TERANG bukan sebuah acara karnaval -- walaupun memang ada
iring-iringan cukup panjang, dikawal sejumlah polisi, juru
kamera berkali-kali mengambil gambar dan menjadi tontonan orang
sepanjang jalan. Sebab pusat arak-arakan adalah seseorang dengan
wajah benar-benar murung, dengan kedua tangan diborgol dan
berjalan di bawah terik matahari tengah hari, di aspal panas,
dengan kaki telanjang.
Dan lagi yang diarak keliling Kisaran, kota kecil di Sumatera
Utara 8 Desember lalu, bukan orang asing lagi: Yus Rivai
Harahap (35 tahun), wartawan Harian Sinar Indonesia Baru (SIB)
Medan, yang pernah dicalonkan salah sebuah partai politik di
daerahnya untuk duduk sebagai anggota parlemen dalam pemiiu
1977.
Arakan berangkat dari Kantor Kepolisian Kisaran (Kosekta 20601)
di Jalan Cokroaminoto menuju kantor kecamatan. Dari situ menuju
sebuah kantor di dekat stasiun KA. Iring-iringan makin panjang
--terdiri dari para penonton yang ingin menyaksikan kelanjutan
"karnaval" mereka hari itu -- kemudian menuju sebuah kedai kopi
Padang Bolak. Dari situ, sebelum kembali ke kantor polisi,
arak-arakan mampir dulu di sebuah pangkalan sepeda motor sewaan,
di sana disebut stasiun RBT.
Perjalanan keliling kota tersebut, menempuh jarak sekitar 5 km,
dimulai tengah hari, berakhir 4 jam lebih 45 menit yaitu pukul
16.15. Acara apa sebenarnya? "Rekonstruksi!" ujar Kapten Bambang
Susetyo, Komandan Sektor Kepolisian yang punya "hajat", kepada
sejumlah pemuda KNPI yang mempertanyakan perihal arak-arakan
yang menghebohkan kota hari itu. Yaitu, suatu usaha kepolisian
untuk memperoleh gambaran bagaimana Yus Rivai mengambil sebuah
sepeda motor.
Duduk soalnya jelas polisi mendakwa Yus Rivai mencuri sebuah
sepeda motor. Kejadiannya: 7 Desembr lalu Yus Rivai menyewa
sebuah sepeda motor dari Kopral Pakpahan. Untuk sesuatu urusan,
Yus memarkir kendaraan sewaannya, sebuah Yamaha berwarna merah,
di halaman Kantor Kecamatan Kisaran. Selesai dengan urusannya,
boleh jadi tidak dapat membedakan dengan sepeda motor yang
diparkir bersebelahan, Yus ternyara enak saja mengambil
kendaraan milik Ali Amran -- jenis dan warnanya sama dan
kebetulan dengan kunci yang cocok pula.
Sementara Yus ngobrol dengan rekan sesama wartawan di kedai
kopi Padang Bolak, Ali Amran ribut karena kehilangan kendaraan.
Melihat ada sepeda motor lain, yang mirip dia punya dan tanpa
pemilik, Ali Amran berpikir gampang saja telah terjadi salah
ambil. Untuk itu Ali Amran membawa kendaraan tanpa tuan
tersebut ke polisi sambil membuat laporan.
Akan hal Yus Rivai, tak kurang pula kagetnya. Ketika ia hendak
mengembalikan kendaraan sewaannya, ternyata pemiliknya,
Pakpahan, menyambutnya dengan heran: "Bah, ini bukan saya
punya!" Barulah Yus tahu apa yang terjadi. Tapi semuanya dapat
dibereskan. Pakpahan melihat kendaraan miliknya diparkir di
kantor polisi --ketika ia bersama Yus kelilingan mencari
kendaraannya yang tertukar.
Urusan sebenarnya selesai. Tanpa banyak rewel Ali Amran dan
Pakpahan bertukar kembali kendaraan mereka. Tapi tidak bagi
polisi. Sore itu, berdasarkan perintah Kapten Bambang Susetyo,
polisi menciduk Yus Rivai dari kedai kopi Chong Bi di Jalan
Sutomo. Tanpa banyak cerita wartawan sial ini disekap di sebuah
sel. Dan tak boleh dijenguk keluarganya -- walaupun istrinya
yang sekedar ingin mengantarkan sehelai sarung. Dia baru
dibebaskan 11 Desember.
