Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Rampok Lagi, Rampok Lagi

Perampokan ramai lagi dan semakin nekat, muncul perampokan besar-besaran, korban kejahatan naik, usaha-usaha pencegahan a.l: operasi clurit. (krim)

29 Januari 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Hukuman mati terhadap diri saya, saya kira efeknya positif, biar penjahat takut dan bertobat. Sebab risiko dari kejahatannya adalah hukuman mati. Biarlah saya jadi tumbal. Asal setelah saya, jangan ada lagi kejahatan yang bisa menyebabkan jatuhnya hukuman mati .... " (TEMP0, 12 Januari 1980). ITU adalah wasiat terakhir Henky Tupanwael, terpidana mati pelaku berbagai perampokan, menjelang pelaksanaan hukumannya Januari 1980. Tapi wasiat itu tampaknya cepat terlupakan. Atau karena memang para penjahat enggan mengingat petuah "sesepuh" mereka itu. Peringatan keras dari pemerintah, berupa hukuman mati buat Oesin, Henky, dan Kusni Kasdut, untuk mengerem "perampokan di mana-mana" ketika itu, terasa kurang ampuh. Buktinya akhir-akhir ini kejahatan mulai menggelisahkan. Bahkan terlihat sasaran mereka mulai tertuju ke pedesaan dan pinggiran-pinggiran kota. Lebih dari itu, dalam beroperasi, para perampok mulai berkongsi dengan belasan sampai 20 orang pelaku. Padahal sasaran mereka di pedesaan bukanlah kakap, malahan kebanyakan petani gurem atau pedagang kecil yang untuk hidup sehari-hari saja sudah cukup sulit. Maka "berdasar ilmu hitung dagang sebenarnya mereka rugi," kata Letkol (Pol) Soetadjo, Komandan Satserse Kodak X Ja-Tim, sambil tertawa. Memang "rugi". Kawananperampokyang beroperasi dini hari 21 Desember lalu di Desa Meteseh, Semarang Selatan, misalnya, cuma bisa menggaet Rp 29 ribu, karena ada perlawanan penduduk. Uang sebegitu harus dibagi, tentu saja, di antara sekitar 20 orang (menurut penduduk bahkan sampai 50 orang) yang malam itu ikut menggarong. Tapi agaknya mereka sama-sama puas. Rabu pekan lalu, komplotan rampok yang sama, begitu dugaan polisi, menggasak Desa Tembalang, masih di wilayah Kecamatan Semarang Selatan itu. Pentolannya, menurut Wakil Komandan Rayon Militer Semarang Selatan, Pelda Samsisi, seperti diberitakan Sinar Harapan, adalah seorang bekas militer. Dia yang dalam memimpin operasi memakai strategi militer, nampaknya tahu persis malam itu anggota polisi dan Brimob yang bertugas menyambang (mengawal) desa itu sudah ditarik, karena keadaan dinilai sudah aman. Maka, dengan gagah komplotan garong itu menggebrak. Satu-satunya petugas ronda yang masih terjaga, Saino, sekitar pukul 01.0 mendengar jeritan dari arah rumah Muhtain, Modin (penghulu kampung) di desa itu. Saino, yang dikenal pintar main silat, segera memburu. Belum sampai di sana, ia melihat rumah Bakri juga dikepung perampok. Tapi sebelum ia sempat berbuat apa-apa, dari kegelapan malam sebuah kelewang menyabet leher Saino. Ia tersungkur di parit dan esok harinya penduduk menjumpai Saino telah meninggal berlumur darah. Dari rumah Bakri, Muhtain dan rumah Nyonya Sumi, yang berhasil dirampok boleh dibilang tak seberapa: hanya beberapa potong pakaian, radio dan emas berupa kalung, cincinldan anting-anting. Rampok ramai-ramai seperti terjadi di Semarang Selatan itu, nampaknya kini sedang menjadi "mode". Belasan perampok, misalnya, dengan leluasa memasuki beberapa rumah di Desa Firdaus, Deli Serdang, Sumatera Utara, hingga ada penduduk yang terpaksa mengungsi (TEMPO, 15 Januari). Mereka tak hanya merampok, tapi juga memperkosa dua anak gadis, setelah mempreteli perhiasan yang dipakai para korban. Kawanan perampok di daerah Padang Tikar (empat jam perjalanan dengan perahu bermotor dari Pontianak, Kal-Bar) hampir pula memperkosa korbannya. Daerah sepi yang biasanya aman tenteram itu terguncang akhir 1982 lalu, ketika sepuluh perampok menggedor pintu rumah seorang WNI keturunan Cina. Kawanan itu mengikat tangan dan kaki semua penghuni rumah dan menyumbat mulut para korban. Sementara itu, istri pemilik rumah ditelanjangi. Syukurlah niat perampok untuk memperkosa urung. "Nyonya rumah itu baru saja melahirkan," kata Daeng Sulaiman, 62 tahun, sesepuh masyarakat daerah itu. Di Lampung, kawanan perampok dengan jumlah anggou 13 orang beraksi dua pekan lalu. Bersenjata golok dan pisau, dengan beringasnya mereka mendobrak rumah Sudjarwo, 50 tahun, petani di Way Harong, Kecamatan Pulau Panggung, Lampung Selatan. Mereka menggondol 20 kilogram beras, sebuah lampu tekan, periuk nasi dan beberapa potong pakaian. Beberapa hari kemudian polisi menangkap kawanan perampok itu. Kawanan garong yang menjarah di Kelurahan Sukapura, Jakarta Utara sehari sebelumnya berhasil lolos. Di daerah itu, kasus kejahatan berupa pencurian kecil sebenarnya bukan hal aneh. "Hampir tiap hari terjadi," kata Danial, 25 tahun, warga RT 01/RW 03. Mendadak malam itu, 14 Januari, listrik di rumahnya dipadamkan orang dari luar. Bersamaan dengan itu, pintu depan dan belakang, digedor-gedor. Rampok yang lain memecahkan kaca jendela dan masuk dari sana. Setelah menggondol sebuah radio, uang Rp 30 ribu dan satu pak rokok (Danial membuka warung) kawanan terdiri delapan orang itu beroperasi di rumah lain. Kebetulan saat itu penduduk yang lain, Dasan, baru membuka pintu rumah, mau mengambil air wudhu untuk sembahyang tahajud. Penjahat, tanpa banyak kesulitan memasuki rumahnya. Lepas menggerayangi rumah Dasan kawanan rampok mendatangi rumah Haji Amirullah, 50 tahun, dan berhasil menemukan uang Rp 24 ribu, antinganting tiga gram dan cincin dua gram yang dipakai istrinya, serta lima pak rokok. Sebuah arloji dan kalkulator juga turut diambil. Meski begitu, menurut Kepala Dinas Penerangan Mabak, Kol.Pol. Sakir Subardi, angka kejahatan dengan kekerasan sebenarnya tak meningkat. Selama tahun 1982 (sampai 1 September), katanya, di seluruh Indonesia hanya terjadi kurang dari 14.000 kasus kejahatan dengan kekerasan. Sedangkan tahun sebelumnya, 1981, angkanya mencapai 17.000 lebih. Jauh di atas angka tahun ]980 yang hanya sekiur 12.000 kasus. Hanya saja, kata Sakir, secara kualius, "tindak kejahatan memang naik." Antara lain, mereka kini sudah berani melawan petugas atau memperalat oknum ABRI. Juga mulai menggunakan teknologi seperti: kunci palsu dan kendaraan bermotor. Pokoknya, "mereka meniru cara penjahat di Jakarta," kata Kepala Seksi Penerangan Kodak XIV Sulselra, Kapten (Pol) Sumarlian Dasuki. Di Kalimanun Barat, Sumatera Barat, Jawa Barat dan Jawa Timur, angka kejahatan menurun, terutama dalam dua tahun terakhir. Tapi di Lampung dan Jakarta, kuantitas dan kualitas kejahatan cenderung naik. Menurut Dan Satserse Kowil 61 Lampung, Lettu Pol. Sera'i M. Amin, kasus kejahatan tahun 1982 tercatat 3.000 Iebih (tahun sebelumnya kurang dari 3.000). Kenaikan itu, kata Sera'i, karena Lampung merupakan daerah transit, sekaligus pintu gerbang antara Pulau Jawa dan Sumatera. Angka kejahatan di Jakarta pun ternyata naik (libat tabel). Penyebab yang pasti dari menggejalanya perampokan secara beramai-ramai belakangan ini belum diketahui. Tapi Brigjen (Pol) Soedarmadji, Kadapol X Ja-Tim, memperkirakan antara lain "karena siskamling (sistem keamanan lingkungan) yang semakin mantap." Bila mereka hanya berjumlah kecil, katanya, pasti akan pikir-pikir untuk menghadapi dua-tiga orang petugas ronda. Ia juga menduga, mereka bukan penjahat profesional. Dari hasil perampokan yang bisa diperoleh dari penduduk miskin, nampaknya memang mereka hanya sekadar untuk memenuhi kebutuhan hari ini. Penjahat golongan ini, diduga muncul akibat pengaruh kehidupan yang mulai sulit belakangan ini, di samping pengaruh lain yang sudah lama dikenal: urbanisasi, pengangguran. Sebab itu mereka hanya berani beroperasi di daerah pinggiran atau tempat terpencil yang jauh dari jangkauan polisi. Tapi kalau tak terjangkau polisi, mengapa pula harus merampok berombongan? "Solidaritas masyarakat di daerah pinggiran biasanya tinggi," kata Kadin Krimsus Kodak Metro Jaya, Letkol (Pol) Drs. Seh Tarigan. Berbeda dengan penjahat yang beroperasi di daerah terpencil, kawanan perampok di kou atau yang sering menyatroni pemukiman elite, biasa beroperasi dengan jumlah lebih kecil. Mereka menganggap jumlah antara tiga sampai tujuh orang, sudah cukup. Hanya saja, mereka memang sering berbekal senjata api. Kalangan kepolisian memperkirakan di Jakarta dan sekitarnya saat ini beredar sekitar 700 senjata api gelap. Banyak di antaranya yang diduga digunakan untuk melakukan kejahatan. Satu di antaranya dipakai kawanan perampok yang menggerayangi rumah Nyonya Manah 26 tahun, istri muda Haji Tekel di Jalan Enggram, RT 03/RW 02 Kelurahan Pisangan Jaya, Ciputat, Jakarta Selatan. Malam itu, Kamis 13 Januari lalu, kebetulan suaminya menginap di rumah istri tua. Menjelang tengah malam Nyonya Manah mendengar pintu rumahnya didobrak orang. Ketika membuka pintu kamar, betul juga, ia melihat sesosok bayangan tinggi besar mengenakan kedok hitam sudah berdiri di ruang dalam rumahnya. Di belakangnya berdiri dua orang lagi, yang tak kalah beringas meski tanpa kedok. Dari rumah itu, penjahat kemudian mengangkub tv hitam putih 14 inci, sebuah radio kaset dan dua buah jam dinding serta uang tunai Rp 201.500. Kesemuanya dinaikkan dalam mobil yang diparkir beberapa ratus meter dari rumah itu. Dan sebelum meninggalkan rumah, mungkin karena penasaran, kawanan perampok menembak lemari berisi barang pecah belah hingga isinya pecah berantakan. Kejahatan dengan senjata api, juga sering terjadi di Sumatera Selatan. Misalnya yang terjadi di rumah Udjang Solihin, seorang purnawirawan ABRI, di Tebingtinggi, Lahat, pada 26 Desember. Lalu perampokan terhadap truk yang dikemudikan Amin bulan sebelumnya di daerah itu. Tapi menurut Wakil Komandan Satserse Kodak VI Sum-Sel, Mayor (Pol.) Dyaeri, "senjata api yang digunakan perampok di daerah ini kebanyakan buatan lokal." Tanggal 9 Januari lalu, kepolisian Sum-Sel menggrebek pandai besi yang hiasa membuat senjata api di Dusun Bailangu dekat Kota Sekayu, Kabupaten Musi Banyuasin. Dari tangan A. Bustam, pandai besi tadi, disita tujuh pucuk senjata api terdiri dari lima senjata laras panjang dan dua pucuk senjata api genggam. Bustam mengaku telah memproduksi 43 pucuk senjata api, terdiri 10 pistol dan 33 senjata laras panjang, atas pesanan seseorang. Menurut Kadispen Mabak, Kol. (Pol.) Sakir Subardi, kasus kejahatan dengan senjata api di seluruh Indonesia cukup banyak. Tahun 1980, tercatat ada 198 kasus yang naik menjadi 208 kasus di tahun berikutnya. Tapi pada 1982, kasus kejahatan dengan senjata api tercatat menurun: hanya 89 kasus. Sedangkan senjata api yang berhasil disita dari berbagai operasi yang diadakan polisi tak kurang dari 179 buah. Terdiri dari 16 pucuk senjata api genggam, 26 pucuk senjata api bahu dan tujuh pistol gas. Tahun 1982 lalu, senjata api yang terhanyak disita di Jakarta (25 pucuk). Kemudian di Lampung (20 pucuk) dan Medan (19 pucuk). Dan menurut dr. Abdul Mun'im dari Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia (LKUI), angka kematian akibat kejahatan senjata api di Jakarta cukup mengkhawatirkan. Tahun lalu (1982), kata Mun'im, 41 korban terbunuh oleh senjata api. Itu berarti 17,29% dari jumlah total korban pembunuhan (237 kasus) yang terjadi tahun itu. Padahal di tahun 1981, yang terbunuh dengan senjata api hanya 15 orang (jumlah total korban pembunuhan 185). Selain kejahatan dengan senjata api dan perampokan ramai-ramai, jenis kejahatan lain yang bisa dicatat belakangan ini ialah digunakannya modus operandi baru. Atau menurut istilah Kadit Serse Kodak VII, Kol. (Pol.) Hindarto, "pengembangan dari modus operandi lama." Para penjahat kawakan, yang umumnya residivis, menurut Hindarto, memang selalu berusaha menyempurnakan cara kerja mereka. Apa boleh buat, berdasarkan pengalaman mereka sendiri, dan juga tuntutan keadaan, penjahat jadi semakin cerdik, terkadang juga semakin nekat. "Bagaimana tak akan nekat kalau mencuri Rp 2-3 juta cuma kena beberapa bulan?" kata Hindarto tertawa. Tapi memang, ada yang nekat karena terdesak kebutuhan, atau tak melihat lagi jalan untuk menyelamatkan diri. Semua itu jelas membuat polisi dan aparat keamanan umumnya, harus bekerja keras. Apalagi karena kini kemampuan Polri dalam menangani atau menyelesaikan perkara kejahatan seperti diakui Irjen Mabak Mayjen (Poi.) Suradi Permada, baru sekitar 50%. Hal itu, katanya kepada Pangkopkamtib Laksamana Sudomo pekan lalu ketika meninjau Siskamling di Jakarta, karena terbatasnya peralatan dan jumlah personil. Pos polisi di daerah misalnya, jangankan menggunakan pesawat telepon. Sepeda pun sering tak ada.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus