Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Polisi Tembak Pelajar Hingga Tewas, Setara Institute: Penggunaan Senjata Api Hambat Transformasi Polri

Berkaca dari kasus penembakan pelajar dan polisi di Solok, Setara Institute menilai penggunaan senjata api jadi hambatan serius transformasi Polri.

27 November 2024 | 06.52 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Setara Institute menilai penggunaan senjata api yang berakibat hilangnya nyawa seseorang menjadi hambatan serius dalam agenda transformasi kepolisian. Pelbagai persoalan itu terlihat melalui insiden polisi tembak polisi di Kabupaten Solok Selatan, Sumatera Barat dan penembakan pelajar di Semarang hingga tewas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Peneliti Setara Institute Ikhsan Yosarie melihat, terdapat empat isu yang juga menjadi bagian dari 130 masalah yang diidap Polri berdasarkan studi ‘SETARA Institute dalam Merancang Desain Transformasi Polri (2024)’. “Selain soal akuntabilitas penggunaan senjata api, isu lain adalah soal kesehatan mental aparat, bisnis keamanan (pertambangan) dan pembinaan sumber daya manusia Polri,” ucapnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETARA Institute percaya Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mampu menangani, mengurai dan menyelesaikan kasus-kasus ini secara tuntas, transparan dan berkeadilan, karena memiliki pengalaman menangani kasus serupa, seperti kasus penembakan yang meibatkan Kadiv Propam saat itu, Irjen Ferdy Sambo.

Polri mestinya mengambil langkah tegas dan terbuka untuk memastikan ketidakberulangan penggunaan senjata api secara melawan hukum di masa yang akan datang. Pertama, Setara Institute mendorong Kapolri menindak tegas jajarannya yang menggunakan senjata api berlebihan dan di luar peruntukannya.

Penggunaan senjata api secara internasional telah diatur dalam Resolusi Majelis Umum PBB No. 34/169 mengenai Kode Etik untuk Petugas Penegak dan Prinsip Dasar tentang Penggunaan Kekuatan dan Senjata Api oleh Petugas Penegak yang diadopsi UN Congress (1990).

“Ketentuan internasional tersebut menekankan prinsip legalitas, nesesitas (keperluan), proporsionalitas, dan akuntabilitas dalam penggunaan senjata api,” tuturnya.

Kedua, menjalankan standard operating procedures (SOP) termasuk mengatasi gap pengetahuan dan pemahaman aparat dalam penggunaan senjata api berdasarkan amanat Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Polri.

Ketiga, Insiden penembakan ini memperlihatkan aparat Kepolisian, terutama di daerah, belum satu padu dalam mendorong Transformasi Polri untuk mendukung Visi Indonesia 2045. Untuk itu perlu internalisasi prinsip prinsip HAM pada SDM Polri, serta penegakan hukum yang berkualitas melalui aparat penegak hukum yang berkompeten dan berintegritas.

Keempat, isu kesehatan mental perlu mendapat perhatian pimpinan Polri guna mencegah penggunaan senjata api berlebihan. Kondisi ini rentan memengaruhi anggota kepolisian dalam menjalan kinerjanya, sehingga berpotensi memicu tindakan-tindakan yang tidak proporsional.

Kelima, minimnya perhatian terhadap kesejahteraan anggota Polri berpotensi mengakibatkan berkembangnya bisnis-bisnis ilegal yang dilakukan oknum anggota Polri, termasuk jasa pengamanan bisnis, sebagaimana yang menjadi latar belakang penembakan polisi di Solok Selatan, Sumatera Barat.

“Kapolri harus menempatkan masalah ini sebagai prioritas penataan institusi Polri yang dituntut melakukan transformasi institusi guna mendukung kemajuan Indonesia 2045,” katanya.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus