Riswandha Imawan*)
*)Pengamat politik dari UGM
GUGATAN pembubaran Golkar yang diajukan kelompok Pijar Keadilan akhirnya ditolak Mahkamah Agung. Berdasarkan Pasal 17 Ayat 2 Undang-Undang No. 2/1999, hak untuk itu memang dimiliki Mahkamah Agung (MA). Sekalipun demikian, masih ada yang mempersoalkan dasar pertimbangan MA menjatuhkan putusan seperti itu. Bukankah opini publik "membenarkan" Golkar sebagai tiang penyangga rezim Soeharto?
Sebetulnya, tuntutan pembubaran Golkar telah kehilangan momentum. Kalau dasar tuntutannya seperti di atas, seharusnya setelah Presiden Soeharto diturunkan segera diikuti dengan pembubaran semua partai politik produk Orde Baru. Lain soalnya bila dasar tuntutannya money politics. Secara hukum, tuntutan itu bisa tidak bermakna, karena money politics bisa dirasa tapi tidak bisa dibuktikan secara formal.
Lalu, bisakah Golkar dibubarkan? Secara teoretis, setiap partai politik bisa saja dibentuk atau dibubarkan. Sama halnya dengan dunia perbankan, bisnis partai politik adalah kepercayaan masyarakat. Bedanya, alat tukar dalam dunia perbankan adalah uang, dan itu bisa ditarik setiap saat. Sedangkan alat tukar dunia politik adalah suara, yang mengenal periodisasi penarikan yang disebut pemilihan umum (pemilu).
Di dunia politik, pemilu merupakan arena paling demokratis untuk membuktikan ada-tidaknya kepercayaan rakyat terhadap satu partai politik. Setidaknya, ada tiga fungsi dasar pemilu. Pertama, sarana pelimpahan sebagian kewenangan politik rakyat kepada sistem politik. Tidak seluruh kewenangan diberikan karena rakyat berhak atas ruang-ruang publik sebagai wahana partisipasi politik, seperti penguatan kelompok civil society. Kedua, sarana pengalihan konflik pada tataran masyarakat ke sistem politik, sehingga dalam sistem politik yang demokratis akan dijumpai ketenangan pada tataran masyarakat, sekalipun para wakil rakyatnya di parlemen ribut. Ketiga, sarana rotasi kekuasaan politik secara damai. Artinya, setiap partai politik harus menyadari bahwa kekalahan dalam satu pemilu tidak berarti kekalahan sepanjang masa. Partai politik yang bisa dipercaya adalah yang sadar akan kelemahannya yang menyebabkan mereka kalah dalam satu pemilu, lalu memperbaiki kelemahan itu untuk menang pada pemilu berikutnya.
Dari gambaran di atas, tampak bahwa eksistensi satu partai politik masih terletak pada adanya kepercayaan dari rakyat untuk menggunakannya sebagai wahana penyampaian aspirasi.
Itu semua prinsip berpolitik yang demokratis. Sekarang, mari kita ambil kasusnya, yakni Pemilu 1999. Dalam pemilu era reformasi ini, Partai Golkar menduduki posisi kedua dengan perolehan sekitar 22 persen suara. Bila jumlah pemilih terdaftar 199 juta orang, berarti setidaknya ada sekitar 26 juta rakyat Indonesia yang masih mempercayai Golkar sebagai wahana penyampaian aspirasinya. Artinya, Golkar "masih laku" di pasar suara. Kita boleh tercengang oleh fakta ini. Bila asumsi dasar penentuan pilihan berlaku, yakni orang memilih karena pertimbangan kesesuaian antara isu dan kandidat yang ditampilkan, fakta di atas bermakna Partai Golkar mampu menampilkan kandidat yang dinilai masyarakat mampu mengatasi isu yang berkembang.
Tentu ada yang berpendapat bahwa asumsi itu tidak 100 persen berlaku. Sebab, fakta menunjukkan bahwa pola memilih masyarakat Indonesia belum sepenuhnya rasional. Artinya, variabel yang bersifat emosional, seperti patronase politik, dinilai banyak orang lebih determinatif untuk menjelaskan perilaku pemilih.
Kalau asumsi ini yang digunakan, itu berarti gerakan reformasi 1998 gagal meningkatkan rasionalitas publik dalam berpolitik. Orang bisa mempercayai kritikan lama bahwa Pemilu 1999 terlalu cepat digelar. Implikasinya, mendesak Presiden Habibie waktu itu untuk segera menggelar Pemilu 1999 merupakan kesalahan strategi yang kita lakukan. Nah, repot bukan?
Selain itu, kita harus realistis melihat bahwa Partai Golkar masih menguasai jaringan birokrasi. Kita masih dalam tahapan awal dari transisi demokrasi. Depolitisasi birokrasi masih diusahakan. Ini memberi nilai strategis bagi Golkar untuk melakukan tawar-menawar politik. Siapa pun yang memerintah masih membutuhkan jaringan birokrasi yang sudah jadi, yang dibentuk selama 32 tahun terakhir.
Bila demikian, bagaimana cara membubarkan Partai Golkar secara demokratis tanpa melanggar ketentuan hukum? Kembalikan saja ke mekanisme pasar. Biarlah masyarakat yang menghukum Golkar dalam Pemilu 2004 nanti. Caranya? Membuktikan dan meyakinkan masyarakat bahwa Partai Golkar adalah kelanjutan dari Golkar masa lalu, sehingga kesalahan dan kesulitan kita untuk melakukan reformasi total saat ini menjadi tanggung jawabnya. Artinya, tiap partai politik yang merasa sebagai kekuatan reformis mengagendakan kampanye negatif terhadap Partai Golkar.
Keberhasilan kampanye negatif ini dapat dilihat dari perolehan suara Golkar. Bila perolehan suaranya tidak sampai melampaui batas ambang (threshold) 2 persen, dengan sendirinya Partai Golkar wajib membubarkan diri atau bergabung dengan partai lain. Jadi, tanpa ribut-ribut sampai mengarah ke bentrokan secara fisik, Partai Golkar secara teoretis bisa dibubarkan melalui cara-cara yang demokratis.
Persoalannya, tentu saja, mungkinkah perolehan suara 22 persen tahun 1999 akan lenyap dalam tempo lima tahun? Apalagi bila dikaitkan dengan performa perilaku elite politik saat ini, yang oleh rakyat di akar rumput politik dinilai lebih berorientasi pada kekuasaan daripada penyelesaian masalah riil yang mereka hadapi.
Dunia politik memiliki logika sendiri yang sulit dipahami oleh orang yang belum pernah belajar ilmu politik. Kampanye politik, bila tidak piawai dikelola, bila tidak diimbangi dengan unjuk kemampuan yang melebihi hal-hal yang dinegatifkan, bisa menjadi unsur positif bagi Partai Golkar. Rakyat sebagai penguasa pasar politik dapat saja melihat kampanye negatif itu lebih baik diarahkan kepada kita sendiri. Maknanya, kita harus melakukan introspeksi terlebih dahulu sehingga kelak tidak terjadi senjata makan tuan dalam Pemilu 2004.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini