Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Raja Hutan Jadi Penjaga Rumah

Sidang digenjot hingga malam, Bob Hasan pun divonis dalam kasus korupsi pemotretan hutan. Tapi hukumannya cuma dua tahun penjara.

4 Februari 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MOHAMMAD "Bob" Hasan agaknya selalu menduduki rangking satu. Dulu, ia meraih predikat sebagai raja hutan sekaligus pembina atlet utama. Ia juga dikenal sebagai operator bagi aliran dana berbagai yayasan yang dipimpin mantan presiden Soeharto. Bahkan ia pernah menjadi Menteri Perdagangan dan Industri pada masa akhir pemerintahan Soeharto. Dan, setelah pensiun, Bob pun menjadi pengusaha kroni utama Soeharto yang pertama dihukum pengadilan. Jumat pekan lalu, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memvonis Bob dengan hukuman dua tahun penjara dalam kasus korupsi dana pemotretan hutan. Vonis itu bisa menjadi kado ulang tahun Bob, yang sebulan lagi berusia 70 tahun. Agaknya, usia lanjut itu yang membuat majelis hakim pimpinan Soebardi berpendapat bahwa Bob sebaiknya tak bekerja di luar rumah alias ditahan di rumah saja. Persidangan Bob mestinya berlangsung pada pukul 09.00. Tapi, begitu tiba saatnya, majelis hakim tak kunjung menggelar sidang. Baru pada pukul 11.15, seorang petugas pengadilan memberitahukan bahwa sidang ditunda seusai salat Jumat. Akhirnya, sidang yang dimulai pukul 13.30 itu berlangsung sampai malam hari, sekitar pukul 22.00. Sementara itu, Jaksa Arnold Angkouw dan dua hakim yang tidak sedang membaca putusan tampak terkantuk-kantuk. Di kursi terdakwa, Bob terlihat tahan duduk lama. Tak sedikit pun ia berkeinginan ke kamar kecil. Mungkin itu lantaran Bob lama berkecimpung di dunia atletik. Hanya wajahnya agak pucat dan letih. Tangannya diletakkan di atas kedua paha bercelana hitam. Sesekali Bob, yang mengenakan kemeja hijau muda itu, mengelap keringat di wajahnya dengan kertas tisu putih, padahal bangkunya berada di bawah kipas angin dan semua jendela ruang sidang dibuka. Menurut Jaksa Arnold, perjalanan sobat bermain golf dan memancing Soeharto ini ke pengadilan bermula pada 1989. Ketika itu, Bob selaku Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) memberi proyek pemotretan udara untuk hutan seluas 88,6 juta hektare kepada PT Adikarto Printindo. Namun, proyek senilai US$ 247 juta yang dananya berasal dari iuran 680 pengusaha pemegang HPH anggota APHI itu hanya akal bulus Bob Hasan. Sebab, sebelumnya ia telah membuat kesepakatan dengan Direktur Utama PT Adikarto, Bambang Riyadi Soegama, untuk mengambil alih saham perusahaan itu. Bob pun akhirnya menguasai 100 persen saham PT Adikarto dan nama perusahaan itu diubah menjadi PT Mapindo Parama. Pada 1996, kembali muslihat bisnis Bob digunakan saat PT Mapindo menerima proyek Departemen Kehutanan dan Perkebunan untuk memotret kawasan hutan lindung, konservasi, dan lahan kritis seluas 30,6 juta hektare. Biayanya US$ 87,08 juta dan diambil dari dana reboisasi. Akibat modus dua korupsi itu, menurut jaksa, negara rugi US$ 75 juta dan APHI merugi US$ 168 juta. Namun, Bob menyangkal tuduhan jaksa. Ia membenarkan dirinya ditawari oleh Direktur Utama PT Adikarto untuk membeli saham 51 persen. Soalnya, perusahaan itu mengalami kesulitan dana untuk pemotretan udara. Tapi, "Tak benar ada komitmen saya untuk memberikan proyek tersebut kepada PT Adikarto bila sahamnya kelak saya beli setelah kontrak ditandatangani," katanya. Bob juga merasa tak pernah mencampuri kegiatan PT Mapindo. Alasannya, semua itu menjadi wewenang direksi PT Mapindo, sedangkan Bob hanya menjadi komisaris utama. Sementara itu, pembela Bob, Agustinus Hutajulu, menyoroti dakwaan jaksa yang mengualifikasi Bob sebagai pelaku turut serta. Menurut Agustinus, pelaku turut serta seharusnya turut berniat, mengetahui rencana perbuatan dari pelaku utama, dan ikut melakukan perbuatan itu bersama pelaku utama. Tapi, "Jaksa tak pernah membuktikan bahwa terdakwa adalah pelaku turut serta," katanya. Toh, majelis hakim berpendapat, meski pelaku utama belum diadili?dalam hal ini direksi PT Mapindo, pengurus APHI, dan pejabat di Departemen Kehutanan?tak berarti terdakwa tak bisa diadili. Majelis hakim juga menolak pembelaan Bob. "Terdakwa, sebagai bekas pejabat, seharusnya bisa melakukan koordinasi dan kontrol yang baik ke perusahaannya," kata Hakim Soebardi. Tapi, majelis hakim hanya menyalahkan Bob dalam kasus pemotretan hutan lindung seluas 30,6 juta hektare. Sedangkan dalam kasus pemotretan hutan produksi seluas 88,6 juta hektare, majelis menganggap Bob tak harus menanggung kesalahan. Alasannya, kontrak proyek itu berlangsung sebelum Bob mengambil alih PT Adikarto. Berdasarkan itu, majelis hakim hanya menghukum Bob dengan penjara dua tahun?dikurangi masa penahanan Bob selama sembilan bulan. Selain itu, Bob juga dihukum membayar denda Rp 15 juta dan ganti rugi Rp 14 miliar. Tentu saja vonis dua tahun penjara itu terkesan ringan. Kejanggalan pun mengental bila menilik persidangan Bob yang ditunda seusai salat Jumat dan kemudian digenjot sampai malam hari. Padahal, persidangan Bob tak terkendala oleh faktor teknis, misalnya masa penahanan. Bandingkan dengan persidangan vonis kasus subversi dengan terdakwa A.M. Fatwa dan A.Q. Djaelani, pada akhir 1985, yang diforsir hingga malam lantaran hari itu saat terakhir penahanan kedua terdakwa. Yang pasti, tiada kata sepatah pun meluncur dari mulut Bob, yang dulu dikenal akrab merangkul wartawan. Ia hanya sekali menghapus air mata dengan jempol tangan sebelum menyatakan banding. Sedangkan Agustinus berkata, "Pendapat kami berbeda dengan majelis hakim." Akan halnya Jaksa Arnold, ia tentu kecewa lantaran vonis Bob jauh lebih rendah dari tuntutan hukumannya, yakni delapan tahun penjara. Arnold juga merasa kesal karena keterangan saksi Prajogo Pangestu dan Martias tak dibacakan hakim. Padahal, dua saksi itu menerangkan bahwa dana APHI yang disetor ke PT Mapindo berasal dari masyarakat. Meskipun demikian, vonis di atas baru satu dari segunung kasus Bob yang lain. Setelah selesai dengan kasus itu, Bob akan dijaring dengan kasus korupsi dana Asosiasi Panel Kayu Indonesia senilai US$ 241,5 juta dan kasus dana bantuan likuiditas Bank Indonesia sebesar Rp 12 triliun. Belum lagi kasus korupsi di segerobak yayasan Soeharto. Agus S. Riyanto dan Andari Karina Anom

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus