Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Bidang Profesi dan Pengamanan (Bidpropam) Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Timur (Polda NTT) memastikan akan melakukan audit terhadap anggota polisi yang diduga melakukan penganiayaan dan intimidasi terhadap Pemimpin Redaksi Floresa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Tim dari Propam Polda NTT akan langsung turun ke lapangan untuk melakukan audit investigasi terhadap pelaksanaan pengamanan yang diduga mengakibatkan penganiayaan oleh oknum anggota tersebut," tutur Kepala Bidang Humas Polda NTT Komisaris Besar Ariasandy dalam keterangan tertulis, dikutip Kamis, 17 Oktober 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ariasandy menjelaskan bahwa setelah menerima laporan terkait dugaan penganiayaan dan intimidasi tersebut, Bidpropam Polda NTT membentuk tim investigasi untuk menangani kasus. Ia juga memastikan investigasi akan dilakukan secara transparan dan akuntabel. Rencananya, ungkap Ariasandy, tim investigasi akan melakukan audit di lokasi kejadian pada Jumat besok.
"Bidpropam sangat serius menangani laporan pengaduan dari jurnalis Media Floresa," katanya.
Laporan itu sendiri disampaikan oleh seorang jurnalis pada tanggal 11 Oktober 2024. Ia menjelaskan dirinya telah mengalami penganiayaan oleh seorang anggota Kepolisian Resor (Polres) Manggarai. Akibat tindakan tersebut, ungkap Ariasandy, pelapor mengalami kesakitan dan trauma.
"Setelah audit dan investigasi dilakukan, kami akan segera memberikan informasi terkait perkembangan kasus ini," ucap Ariasandy.
Sebelumnya, Pemimpin Redaksi Floresa, Herry Kabut, menjadi korban kekerasan aparat kepolisian di Poco Leok, Kecamatan Satar Mese, Kabupaten Manggarai, NTT, pada Rabu, 2 Oktober 2024.
Dia mengaku mendapat perlakuan dicekik, dipukul, dan ditendang saat meliput unjuk rasa masyarakat adat setempat yang menolak perluasan proyek geothermal milik PLN ke wilayah kampung mereka. Selain itu, ia juga mengatakan sempat ditahan dalam mobil.
Herry menjelaskan, dirinya mendapat perlakuan kekerasan karena mengambil foto-foto dan dituduh memprovokasi masyarakat adat. Padahal, Herry menambahkan, tak satu pun aparat keamanan, pihak PLN, maupun pemerintah daerah setempat yang menegur atau mengimbau untuk tidak mengambil foto dan video.
Irsyan Hasyim berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan Editor: Kantor Redaksi Jubi di Jayapura Papua Dilempar Bom Molotov