"Hukuman mati terhadap diri saya, saya kira efeknya positif,
biar penjahat takut dan bertobat. Sebab risiko dari kejahatannya
adalah hukuman mati. Biarlah saya jadi tumbal. Asal setelah
saya, jangan ada lagi kejahatan yang bisa menyebabkan jatuhnya
hukuman mati .... "
(TEMP0, 12 Januari 1980).
ITU adalah wasiat terakhir Henky Tupanwael, terpidana mati
pelaku berbagai perampokan, menjelang pelaksanaan hukumannya
Januari 1980. Tapi wasiat itu tampaknya cepat terlupakan. Atau
karena memang para penjahat enggan mengingat petuah "sesepuh"
mereka itu. Peringatan keras dari pemerintah, berupa hukuman
mati buat Oesin, Henky, dan Kusni Kasdut, untuk mengerem
"perampokan di mana-mana" ketika itu, terasa kurang ampuh.
Buktinya akhir-akhir ini kejahatan mulai menggelisahkan. Bahkan
terlihat sasaran mereka mulai tertuju ke pedesaan dan
pinggiran-pinggiran kota. Lebih dari itu, dalam beroperasi, para
perampok mulai berkongsi dengan belasan sampai 20 orang pelaku.
Padahal sasaran mereka di pedesaan bukanlah kakap, malahan
kebanyakan petani gurem atau pedagang kecil yang untuk hidup
sehari-hari saja sudah cukup sulit.
Maka "berdasar ilmu hitung dagang sebenarnya mereka rugi," kata
Letkol (Pol) Soetadjo, Komandan Satserse Kodak X Ja-Tim, sambil
tertawa. Memang "rugi". Kawananperampokyang beroperasi dini hari
21 Desember lalu di Desa Meteseh, Semarang Selatan, misalnya,
cuma bisa menggaet Rp 29 ribu, karena ada perlawanan penduduk.
Uang sebegitu harus dibagi, tentu saja, di antara sekitar 20
orang (menurut penduduk bahkan sampai 50 orang) yang malam itu
ikut menggarong. Tapi agaknya mereka sama-sama puas.
Rabu pekan lalu, komplotan rampok yang sama, begitu dugaan
polisi, menggasak Desa Tembalang, masih di wilayah Kecamatan
Semarang Selatan itu. Pentolannya, menurut Wakil Komandan Rayon
Militer Semarang Selatan, Pelda Samsisi, seperti diberitakan
Sinar Harapan, adalah seorang bekas militer. Dia yang dalam
memimpin operasi memakai strategi militer, nampaknya tahu persis
malam itu anggota polisi dan Brimob yang bertugas menyambang
(mengawal) desa itu sudah ditarik, karena keadaan dinilai sudah
aman.
Maka, dengan gagah komplotan garong itu menggebrak. Satu-satunya
petugas ronda yang masih terjaga, Saino, sekitar pukul 01.0
mendengar jeritan dari arah rumah Muhtain, Modin (penghulu
kampung) di desa itu. Saino, yang dikenal pintar main silat,
segera memburu. Belum sampai di sana, ia melihat rumah Bakri
juga dikepung perampok. Tapi sebelum ia sempat berbuat apa-apa,
dari kegelapan malam sebuah kelewang menyabet leher Saino.
Ia tersungkur di parit dan esok harinya penduduk menjumpai Saino
telah meninggal berlumur darah. Dari rumah Bakri, Muhtain dan
rumah Nyonya Sumi, yang berhasil dirampok boleh dibilang tak
seberapa: hanya beberapa potong pakaian, radio dan emas berupa
kalung, cincinldan anting-anting.
Rampok ramai-ramai seperti terjadi di Semarang Selatan itu,
nampaknya kini sedang menjadi "mode". Belasan perampok,
misalnya, dengan leluasa memasuki beberapa rumah di Desa
Firdaus, Deli Serdang, Sumatera Utara, hingga ada penduduk yang
terpaksa mengungsi (TEMPO, 15 Januari). Mereka tak hanya
merampok, tapi juga memperkosa dua anak gadis, setelah
mempreteli perhiasan yang dipakai para korban.
Kawanan perampok di daerah Padang Tikar (empat jam perjalanan
dengan perahu bermotor dari Pontianak, Kal-Bar) hampir pula
memperkosa korbannya. Daerah sepi yang biasanya aman tenteram
itu terguncang akhir 1982 lalu, ketika sepuluh perampok
menggedor pintu rumah seorang WNI keturunan Cina. Kawanan itu
mengikat tangan dan kaki semua penghuni rumah dan menyumbat
mulut para korban. Sementara itu, istri pemilik rumah
ditelanjangi. Syukurlah niat perampok untuk memperkosa urung.
"Nyonya rumah itu baru saja melahirkan," kata Daeng Sulaiman, 62
tahun, sesepuh masyarakat daerah itu.
Di Lampung, kawanan perampok dengan jumlah anggou 13 orang
beraksi dua pekan lalu. Bersenjata golok dan pisau, dengan
beringasnya mereka mendobrak rumah Sudjarwo, 50 tahun, petani di
Way Harong, Kecamatan Pulau Panggung, Lampung Selatan. Mereka
menggondol 20 kilogram beras, sebuah lampu tekan, periuk nasi
dan beberapa potong pakaian. Beberapa hari kemudian polisi
menangkap kawanan perampok itu.
Kawanan garong yang menjarah di Kelurahan Sukapura, Jakarta
Utara sehari sebelumnya berhasil lolos. Di daerah itu, kasus
kejahatan berupa pencurian kecil sebenarnya bukan hal aneh.
"Hampir tiap hari terjadi," kata Danial, 25 tahun, warga RT
01/RW 03. Mendadak malam itu, 14 Januari, listrik di rumahnya
dipadamkan orang dari luar.
Bersamaan dengan itu, pintu depan dan belakang, digedor-gedor.
Rampok yang lain memecahkan kaca jendela dan masuk dari sana.
Setelah menggondol sebuah radio, uang Rp 30 ribu dan satu pak
rokok (Danial membuka warung) kawanan terdiri delapan orang itu
beroperasi di rumah lain. Kebetulan saat itu penduduk yang lain,
Dasan, baru membuka pintu rumah, mau mengambil air wudhu untuk
sembahyang tahajud. Penjahat, tanpa banyak kesulitan memasuki
rumahnya.
Lepas menggerayangi rumah Dasan kawanan rampok mendatangi rumah
Haji Amirullah, 50 tahun, dan berhasil menemukan uang Rp 24
ribu, antinganting tiga gram dan cincin dua gram yang dipakai
istrinya, serta lima pak rokok. Sebuah arloji dan kalkulator
juga turut diambil.
Meski begitu, menurut Kepala Dinas Penerangan Mabak, Kol.Pol.
Sakir Subardi, angka kejahatan dengan kekerasan sebenarnya tak
meningkat. Selama tahun 1982 (sampai 1 September), katanya, di
seluruh Indonesia hanya terjadi kurang dari 14.000 kasus
kejahatan dengan kekerasan. Sedangkan tahun sebelumnya, 1981,
angkanya mencapai 17.000 lebih. Jauh di atas angka tahun ]980
yang hanya sekiur 12.000 kasus.
Hanya saja, kata Sakir, secara kualius, "tindak kejahatan memang
naik." Antara lain, mereka kini sudah berani melawan petugas
atau memperalat oknum ABRI. Juga mulai menggunakan teknologi
seperti: kunci palsu dan kendaraan bermotor. Pokoknya, "mereka
meniru cara penjahat di Jakarta," kata Kepala Seksi Penerangan
Kodak XIV Sulselra, Kapten (Pol) Sumarlian Dasuki.
Di Kalimanun Barat, Sumatera Barat, Jawa Barat dan Jawa Timur,
angka kejahatan menurun, terutama dalam dua tahun terakhir.
Tapi di Lampung dan Jakarta, kuantitas dan kualitas kejahatan
cenderung naik. Menurut Dan Satserse Kowil 61 Lampung, Lettu
Pol. Sera'i M. Amin, kasus kejahatan tahun 1982 tercatat 3.000
Iebih (tahun sebelumnya kurang dari 3.000). Kenaikan itu, kata
Sera'i, karena Lampung merupakan daerah transit, sekaligus pintu
gerbang antara Pulau Jawa dan Sumatera. Angka kejahatan di
Jakarta pun ternyata naik (libat tabel).
Penyebab yang pasti dari menggejalanya perampokan secara
beramai-ramai belakangan ini belum diketahui. Tapi Brigjen (Pol)
Soedarmadji, Kadapol X Ja-Tim, memperkirakan antara lain "karena
siskamling (sistem keamanan lingkungan) yang semakin mantap."
Bila mereka hanya berjumlah kecil, katanya, pasti akan
pikir-pikir untuk menghadapi dua-tiga orang petugas ronda. Ia
juga menduga, mereka bukan penjahat profesional.
Dari hasil perampokan yang bisa diperoleh dari penduduk miskin,
nampaknya memang mereka hanya sekadar untuk memenuhi kebutuhan
hari ini. Penjahat golongan ini, diduga muncul akibat pengaruh
kehidupan yang mulai sulit belakangan ini, di samping pengaruh
lain yang sudah lama dikenal: urbanisasi, pengangguran.
Sebab itu mereka hanya berani beroperasi di daerah pinggiran
atau tempat terpencil yang jauh dari jangkauan polisi. Tapi
kalau tak terjangkau polisi, mengapa pula harus merampok
berombongan? "Solidaritas masyarakat di daerah pinggiran
biasanya tinggi," kata Kadin Krimsus Kodak Metro Jaya, Letkol
(Pol) Drs. Seh Tarigan.
Berbeda dengan penjahat yang beroperasi di daerah terpencil,
kawanan perampok di kou atau yang sering menyatroni pemukiman
elite, biasa beroperasi dengan jumlah lebih kecil. Mereka
menganggap jumlah antara tiga sampai tujuh orang, sudah cukup.
Hanya saja, mereka memang sering berbekal senjata api. Kalangan
kepolisian memperkirakan di Jakarta dan sekitarnya saat ini
beredar sekitar 700 senjata api gelap. Banyak di antaranya yang
diduga digunakan untuk melakukan kejahatan.
Satu di antaranya dipakai kawanan perampok yang menggerayangi
rumah Nyonya Manah 26 tahun, istri muda Haji Tekel di Jalan
Enggram, RT 03/RW 02 Kelurahan Pisangan Jaya, Ciputat, Jakarta
Selatan. Malam itu, Kamis 13 Januari lalu, kebetulan suaminya
menginap di rumah istri tua. Menjelang tengah malam Nyonya Manah
mendengar pintu rumahnya didobrak orang. Ketika membuka pintu
kamar, betul juga, ia melihat sesosok bayangan tinggi besar
mengenakan kedok hitam sudah berdiri di ruang dalam rumahnya. Di
belakangnya berdiri dua orang lagi, yang tak kalah beringas
meski tanpa kedok.
Dari rumah itu, penjahat kemudian mengangkub tv hitam putih 14
inci, sebuah radio kaset dan dua buah jam dinding serta uang
tunai Rp 201.500. Kesemuanya dinaikkan dalam mobil yang diparkir
beberapa ratus meter dari rumah itu. Dan sebelum meninggalkan
rumah, mungkin karena penasaran, kawanan perampok menembak
lemari berisi barang pecah belah hingga isinya pecah berantakan.
Kejahatan dengan senjata api, juga sering terjadi di Sumatera
Selatan. Misalnya yang terjadi di rumah Udjang Solihin, seorang
purnawirawan ABRI, di Tebingtinggi, Lahat, pada 26 Desember.
Lalu perampokan terhadap truk yang dikemudikan Amin bulan
sebelumnya di daerah itu. Tapi menurut Wakil Komandan Satserse
Kodak VI Sum-Sel, Mayor (Pol.) Dyaeri, "senjata api yang
digunakan perampok di daerah ini kebanyakan buatan lokal."
Tanggal 9 Januari lalu, kepolisian Sum-Sel menggrebek pandai
besi yang hiasa membuat senjata api di Dusun Bailangu dekat Kota
Sekayu, Kabupaten Musi Banyuasin. Dari tangan A. Bustam, pandai
besi tadi, disita tujuh pucuk senjata api terdiri dari lima
senjata laras panjang dan dua pucuk senjata api genggam. Bustam
mengaku telah memproduksi 43 pucuk senjata api, terdiri 10
pistol dan 33 senjata laras panjang, atas pesanan seseorang.
Menurut Kadispen Mabak, Kol. (Pol.) Sakir Subardi, kasus
kejahatan dengan senjata api di seluruh Indonesia cukup banyak.
Tahun 1980, tercatat ada 198 kasus yang naik menjadi 208 kasus
di tahun berikutnya. Tapi pada 1982, kasus kejahatan dengan
senjata api tercatat menurun: hanya 89 kasus. Sedangkan senjata
api yang berhasil disita dari berbagai operasi yang diadakan
polisi tak kurang dari 179 buah. Terdiri dari 16 pucuk senjata
api genggam, 26 pucuk senjata api bahu dan tujuh pistol gas.
Tahun 1982 lalu, senjata api yang terhanyak disita di Jakarta
(25 pucuk). Kemudian di Lampung (20 pucuk) dan Medan (19 pucuk).
Dan menurut dr. Abdul Mun'im dari Lembaga Kriminologi
Universitas Indonesia (LKUI), angka kematian akibat kejahatan
senjata api di Jakarta cukup mengkhawatirkan. Tahun lalu (1982),
kata Mun'im, 41 korban terbunuh oleh senjata api. Itu berarti
17,29% dari jumlah total korban pembunuhan (237 kasus) yang
terjadi tahun itu. Padahal di tahun 1981, yang terbunuh dengan
senjata api hanya 15 orang (jumlah total korban pembunuhan 185).
Selain kejahatan dengan senjata api dan perampokan ramai-ramai,
jenis kejahatan lain yang bisa dicatat belakangan ini ialah
digunakannya modus operandi baru. Atau menurut istilah Kadit
Serse Kodak VII, Kol. (Pol.) Hindarto, "pengembangan dari modus
operandi lama." Para penjahat kawakan, yang umumnya residivis,
menurut Hindarto, memang selalu berusaha menyempurnakan cara
kerja mereka.
Apa boleh buat, berdasarkan pengalaman mereka sendiri, dan juga
tuntutan keadaan, penjahat jadi semakin cerdik, terkadang juga
semakin nekat. "Bagaimana tak akan nekat kalau mencuri Rp 2-3
juta cuma kena beberapa bulan?" kata Hindarto tertawa. Tapi
memang, ada yang nekat karena terdesak kebutuhan, atau tak
melihat lagi jalan untuk menyelamatkan diri.
Semua itu jelas membuat polisi dan aparat keamanan umumnya,
harus bekerja keras. Apalagi karena kini kemampuan Polri dalam
menangani atau menyelesaikan perkara kejahatan seperti diakui
Irjen Mabak Mayjen (Poi.) Suradi Permada, baru sekitar 50%. Hal
itu, katanya kepada Pangkopkamtib Laksamana Sudomo pekan lalu
ketika meninjau Siskamling di Jakarta, karena terbatasnya
peralatan dan jumlah personil. Pos polisi di daerah misalnya,
jangankan menggunakan pesawat telepon. Sepeda pun sering tak
ada.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini