SIDANG-SIDANG praperadilan dimana saja dan kapan saja, sesuai dengan ketentuan hukum acara, harus dipimpin hakim tunggal. Ketentuan mutlak itu, akhir bulan lalu, dilanggar Pengadilan Negeri Tenggarong. Wakil ketua pengadilan itu Amir Hosein, yang semula duduk di kursi pengunjung, tiba-tiba pindah ke samping Hakim Penis Tarigan, yang sedang memeriksa gugatan praperadilan terhadap polisi daerah itu. Amir pun ikut memimpin sidang, sehingga praperadilan yang satu ini diadili dua orang hakim. Keganjilan itu, menurut Pengacara Wachid Hasyim, pihak yang menggugat polisi, sempat dlprotesnya. "Ini sidang atau musyawarah?" tanya Wachid. Tapi protesnya itu tidak diacuhkan Amir, karena sebagai wakil ketua ia merasa berhak membantu anggotanya, agar persidangan berjalan "sesuai dengan ketentuan". Bantuan yang diberikan Amir itu, tutur Wachid, ternyata tidak tanggung-tanggung. Hakim itu, katanya, malah lebih aktif dari Tarigan sendiri. Walau tidak memakai toga seperti Tarigan, Amir lebih banyak bicara dibanding rekannya dalam mengorek keterangan saksi-saksi. "Akibatnya, Hakim Tarigan seperti simbol saja di persidangan itu,"kata Wachid lagi. Amir, 42, memang mengaku duduk di kursi hakim ketika menyaksikan persidangan praperadilan itu. Sebab, katanya beralasan, ia mengkhawatirkan hakim bawahannya akan keliru memimpin sidang praperadilan yang baru pertama kalinya dilakukan di pengadilan itu. "Saya lihat Tarigan waktu itu ragu-ragu," kata Amir. Keraguan Tarigan, kata Amir, terjadi ketika di hadapannya duduk saksi seorang anggota polisi. Ia rau-rau apakah polisi perlu disumpah atau tidak. Karena itu, ia merasa terpanggil dan langsung duduk di kursi hakim serta memutuskan bahwa polisi itu tidak perlu disumpah karena sudah terikat sumpah jabatan. "Cuma itu saja yang saya lakukan, dan saya tidak ikut campur yang lainnya," ujar Amir, yang tidak membantah bahwa ia tetap duduk di kursi hakim sampai sidang selesai. Amir, yang mengaku sudah 17 tahun membina karier sebagai hakim, tetap beranggapan bahwa tindakannya itu benar. Praperadilan itu, menurut Amir, tetap dipimpin Tarigan sebagai hakim tunggal. "Saya hanya membantu agar sidang tidak menyalahi prosedur praperadilan," katanya. Sebab itu, ia menilai Pengacara Wachid bermaksud buruk dengan membesar-besarkan peristiwa. Hakim Tarigan membenarkan pula bahwa Amir ikut duduk di sampingnya ketika persidangan praperadilan yang dipimpinnya tengah berjalan. "Sebenarnya, saya tidak memintanya. Tapi, karena ia wakil ketua pengadilan, saya tidak bisa berbuat apa-apa," kata Tarigan. Tapi ia membantah, atasannya itu lkut memeriksa materi perkara yang disidangkan. "Ia hanya membantu soal saksi. Itu saja," kata Tarigan. Dalam sidang itu, Tarigan memeriksa polisi yang digugat Wachid karena menghentikan penyidikan atas terbunuhnya Elyas. Januari lalu, pedagang kelontong itu tewas terbantai ketika mengendarai sepeda motor dari Muara Badak, Tenggarong, ke Samarinda. Jenazahnya ditemukan di pinggir jalan antara kedua kota itu dalam keadaan mengerikan: tubuhnya penuh luka tusukan senjata tajam, sementara lehernya hampir putus. Cerita tentang pembunuhan itu sampai kini tidak jelas. Semula Elyas diduga mati dibunuh perampok karena uang yang dibawanya sebanyak Rp 3 juta digondol pembunuhnya. Tapi sumber lain menduga, Elyas dibunuh oleh orang-orang yang dendam kepadanya dalam urusan judi lotere buntut Elyas memang dikenal sebagai bandar judi itu. "Saya belum puas kalau pembunuhnya belum tertangkap," ujar ayah Almarhum, Irawan, yang memberi kuasa kepada Wachid untuk mempraperadilankan polisi. Tapi usaha Irawan itu kandas. Dalam sidang 30 Januari lalu, Hakim Tarigan - tanpa dihadiri Wachid dan polisi - menolak gugatan itu. Menurut Tarigan, Wachid tidak berhasil membuktikan bahwa polisi menghentikan penyidikannya. "Bagaimana bisa polisi dikatakan menghentikan penyidikan, padahal sampai sekarang tidak pernah polisi mengeluarkan surat pernyataan tentang itu," kata Tarigan. Hakim itu menggerutu karena vonisnya tidak dihadiri kedua pihak yang beperkara. Wachid ternyata sengaja tidak hadir. "Sebab, saya sudah tahu vonisnya akan begitu," kata pengacara itu. Ia malah menduga ada "tenggang rasa" antara hakim dan polisi. Tanda-tandanya, di antaranya, kata Wachid, campur tangan Wakil Ketua Pengadilan Amir dalam perkara itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini