MALAM itu Abu Hasan resah, berkali-kali dia membalikkan badan. Poniti, istrinya -- yang tiduran di sebelahnya -- tak menghiraukannya. Bahkan ketika lelaki usia 60 tahun itu mencolek Poniti, istrinya itu tetap cuek saja. Malah perempuan itu membokongi suaminya. Kesabaran Abu Hasan pun habis "Kamu main serong, ya," katanya menuduh bininya. Dituduh begitu, perempuan berusia 40 tahun itu ngomel. "Nek serong aku patenono, yo gelem." ("Kalau memang serong, saya mau dibunuh)," jawabnya. Rupanya kemarahan Abu Hasan sudah mencapai ubun-ubun. Sebuah bendho (parang tumpul dengan ujung lekuk), yang ada di dekatnya, langsung menjawab permintaan istrinya, yang sudah lima tahun dikawininya itu. "Praak ... prak... " bendho tersebut menghantam batok kepala perempuan yang tak berdaya itu. Kepala ibu dua anak ini langsung pecah. Pipi kiri dan kanan juga kena sabetan. Lehernya teriris, lengan kanannya nyaris putus, dan lima jari tangan kanannya tertebas habis. Jeritan Poniti malam itu, membuat penduduk Dusun Kalijaran, Desa Sambikerep, Kecamatan Lakarsantri, Surabaya -- yang Rabu dua pekan lalu itu masih melaksanakan salat taraweh -- langsung menghambur ke rumah Abu Hasan. Pintu rumah yang hanya terbuat dari triplek itu didobrak penduduk. "Saya dibacok Kang Abu," rintih Poniti, menahan sakitnya. Tubuh perempuan itu langsung dibawa ke RSU. Dr Sutomo. Tapi jiwanya tak tertolong, Poniti tewas. Abu Hasan -- dengan hanya memakai kaus singlet dan celana dalam -- saat itu juga sudah melarikan diri. Setelah mendapat pinjaman celana dari salah seorang temannya. Lelaki berperawakan kecil dan berkuht hitam ini melanjutkan pelariannya menuju daerah Lidahkulon, 6 km dari kampungnya. Bahkan ia sempat jalan-jalan ke pasar Wonokromo, dan mengaku sebagai gelandangan. Sekitar 150 penduduk bersama-sama dengan polisi -- lengkap dengan anjing pelacaknya -- selama tiga hari berturut-turut, tak mampu mencium jejaknya. Sehari sebelum terjadi pembunuhan itu, Abu Hasan memang pernah mengeluh kepada Kasan, tetangga sebelah rumahnya. "Dia bercerita, sudah 4 hari tak dilayani istrinya. Mungkin gara-gara dongkol, lantas ia membabi buta membunuh istrinya," kata Kasan kepada TEMPO. Hampir semua penduduk Sambikerep tak percaya jika Abu Hasan tega membunuh istrinya. Pasalnya, Abu itu orang yang suka humor dan jarang sakit hati. Seminggu sebelum kejadian, kata tetangganya, Abu masih terlihat mesra dengan Poniti berobat ke Puskesmas. Lima hari setelah kejadian, akhirnya polisi berhasil membekuk. Karena kehabisan bekal, Abu Hasan mampir ke rumah Siti, bekas keponakannya, yang bekerja sebagai tukang pijat di daerah Embong Malang. Lelaki yang tak pernah mengenyam pendidikan itu bermaksud hendak meminjam uang. Namun Siti sudah tahu bahwa bekas pamannya itu dalam keadaan buron. Tanpa sepengetahuan Abu Hasan, Siti menyuruh seseorang melapor ke Polsek Tegalsari. Polisi pun datang, dan tanpa perlawanan, Abu Hasan langsung diringkus. Berdasarkan pengusutan polisi, ternyata Abu Hasan telah dua kali melakukan pembunuhan terhadap istri-istrinya. Pembunuhan pertama dilakukannya terhadap Painten, istri pertama yang telah memberikannya lima orang anak. Perkawinan yang dijalinnya sejak 1960 itu akhirnya pada 1971 kandas dengan seutas kawat yang dijeratkan Abu Hasan di leher Painten. Itu pun juga karena rasa cemburu. Akibat tindakanya itu ia menjalani hukuman 7 tahun penjara. Ketika ditemui TEMPO di tahanan, Abu Hasan mengakui membunuh istrinya karena rasa cemburu. "Lha, Poniti itu suka serong. Dia sering ngomel-ngomel dan malah minta mati," katanya. "Ketika itu memang saya sedang kalap. Tapi kini saya menyesal," ujarnya, dengan air mata menetes perlahan. Banyak residivis di negeri ini. Tapi mungkin hanya Abu Hasan yang residivis pembunuh istri.Gatot T (Bandung), Wahyu M dan Zed Abidin (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini