saya nggak bisa berkomentar lebih jauh, karena Mas Tommy belum ada beritanya,’’ kata Nudirman.
Terbukti-tidaknya kaitan tersebut, setidaknya polisi punya beberapa kemungkinan untuk mengurai kasus penembakan itu. Selain itu, teori klasik bahwa kejahatan pasti berbekas agaknya juga bisa digunakan polisi. Umpamanya, ciri-ciri pelaku.
Menurut keterangan beberapa saksi di tempat kejadian, dua pelaku bertinggi badan 150 sentimeter dan 168 sentimeter—yang kedua ini berbadan kekar. Sayangnya, wajah dua tersangka ini sulit dikenali lantaran ditutupi sapu tangan dan topi. Adapun dua pelaku lain di sepeda motor kedua, menurut saksi, penampilannya biasa dan wajahnya tak ditutupi apa-apa.
Berdasarkan data yang diperoleh di lapangan, Adang menambahkan, diperkirakan pelaku sudah lama mempelajari denah alamat dan rumah korban, serta jam kerjanya. "Para pe-laku tahu persis rute yang sering dilalui korban,’’ kata Adang. Padahal, menurut Nyonya Soimah, jam kerja dan rute Syafiuddin selalu diubah-ubah sejak menangani kasus Tommy.
Ada lagi jejak pelaku yang bisa dilacak polisi, yakni jenis peluru yang bersarang di tubuh almarhum. Sesuai dengan laporan Kepala Pusat Laboratorium Forensik di Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia, Brigadir Jenderal Hamim Soeriaamidjaja, peluru itu berasal dari senjata api jenis Browning buatan Fabrique Nationale (FN), Belgia. Peluru yang digunakan berkaliber sembilan milimeter. Sedangkan di selongsong peluru ada heatstamp ber-tuliskan PIN IX buatan PT Pindad, Bandung.
Senjata jenis Browning FN kebanyakan digunakan oleh TNI. Namun, Kepala Dinas Penerangan Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Anton Bachrul Alam, membantah anggapan bahwa senjata itu hanya digunakan oleh kalangan militer. "Senjata ini biasa juga digunakan untuk olah raga menembak,’’ kata Anton.
Kalau demikian, tentu riwayat senjata dimaksud bisa ditelusuri pula ke PT Pindad ataupun Persatuan Penembak Indonesia. Namun, janggalnya, belum lagi polisi mengusut ke situ, Selasa pekan lalu polisi di Sunter sudah menangkap seseorang bernama Jumadi alias Welus. Awalnya, Welus ditangkap karena kasus penembakan terhadap seorang satpam di salah satu tempat, tak jauh dari tempat tinggal Syafiuddin.
Rupanya, polisi berupaya menghubungkan kasus penembakan satpam tadi dengan kasus penembakan Syafiuddin. Apalagi dari lima tersangka rekan Welus masih ada seorang pembawa senjata api yang buron. Namun, Welus bersikeras mengaku hanya menembak seorang satpam. Itu gara-gara korban menghalang-halangi Welus dan kawan-kawan ketika mau melewati daerah yang tertutup portal.
Ahmad Taufik, Rian Suryalibrata, Hadriani Pudjiarti, dan Agus Hidayat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini