Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Perburuhan Tak Buruh, Aturan Disalahkan

Kalangan pengusaha menuntut agar aturan PHK dicabut karena terlalu memberatkan. Tapi, serikat pekerja menganggap tuntutan itu sebagai langkah mundur.

4 Februari 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

YANG lemah gampang dituding salah. Itulah problem klasik yang melingkupi buruh (pekerja). Ketika belakangan ini beberapa pengusaha sepatu dihebohkan hengkang ke Vietnam, tuduhan pun ditimpakan ke buruh, yang dianggap sebagai penyebab karena acap mogok besar-besaran dan menuntut terlalu besar. "Tuntutan yang melampaui kemampuan perusahaan sehingga tidak saling menguntungkan memaksa industri berpaling ke negara tetangga," kata Djimanto, Sekretaris Jenderal Asosiasi Persepatuan Indonesia. Dan tuntutan buruh dianggap pula menguat gara-gara ada Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 150 Tahun 2000 tentang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). "Secara sistematis dan gradual, keputusan itu bisa menimbulkan pembengkakan biaya produksi," tutur Djimanto. Bila beban ongkos itu melampaui daya dukung perusahaan, ujarnya, perusahaan akan tutup. Itu sebabnya kalangan pengusaha menuntut agar pemerintah mencabut keputusan tersebut. Kontan, heboh relokasi sebagian bisnis sepatu ke Vietnam dan tuntutan pencabutan keputusan di atas membuat pemerintah bagai kebakaran jenggot. Sampai-sampai, Wakil Presiden Megawati dan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri, Rizal Ramli, menginstruksikan agar masalah perburuhan bisa segera diatasi. Buntutnya, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Al-Hilal Hamdi, mengisyaratkan rencana merevisi keputusan tentang PHK, uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan ganti kerugian itu. Ada empat pasal dalam keputusan itu yang akan dirombak, yakni Pasal 15, 16, 18, dan 26. Pasal 15 adalah tentang pekerja yang mangkir lima hari berturut-turut dianggap mengundurkan diri. Pasal 16 tentang kewajiban perusahaan memberikan 75 persen upah bila buruh diskors. Pasal 18 tentang beberapa kondisi yang memungkinkan perusahaan memecat (PHK) buruh. Dan Pasal 26 tentang kewajiban perusahaan memberi uang penghargaan dan ganti rugi bila buruh mengundurkan diri secara baik-baik. Yang paling disorot adalah Pasal 26. Pasal ini tak ada dalam aturan lama (Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 03 Tahun 1996). "Pasal 26 itu sangat merugikan perusahaan. Sudah perusahaan kehilangan karyawan yang telah diinvestasi lewat biaya pendidikan dan latihan, perusahaan masih harus membayar lagi bila karyawan itu mundur," tutur Djimanto. Menurut Al-Hilal Hamdi, dalam jangka pendek mungkin ketentuan itu menguntungkan karyawan. Tapi, untuk jangka panjang, aturan itu bisa menjadi bumerang buat karyawan. Al-Hilal lantas mencontohkan sebuah perusahaan minyak yang sudah mengembangkan program pensiun. Di perusahaan itu, seorang sarjana yang sudah bekerja selama 24 tahun akan memperoleh uang pensiun sebesar Rp 240 juta. Namun, bisa terjadi, 10 bulan menjelang pensiun, sarjana tadi minta mundur. Akibatnya, selain tetap harus membayar uang pensiun Rp 240 juta, perusahaan juga mesti memberikan uang penghargaan dan ganti rugi. Kira-kira perusahaan harus membayar total Rp 370 juta. Kecemasan ini, kata Al-Hilal, bisa membuat perusahaan berhitung dua kali untuk tidak mengembangkan sistem pensiun atau mengurangi biaya pendidikan dan latihan. Karena itu, Menteri Al-Hilal setuju dengan penyempurnaan Pasal 26, agar perusahaan tak kena beban ganda. Perbaikan pasal itu kira-kira menjadi: bila perusahaan sudah menyediakan program pensiun yang ternyata lebih besar nilanya ketimbang jumlah uang penghargaan dan ganti rugi, pekerja yang mundur hanya menerima uang pensiun. Bila uang pensiunnya lebih rendah dari uang penghargaan dan ganti rugi, selisihnya dibayar oleh perusahaan. Layakkah usul perubahan itu? Buat kalangan serikat pekerja, misalnya Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI), rencana revisi keputusan tentang PHK itu merupakan langkah mundur. Apalagi Keputusan No. 150 Tahun 2000 itu berasal dari penyempurnaan Peraturan No. 03 Tahun 1996. "Perubahan suatu aturan mestinya jadi lebih baik, bukannya malah mundur," ucap Andy William Sinaga dari SBSI. Sekretaris Hubungan Masyarakat SBSI itu juga menganggap dalih buruh sebagai penyebab hengkangnya perusahaan dari Indonesia merupakan tuduhan berlebihan. Padahal, katanya, tak sehatnya iklim bisnis lebih disebabkan oleh ketidakstabilan politik dan keamanan, ketidakpastian hukum, dan korupsi. Lagi pula, Andy menambahkan, sebagian besar kasus PHK yang diperkarakan buruh bukan lantaran mereka menuntut uang pesangon, penghargaan, dan ganti rugi yang berlebihan, melainkan lebih karena pengusaha enggan memberi tiga jenis imbalan yang sudah diatur itu. Kecuali itu, sebanyak 40 persen dari 273 kasus mogok buruh yang terjadi selama tahun 2000 ternyata juga bukan karena masalah PHK, melainkan karena perusahaan tak mau memenuhi ketentuan upah minimum. Ardi Bramantyo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus