PRIA dan wanita memang berbeda. Itulah kesimpulan paling mutakhir yang disajikan dalam laporan utama Time, pekan lalu. Namun, tanpa mengkaji latar belakangnya, mempersoalkan perbedaan antara pria dan wanita adalah lelucon besar. Laporan majalah itu mengetengahkan hasil penelitian para ahli neuropsikologi, anatomi otak, psikologi, dan fisiologi yang meneliti faktor genetik (keturunan) pada masa prajanin. Perbedaan antara pria dan wanita yang sudah ditulis itu ternyata tidak hanya dalam soal seks. Tekanan penulisannya justru melibatkan, antara lain, pada perbedaan otak, kondisi emosional, dan kepekaan mengasuh. Time menghimpun hampir semua penelitian di bidang ini selama tiga tahun terakhir. Konteks tulisan tersebut memang merupakan sebuah perdebatan panjang. Awalnya menyangkut masalah sosial, pembedaan hak, dan perlakuan terhadap wanita yang memunculkan gerakan emansipasi wanita pada tahun 1970-an. Gerakan ini kelak melahirkan kelompok-kelompok studi masalah kewanitaan yang mencoba membuktikan kesamaan antara pria dan wanita. Sasarannya adalah persamaan hak. Dalam studistudi itu dipertanyakan, seberapa jauh kondisi biologis pria dan wanita berbeda. Benarkah wanita tidak bisa bekerja berat karena kondisi fisiknya lemah? Benarkah wanita tidak mampu menjadi pemimpin karena kemampuan berpikirnya di bawah pria? Dari kumpulan pertanyaan itu, muncul kesimpulan umum bahwa perbedaan antara pria dan wanita terjadi akibat pendidikan. Anak lelaki dididik menjadi pria, anak wanita dididik menjadi ibu rumah tangga. Kebudayaan yang menempatkan pria di tempat sentral itu membangun lingkungan tumbuh yang mempengaruhi kondisi hormonal seorang anak dan membentuk perilaku menurut jenis kelamin. Tahun 1974 Psikolog Janet Hyde, salah seorang peneliti masalah kewanitaan, mengkaji perubahan hasil tes di beberapa universitas yang ada di Amerika Serikat selama 25 tahun. Dalam penelitian ini ia menemukan meningkatnya kemampuan matematis pada wanita. Setelah itu, Hyde menggugurkan kepercayaan: wanita lebih terampil di bidang bahasa, dan pria di bidang matematik. Ia yakin, perubahan kemampuan ini terjadi akibat perubahan sikap masyarakat Amerika pada wanita. Pada 1982 terjadi perdebatan. Ahli neuropsikologi Dr. Sandra Witelson menemukan otak wanita secara keseluruhan lebih kecil dari otak pria. Sementara itu, ukuran bagian tengah otak (korpus kolosum, isthmus, splenium) lebih besar. Witelson segera diserang kaum feminis. Penelitiannya dituduh dibayangi pandangan stereotip tentang perbedaan kemampuan antara pria dan wanita. Kelompok feminis memenangkan perdebatan tadi. Teori Witelson dianggap lemah karena ia hanya meneliti sembilan otak pria dan lima otak wanita. Sejak peristiwa ini, banyak ahli percaya, kecuali organ seks, hampir tak ada perbedaan biologis antara pria dan wanita. Tapi kebenaran ini kembali diragukan sejak lima tahun lalu. Pada 1989 Witelson memperbaiki teorinya. Ia menegakkan kembali teori tentang kemampuan bahasa pada wanita. Bagian tengah otak yang ditemukannya lebih besar pada wanita berfungsi mengontrol kemampuan bahasa (TEMPO, 20 Mei 1989). Dan berbagai penelitian lain yang dihimpun Time juga mengukuhkan teori Witelson itu. Kepercayaan lama muncul kembali: ternyata pria dan wanita berbeda secara biologis. Penemuan yang menentukan terjadi pada 1990. Para peneliti di Inggris menemukan gen pembentuk pria pada masa prajanin. Penelitian ini tidak secara langsung terlibat pada perdebatan perbedaan pria dan wanita. Ini riset lebih lanjut penemuan struktur kromosom XX wanita dan XY pria, pada 1959. Para ahli genetik di Inggris itu meneliti pertumbuhan sel tunggal prajanin yang segera terbentuk setelah pembuahan, yaitu pertemuan sel telur dan sel sperma. Para peneliti menemukan proses pembentukan jenis kelamin terjadi