Tanpa proses berpanjang-panjang pula, esok harinya polisi sudah
memulai mengadakan rekonstruksi. Untuk itu sejumlah wartawan
diundang untuk menyaksikan. Beberapa orang wartawan yang hadir
sebenarnya sudah mulai bersuara: apa salahnya rekonstruksi
dilakukan dengan mobil saja dan tidak berjalan kaki seperti
direncanakan. Kapten Bambang, menurut seorang wartawan, menolak
dengan alasan: tidak ada bensin. Bagaimana kalau wartawan yang
menyumbang bensin? Dansek, menurut Harian SIB kemudian, jadi
marah: "Itu bukan urusan saudara!" katanya.
Pun Ali Amran sendiri, yang mula-mula merasa kehilangan, mencoba
mencegah Kapten Bambang melakukan rekonstruksi. Di tengah jalan
Ali Amran mencegat iring-iringan sambil berkata: "Persoalannya
'kan sudah selesai pak?" Tapi ia disergah komandan polisi yang
lagi berang itu ."Itu bukan urusan saudara!" Rekonstruksi
berjalan terus.
Tentu saja hehoh. SIB menuduh perlakuan polisi terhadap
wartawannya merupakan "balas dendam". Belakangan SIB memang
sering mengarahkan kritiknya ke alamat polisi. Yaitu tentang
tahanan yang disiksa dan perjudian gelap yang meluas di Kisaran.
Itu, seperti tulis SIB, terlihat juga dari ucapan Kapten Bambang
kepada para wartawan sebelum rekonstruksi berlangsung -- yang
katanya begini "Bung harus berterimakasih kepada saya. Orang
yang memberitakan wartawan terima sogok dari agen judi gelap
sudah saya tangkap."
Reaksi muncul dari berbagai kalangan pula. Ketua Biro Hukum PWI
Medan, Haji Kamaluddin SH, mngecam: Tindakan polisi yang
demikian itu "emosional, demonstrasi kekuasaan dan hanya
menjatuhkan citra polisi di mata masyarakat." Jika tulisan Yus
Rivai di SIB memang tidak benar, lanjut Kamaluddin, "baiknya
diselesaikan di muka pengadilan dan bukan membalasnya dengan
perbuatan yang melanggar hak asasi manusia."
Kaput
Apa lagi cara melakukan rekonstruksi yang sangat keterlaluan.
Dan menurut Mansen Purba, anggota DPRD Sum-Ut, "tidak semua
perkara harus pakai rekonstruksi." Perlakuan polisi terhadap
bandit besar seperti Kaput, misalnya, ternyata lebih baik
daripada yang diterima Yus Rivai yang masih belum tentu lagi
bersalah. Kaput, perampok (residivis) yang terkenal di sana,
boleh duduk di mobil polisi ketika menuju tempat rekonstruksi.
Tapi ketika wakil kepala Seksi Penerangan Kodak II, Kapten SA
boru Tobing menanyakan pengarakan itu ke Kisaran, Kapten Bambang
menjawab: "rekonstruksi dilakukan jalan kaki, tapi jarak yang
ditempuh hanya 150 meter. "
7 organisasi pemuda di Kabupaten Asahan juga melancarkan
resolusi atas kejadian itu. Bambang Susetyo, katanya, telah
mencampurbaurkan sentimen pribadi dengan wewenang jabatannya,
berlebih-lebihan dan tentu saja melanggar perikemanusiaan.
Kepala Daerah Kepolisian (Kodak) Sum-Ut sudah ambil perhatian.
Sebuah tim peneliti, menurut siaran pers kepolisian, telah
diturunkan. Tindakan tegas, bila benar ada yang tak beres di
Kisaran, telah dijanjikan. Namun betapa pun, Yus Rivai -- yang
pernah diminta seorang pejabat kepolisian Asahan untuk tidak
memperpanjang urusan itu -- tetap akan menuntut Kapten Bambang.
Caranya? Belum tahu. "Prinsipnya saya menuntut," kata Rivai. Dan
kepada pengllrus PWI Cabang Medan, 13 Desember lalu Kadapol II
Sum-Ut, Brigjen JFR Montolalu menyatakan telah menindak Kapten
Bambang Susetyo. "Tindakan Kapten Bambang tidak bijaksana,
karena itu pantas dia ditindak," kata Montolalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini