Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Kisah pak guru dan siswa sukarti

Sukarti siswi SMP II Muhammadiyah kediri disuruh meloncat dari lantai II oleh gurunya untuk membuktikan bahwa ia tidak mencuri. Kakinya patah, kini kasusnya ditangan polisi. (pdk)

9 Februari 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

UNTUK membuktikan bahwa ia tidak mencuri gelang temannya, Sukarti meloncat dari lantai II kantor sekolahnya. Ia pingsan dan pergelangan kaki kirinya patah. Teras lantai II, tempat siswi itu meloncat, kira-kira 5 meter dari tanah. Peristiwa itu terjadi 11 Januari lalu. Dan kini, sudah lebih dari tiga minggu, Sukarti, siswi kelas II SMP Muhammadiyah II, Kediri, belum bisa berjalan. Kaki kirinya digips, dari telapak kaki hingga selangkangan. Siswa berkulit agak gelap dan bermata bulat ini nekat meloncat karena ditantang gurunya "Pak Guru bilang, kalau saya benar-benar tidak mencuri gelang, pasti saya berani loncat dari loteng," tutur Sukarti, 16 siswi yang tergolong cerdas di kelasnya. "Saya takut. Pa Basyir marah sambil memukul-mukul meja. Saya lalu naik ke loteng dan terjun Saya memang tak tahu apa apa tentang gelang itu. Melihatnya pun belum pernah." Kisah ini diawali sehabis pelajaran olah raga, di kelas IIA, 8 Januari lalu. Dari 45 siswa di kelas itu, yang masuk duluan ke dalam kelas memang Sukarti. Ia, menurut kesaksian Sumaryani, teman sekelasnya yang menyusul masuk ke kelas, hanya ganti baju d mejanya sendiri. Tak lama kemudian, sesudah hampir semua murid kembali ke dalam kclas, Choirun Nisa, salah seorang siswa di kelas itu juga, berteriak kehilangan gelang yang ditaruh di dalam laci. Harsi, guru wali kelas IIA, turun tangan. Tiap murid diminta menggeledah bangku dan tas temannya. Hasilnya, nol. Lalu, Choirun Nisa, si empunya gelang emas seberat empat gram, diberi kesempatan menggeledah semua temannya. Yang hilang tak juga ditemukan. Siswa-siswa pun lalu belajar seperti biasanya. Menjelang pulang, Basyiruddin, wakil kepala sekolah dan guru agama, masuk ke kelas IIA. Ia membagi-bagikan lidi yang sama panjangnya. Ia berpesan, agar lidi itu dibawa kembali ke sekolah esok hari. "Yang mencuri gelang, menurut Pak Basyir, lidinya akan bertambah panjang," cerita Sukarti. Tapi esoknya, tak ada lidi yang bertambah panjang atau pendek. Jebakan Pak Basyir tak mengena. Agaknya, diam-diam pihak sekolah menaruh syak terhadap dua siswa yang masuk kelas duluan, yaitu Sukarti dan Sumaryani. Kepala sekolah, Hery Sugito, Kamis pagi, 10 Januari, memberikan surat kepada dua siswi untuk disampaikan kepada orangtua mereka. Isinya, panggilan ke sekolah. Tapi, aneh, sebelum mereka pulang, surat diambil lagi oleh Subiyanto, karyawan tata usaha sekolah. Kemudian sambil marah dan membentak-bentak, tutur Sukarti dan Sumarni, Subiyanto menganjurkan agar kedua siswi esok pagi masuk sekolah pagi-pagi sambil membawa gelang itu dan memasukannya ke bawah pintu. Kalau tak mau, ancam Subiyanto, mereka akan dikeluarkan. Karena itulah dua siswi itu ketakutan. "Saya sampai menangis, dan bilang sama Sumaryani, kita berdua patungan mengganti gelang daripada dikeluarkan," kata Sukarti. Tapi Jumat pagi tak ada gelang diselundupkan ke bawah pintu kantor SMP II Muhammadiyah maupun ke dalam kelas IIA. Sukarti, anak keempat dari enam bersaudara yang ayahnya pensiunan karyawan Kantor PU Kediri, bagian pembersihan selokan, tak jadi patungan. "Bagaimana saya akan beli gelang, barang itu belum pernah saya lihat," katanya. Tapi, kesanggupannya untuk patungan yang didengar Subiyanto membuat Basyiruddin, wakil kepala sekolah itu, memanggil keduanya ke kantor dan memarahinya habis-habisan. Mungkin karena putus asa dan takut, Sukarti, yang agaknya lebih pemberani daripada temannya, minta dibawa ke polisi, atau disumpah. Basyiruddin tak mau, malahan menantang kedua siswa itu bila memang tak mencuri mesti berani meloncat dari loteng. Sumaryani tak mau melakukan, sementara Sukarti, "untuk membuktikan bahwa saya tak berbuat," katanya, nekat meloncat. Perkara ini sudah sampai ke kepala Kantor P & K Kediri. "Mungkin guru bersangkutan akan mendapat teguran resmi," kata M. Soelkan, kepala Kantor P & K itu. Soelkan juga marah kepada kepala SMP tersebut karena membiarkan siswanya memakai perhiasan ke sekolah. "Itu 'kan dilarang," katanya. Hery Sugito, kepala SMP Muhammadiyah II itu, mengakui kesalahan ada di pihaknya. Semua ongkos berobat Sukarti ditanggung sekolah. Adapun Basyiruddin, 47, lulusan IAIN Sunan Ampel, Surabaya, merasa "tidak pernah menyuruh mereka melompat dari loteng. Saya cuma memeriksa mereka sedikit lebih intensif." Menurut siswa-siswanya, guru yang baru Agustus tahun lalu mengajar di SMP Muhammadlyah II Ini memang sering marah, tapi tidak keras. Mungkin hari itu ia sedikit emosional. Tentu saja Sumani, 60, ayah Sukarti, marah besar. Sebenarnya Kamis sore ia telah menyuruh salah seorang kakak Sukarti menemui Hery Sugito, kepala SMP tempat anaknya sekolah, membicarakan soal tuduhan itu. Entah apa yang telah dibicarakan mereka berdua, tapi esok harinya, Jumat, telanjur Sukarti patah kaki. "Saya sebagai orangtua murid tak merasa dihargai sama sekali," kata Sumani. "Kan saya bisa diminta membantu. Itu bila memang benar anak saya mengambil barang temannya. Bila tidak, bagaimana saya harus memaksa anak saya mengakui yang tak dilakukannya." Peristiwa ini tampaknya mengundang perhatian besar. Ketua PGRI Kediri, Soewardi, malahan sampai mengadakan penelitian tentang tingkah laku Sukarti sewaktu masih di SD. Hasilnya, "Anak itu anak baik. Ia tak pernah terlibat kasus kehilangan barang di kelas mana pun." Soal ini kini ditangani kepolisian. "Daripada kena injak terus, 'kan lebih baik diurusi polisi," kata Sumani. "Kemungkinan kasus ini diajukan ke pengadilan," kata Lettu (Pol) Affandi, kepala Polsek Mojoroto, Kediri, yang menangani kasus Sukarti. Belum jelas, bila nanti Sukarti sudah bisa jalan, akan sekolah di mana. Sebab, "Saya malu sekolah di SMP Muhammadiyah II lagi," kata anak ini. Soelkan, kepala Kantor P & K Kediri, justru menyarankan Sukarti kembali ke sekolahnya. "Tapi pihak sekolah harus mengembalikan nama baiknya," tambahnya. Sementara itu, bagi kepala SMP tersebut, Sukarti kembali atau pindah sekolahtak menjadikan soal benar. "Kalau pindah, sebaiknya yang memindahkan pihak Kantor P & K. Tapi bila tidak, nama baik Sukarti kami jamin," kata Hery. Sementara itu, si pemilik gelang dan keluarganya, setelah Sukarti patah kaki, tak lagi ngotot agar gelang yang hilang kembali. Menurut seorang guru di sekolah ini, siswa kehilangan barang memang sering terjadi. Tapi biasanya selalu ditemukan kembali, bila guru turun tangan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus