WALTER SPIES dan Rudolf Bonnet adalah legenda. Orang mengenal mereka sebagai bohemian yang buku-buku tubuhnya peka terhadap romantisme Bali. Spies, lelaki berdarah Jerman kelahiran Moskow tahun 1895 itu, bertempat tinggal di Ubud selama 15 tahun. Awalnya, Spies memperkenalkan kertas, tinta cina, dan sketsa kepada pelukis setempat.
Bersama Bonnet, Spies mendirikan Pita Maha, perkumpulan pelukis Bali yang menyediakan cat, kuas, dan kanvas secara gratis sembari mengajarkan kaidah-kaidah lukisan modern, seperti komposisi atau perspektif. Tuan Tepis, begitu panggilan akrabnya dari warga Bali. Ida Bagus Made, Anak Agung Gede Sobrat, Anak Agung Gede Meregreg, antara lain, adalah sebagian muridnya. Rangsangan Spies dan Bonnet terhadap kesenian Bali mirip dengan yang dilakukan pelukis Prancis, Paul Gauguin, kepada seni rupa tradisional Tahiti
Memang, era kedua legenda itu di Bali (1928-1942) adalah masa ketika awal keajaiban Bali yang masih suci dikeroyok oleh gairah oriental seniman pelancong, misalnya antropolog Gregory Bateson, Margareth Mead, pemusik Jaap Kunst, Colin Macphee, Le Mayeur, Hofker, dan novelis Vicky Baum, bahkan komedian Charlie Chaplin, yang sekadar mampir. Dari begitu banyak kawan, pasti ada saja yang bertandang, mengobrol, dan rendezvous di studio Spies. Spies pernah bekerja di Keraton Yogya sebagai pemandu orkes. Tapi, agaknya ia lebih terpikat oleh alam Tanah Dewata. Ia dikenal sebagai seorang guide yang seolah-olah lebih berjiwa Bali.
Buku Dance & Drama in Bali, karyanya berdua dengan Beryl De Zoet, menunjukkan tingkat petualangannya. Buku itu adalah sebuah deskripsi yang luas dan dalam tentang tarian yang diperolehnya dari hasil pengelanaannya dari desa ke desa. Puluhan foto yang dilampirkan di situ adalah rekaman Spies. De Zoet sungguh mengagumi pengetahuan Spies yang ensiklopedik. "Mulai anggrek Bali sampai soal kesurupan, ia tahu," demikian ditulis De Zoet. Satu dari orang-orang yang kerap mengunjungi Walter Spies adalah fotografer bernama Paul Spies (yang tak punya hubungan kekerabatan). Fotografi mungkin sekadar hobi, karena pekerjaan sesungguhnya berhubungan dengan simpan-menyimpan uang. Pada usia 20 tahunan, lelaki Belanda ini datang ke Hindia Belanda. Ia bekerja di cabang Javasche Bank. Karirnya melesat. Tahun 1949, ia diangkat menjadi Direktur Javasche Bank. Semasa di Batavia, ia sudah sering melakukan surat-menyurat dengan Rudolf Bonnet. Dan bila darah seninya tak terbendung, ia melancong ke Bali untuk mencari obyek. Karena Bonnet rajin menyimpan foto Spies, dokumen itu terselamatkan, dan pada 1978 disumbangkan kepada Royal Tropical Institute, Amsterdam.
Spies dan Bonnet memiliki visi yang sama tentang cahaya. Mereka berdua adalah pelukis yang tergila-gila pada bayang-bayang tropis. Dengan caranya masing-masing, mereka mengekspresikannya ke kanvas. Walter Spies, misalnya, yang pernah belajar pada Otto Dix di Jerman tapi terpengaruh oleh Henry Rousseau, pelukis naturalis surealis Prancis, seolah menemukan bayang-bayang di Bali sebagai ungkapan mistik. Maka, sawah, sapi, petani, rumpun bambu yang ada di kanvasnya selalu dilukis seakan-akan ditimpa oleh suatu back-drop cahaya sehingga menimbulkan bayang-bayang gelap yang imajis.
Karena itu, Paul Spies berusaha bereksperimen dengan cahaya dari belakang. Ia banyak mempraktekkan ini saat memotret ngaben atau upacara-upacara lain. Tak jarang ia memotret pada lokasi yang sama persis dengan yang dilukis si Tuan Tepis, misalnya lukisan Walter Spies yang berjudul Iseh in Morgenlicht. Sayang, hasil fotografi Paul Spies itu belum mampu menyamai daya realisme magis, suasana surealistis, seperti yang memancar dari kanvas Tuan Tepis. Fakta dan fiksi memang berbeda.
Paul Spies tak hanya membidik alam. Yang menarik adalah karya-karyanya yang membidik keseharian teman-temannya. Mereka direkam dalam keseharian, bukan dalam keadaan lengkap dengan kostum untuk menari. Salah satu fotonya adalah foto Ni Polok, istri Le Mayeur, yang tengah berias. Ada di antaranya yang tetap mencoba bereksperimen dengan bayang-bayang dan cahaya,seperti rekamannya atas Dewa Ketut Beng Gunarsa ketika telanjang bulat mandi di laut lepas.
Foto-foto Spies yang lain lebih menjurus pada foto dokumenter. Tapi, justru ini yang sangat penting, karena banyak menampilkan foto-foto keseharian Walter Spies, Rudolf Bonnet, atau Theo Meier, pelukis Swiss yang setelah tinggal di Tahiti lalu hijrah ke Bali. Kita mendengar nama-nama ini, tetapi jarang melihat dokumen mereka. Foto-foto itu menunjukkan mereka tengah berbincang di studio Theo. Atau, foto seniman Bali seperti Tjokorda Alit Putra yang bercengkerama, terbahak-bahak di salah satu rumah mereka. Ada foto Walter Spies sendirian sedang melukis. Foto-foto ini menampilkan suasana akrab dan intim dan mengirim aura Bali, yang saat itu bersahaja dan sederhana tapi penuh gelegak eros kemurnian. Sayang, foto-foto dengan suasana intim itu hanya berjumlah delapan buah.
Nasib Walter Spies dan Paul Spies berakhir dengan tragis. Tahun 1938, Belanda diduduki Jerman. Di Hindia Belanda terjadi pembalasan, warga Jerman ditangkapi. Menjelang Jepang datang, Spies dan ratusan tahanan lain diangkut kapal Van Imhoff untuk dipindahkan ke Sri Lanka dan India. Di dekat Pulau Nias, kapal itu tenggelam akibat torpedo Jepang. Nasib sang fotografer tak kalah mengenaskan. Tahun 1963, Paul Spies ke Laos Tengah. Malang tak dapat ditolak, saat itu perang saudara bergejolak. Bersama penerjemahnya, pada 5 Februari 1963 ia tewas terbunuh oleh tentara Komunis Laos. Pemakamannya berlangsung dengan penghormatan militer Amerika di Laos.
Laknat politik mengakhiri kecintaan mereka pada keindahan bayang-bayang.
Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini