Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Residivis tanpa remisi

Dengan keppres 7 maret 87 jatah remisi para napi diubah. keringanan maksimal hanya diberikan 6 bulan tidak berlaku bagi napi yang dikurung 6 bln. akibatnya, penerima remisi susut sekitar 4525 orang.

22 Agustus 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEKITAR lima puluh wanita berseragam biru di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Tangerang merayakan 17 Agustus dengan wajah berseri. Di antara para pembina, penjaga, dan karyawan LP, tampak Ny. Santi, ibu tiri Arie Hanggara. Ia ikut menyanyi beberapa buah lagu sebelum menyantap nasi kunin. Wanita cantik yang sudah mendekam tiga tahun di penjara ini termasuk di antara tiga orang yang pekan ini menerima hadiah remisi, pemotongan masa tahanan yang diberikan setiap peringatan proklamasi 17 Agustus. Selain mereka, menurut Kepala LP, Nyonya Soewarni, ada 39 orang lagi yang mendapat hadiah itu. Tahun ini remisi yang diberikan paling tinggi lima bulan. Memang, mulai pekan ini, jatah remisi para napi diubah. Perubahan itu sesuai dengan Keputusan Presiden, 7 Maret 1987. Dalam keputusan pengganti Keppres Nomor 156/1950 ini, ada beberapa hal yang berubah. Misalnya pada pasal 3 disebutkan bahwa remisi tidak diberikan pada narapidana kambuhan (residivis) dan napi yang dikenai pidana kurungan kurang dari 6 bulan. Di luar napi kategori di atas, keringanan maksimal hanya diberikan 6 bulan, dibanding dulu mereka bisa mendapat jatah potongan sembilan bulan. Keringanan 6 bulan ini pun terbatas pada mereka yang telah menjalani hukuman tahun keenam ke atas. Peraturan baru ini juga tidak lagi memperkenankan pemberian remisi bagi napi yang mendapat hukuman penjara seumur hidup. Ia baru dapat diberi remisi jika hukuman seumur hidup diubah menjadi hukuman penjara sementara, melalui grasi Presiden. Menteri Ismail Saleh, tahun ini, menyempatkan diri menghadiri upacara pemberian remisi ini di LP Bogor. Secara simbolis Menteri, Senin pekan ini, memberikan remisi pada dua narapidana yang mewakili 40 orang rekannya: Dewanto, terpidana 12 tahun penjara dalam kasus pembunuhan dan Dodo Alfa, terpidana 2 tahun dalam kasus korupsi. Bagi Dodo, remisi 3 bulan ini berarti ia sudah bisa segera bebas karena masa hukumannya habis. Sedangkan Dewanto, yang pernah memperoleh potongan hukuman 3 dan 6 bulan, kini diperingan 5 bulan lagi. Tetapi tidak semua merasa gembira dengan adanya keputusan baru ini. Di LP Wirogunan, Yogyakarta, setelah Kepala Lembaga Pemasyarakatan, Mulyo Wiyono, menjelaskan keputusan pemerintah ini, sekitar 200 napi yang berkumpul di aula bergumam dan pada berbisik. "Biasanya beberapa hari menjelang dan sesudah pengumuman remisi bagi napi, suasana penjara cukup panas," kata Agus Winarno, staf keuangan di lembaga tersebut. Panas tersebut diletupkan oleh para napi yang tidak memperoleh keringanan. Biasanya mereka yang tidak mendapat remisi melakukan aksi protes dengan cara memukuli peralatan makan atau bernyanyi keras-keras pada jam istirahat. Yang lebih keras bentuknya: perkelahian sesama napi. Memang, pemotongan ini menyebabkan adanya napi yang dirugikan di seluruh Indonesia, dari jumlah 24.918 napi, seharusnya 17.467 yang -- dalam Keppres lama termasuk penerima remisi. Tetapi dengan adanya klasifikasi baru ini, susut sekitar 4.525 orang. Tahun lalu, dari jumlah 23.508 orang napi di seluruh Indonesia, sebanyak 17.568 orang dianugerahi remisi. Tampaknya, ketentuan baru ini bukannya tanpa maksud. "Selama ini, kita hanya mempertimbangkan segi manusiawi pelaku pidana. Tapi, sekarang, kita juga memikirkan korban kejahatannya. Sebuah hukuman bukanlah hukuman saja. Tapi juga mendidik, dalam arti bisa membuat pelaku jera," kata Dirjen Pemasyarakatan, Hudioro. "Coba saja pikir mosok ada napi dilepas tahun 1985, setahun kemudian sudah melakukan kejahatan lagi. Masyarakat 'kan jadi resah. Di mana rasa keadilannya?" Dengan Keppres baru ini, diharapkan napi tidak mengulangi kejahatan dalam tempo kurang dari dua tahun. "Remisi merupakan suatu anugerah dari pemerintah," kata Menteri. "Kalau tidak diberi, ya, tidak bisa menuntut, karena bukan hak," ujarnya. Bunga Surawijaya, Laporan Happy S. (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus