Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Akademikus Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Asfinawati, mengkritik pemecatan terhadap seorang anggota Polda Metro Jaya yang memiliki orientasi seksual berbeda. Kebijakan ini dinilai dapat menimbulkan konsekuensi bagi perlindungan bagi kelompok minoritas seksual di Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Ini menjadi bukti tidak ada perlindungan terhadap mereka (kelompok minoritas seksual),” kata Asfinawati ketika dihubungi pada Ahad, 4 Januari 2025. “Ini juga menunjukkan adanya fobia terhadap orientasi seksual.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Fobia terhadap orientasi seksual, kata Asfinawati, akan dibawa oleh anggota polri ketika menjalankan tugas untuk penegakan hukum dan menjaga ketertiban. “Karena dicontohkan atasan, bahkan terjadi secara struktural,” ucap eks Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta itu. Padahal, kata Asfinawati, memiliki orientasi seksual yang berbeda bukanlah sebuah kejahatan.
Selain itu, Asfinawati juga mengatakan orientasi seksual tidak berkaitan dengan profesionalitas polri. Bahkan dalam Peraturan Kapolri Nomor 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaran Tugas Kepolisian NKRI telah secara jelas melarang polisi untuk mendiskriminasi warga berdasarkan orientasi seksual. Dalam Perkap tersebut, Pasal 4 Poin h menyebutkan bahwa HAM tidak membedakan ras, etnik, ideologi, budaya, agama, keyakinan, falsafah, status sosial, dan jenis kelamin atau orientasi seksual.
Kapolda Metro Jaya Irjen Karyoto pada 2 Januari 2025 telah memberhentikan 31 anggotanya. Mereka dinilai telah melakukan perbuatan yang mencoreng nama institusi. Sebanyak delapan anggota dipecat karena penyalahgunaan narkoba, lima belas anggota melakukan desersi, satu anggota terlibat dalam tindak pidana penggelapan atau penipuan, empat anggota dipecat karena perselingkuhan, dua anggota atas pernikahan siri, dan satu orang karena terlibat lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT).
Karyoto mengatakan pelaksanaan pemberhentian dengan tidak hormat (PTDH) dilakukan di setiap wilayah agar memberikan efek jera terhadap anggota di tingkat Polres. Sementara itu ketika memimpin upacara, Karyoto menekankan pentingnya norma agama. “Saya mengingatkan kembali bahwa ikuti syariat agama masing-masing untuk menjadi alat kontrol bagi diri kita dalam membedakan apa yang baik dan buruk,” ujar Karyoto dalam keterangan tertulis 3 Januari 2025.
Alfitria Nefi berkontribusi dalam penulisan artikel ini