pada masa tujuh minggu setelah ini -- sebelum sel membelah diri untuk tumbuh menjadi janin. Dalam inti sel pada mulanya hanya terdapat kromosom XX (salah satu senyawa dalam rangkaian asam amino yang disebut DNA). Bila tidak terjadi perubahan pada kromosom XX itu, janin yang terbentuk berjenis kelamin wanita. Yang menarik perhatian, bila perubahan itu terjadi. Dalam proses ini para peneliti menemukan sebuah gen tunggal yang berperan dalam perubahan itu. Gen ini, dengan memproduksi protein tertentu, membentuk kromosom Y dan membangun susunan kromosom XY. Janin dengan jenis kelamin pria lalu terbentuk. Dalam proses pembentukan kromosom XY, gen tunggal tadi secara aktif mengirim sejumlah perintah ke gengen lain. Perintah diterima, dan sejumlah gen jadinya membawa tanda "pembentukan pria". Yang sudah ditemukan, gen yang membawa tanda genetik pembentukan testis (buah zakar). Di sini terdapat fragmen yang membawa formula produksi hormon testosteron atau hormon pria. Teori yang bangkit dari penemuan itu adalah perbedaan pria dan wanita sudah ditentukan pada masa prajanin. Dan yang penting, dalam kromosom XY terdapat sejumlah "gen pria". Hanya satu yang membawa perintah membentuk jenis kelamin dalam pembelahan sel. Yang lain berperan dalam pembentukan organ lain: jantung, otak, otot, dan sebagainya. Kesimpulannya yang mendasar, sifat pria dan wanita sudah terbentuk sebelum lingkungan dan pendidikan membentuk perilaku. Terbentuknya sifat sejak masa dini itu dibuktikan Mellisa Hines, seorang ahli perilaku. Di laboratoriumnya, di University of California, San Diego, Hines meneliti perilaku anak-anak usia 2 1/2 hingga 8 tahun. Hasilnya menunjukkan, tanpa pengaruh pendidikan, anak wanita memilih mainan boneka dan perangkat dapur. Sementara itu, anak lelaki memilih mainan mobil-mobilan. Hines kemudian meneliti pula sekelompok anak perempuan yang mengidap kelainan genetik, yang jumlah hormon testosteron mereka di atas normal. Tanpa pengaruh pendidikan, anak-anak wanita ini memilih mainan anak lelaki. Penemuan lain yang juga memperkuat teori perbedaan antara pria dan wanita itu adalah hasil penelitian Simon LeVay dari Salk Institute for Biological Studies (TEMPO, 11 Januari 1992). LeVay menemukan ukuran organ otak hipothalamus -- khususnya sebuah kawasan di bagian depan -- berbeda pada pria dan wanita. Pada pria bagian ini memiliki ukuran lebih besar. Bagian hipothalamus ini terungkap berperan mengatur perilaku seksual. Penemuan LeVay kembali menunjukkan perilaku punya kaitan dengan faktor genetik. Hipothalamus, yang sangat berperan dalam keseimbangan hormonal, terbentuk paling awal dalam pertumbuhan janin. Namun, perdebatan tampaknya belum akan berakhir. Laporan Time itu tidak merangkum semua masalah wanita. Peran lingkungan pada pembentukan perilaku, khususnya kemampuan otak, sulit disangkal. Gejala ini tercermin pada penelitian ahli biopsikologi University of Illinois, Janice Juraska, dengan tikus percobaan belum lama ini. Juraska menemukan jaringan saraf mencit betina lebih sederhana daripada tikus jantan. Namun, ketika ia merangsang mencit betina itu dengan berbagai permainan, terlihat perkembangan hubungan sel-sel saraf. Jaringan saraf pada otak mencit itu, karena pengaruh kondisi hormonal, tumbuh menjadi jaringan saraf yang kompleks seekor tikus betina. Penelitian Juraska sedikit banyak mengukuhkan penelitian Janet Hyde pada 1974, yang membuka seluruh persoalan. Dan kebenaran agaknya bisa kembali bergoyang. Sebenarnya, perdebatan tentang peran wanita berakar ke masalah perubahan sosial budaya. Penelitian biologis yang berkaitan dengan asalmuasal di dua kutub itu cuma upaya mengukuhkan argumentasi. Ternyata, itu semua tidak banyak gunanya. Jim Supangkat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini