AMAN Gandaharjana, 45 tahun, mungkin satu-satunya kepala desa yang berani menggugat bupatinya sendiri. Perbuatannya ini dilakukan gara-gara sejak 5 Maret 1986, Aman diskors Bupati Majalengka. Kepala Desa Liangjulang itu dipersalahkan menyelewengan sejumlah uang pembangunan SD Inpres dan madrasah ibtidaiyah sanawiyah dengan cara memalsukan tanda tangan ketua dan bendahara LKMD (Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa). Meski dalam penyidikan, polisi menyatakan tuduhan itu tidak terbukti, skorsing yang semula disebutkan hanya sebulan itu tidak juga dicabut hingga berusia 15 bulan. Merasa difitnah, kepala desa terpilih dalam pemilihan tahun 1982 itu kini menggugat Bupati untuk membayar ganti rugi Rp 97 juta. "Sejumlah Rp 75 juta ganti rugi pencemaran nama baik, selebihnya merupakan uang hasil panen sawah bengkok seluas 4 hektar selama 15 bulan yang belum dibayarkan," kata ayah seorang anak itu. Pengadilan Negeri Majalengka, Kamis pekan lalu, membuka persidangan bawahan menggugat atasan tersebut. Sidang pertama itu hanya berlangsung kurang dari 10 menit. Karena ternyata dari tujuh orang yang mewakili pihak Bupati, tak seorang pun membawa surat kuasa. "Lho, surat mandat itu 'kan dasar Saudara untuk ngomong di sini," kata Ketua Majelis Hakim, M.R.P. Hutagalung, menegur. Sidang akan dibuka kembali awal bulan depan, setelah para kuasa tergugat membawa mandat penuh. Aman sendiri tidak menguasakan gugatannya kepada pengacara. Tuduhan itu bermula dari Berita Acara Penyelesaian (BAP) proyek pembuatan gorong-gorong dan rehabilitasi SD Inpres dan madrasah ibtidaiyah sanawiyah. Sebelum dilaporkan ke Pemda, BAP itu harus ditandatangani dulu oleh kepala desa dan ketua LKMD serta bendaharanya sebagai pimpinan proyek. "Saya menerima BAP itu sudah ditandatangani oleh ketua dan bendahara LKMD. Sedikit pun saya tak curiga kedua tanda tangan itu palsu," kata Aman. Setelah ditandatangani Aman, BAP, yakni bukti proyek itu sudah selesai, dikirim ke Bupati. Entah bagaimana ceritanya, beberapa hari kemudian Aman menerima surat skorsing dari Bupati. Padahal, ia merasa tidak pernah ditegur atau diperingatkan Bupati sebelum skorsing jatuh. Dalam surat keputusan skorsing itu, Aman diberi waktu 1 bulan untuk menyelesaikan soal pemalsuan tanda tangan dan penyalahgunaan uang proyek tersebut. Apabila sampai batas waktu itu kasus itu tidak diselesaikan, ancam Bupati, akan diambil tindakan pemecatan dan pengusutan lewat polisi. "Tapi apabila ada kekeliruan di kemudian hari, keputusan ini akan ditinjau kembali," bunyi skorsing itu. Aman menolak tuduhan itu. "Itu fitnah," katanya. Lantas ia pun mengusut semua aparat pamong desa. Tak sulit mencari siapa pemalsu tanda tangan itu. Nana Suwarna, 49 tahun, Sekretaris Desa Liangjulang segera mengakui. "Sayalah yang memalsu tanda tangan itu. Itu saya lakukan demi kelancaran administrasi, karena didesak waktu, tidak ada niat jelek," kata Nana Suwarna terus terang. Aman pun melaporkan pengakuan sek-desnya itu kepada Bupati. Penyidikan sang dilakukan polisi pun tidak menemukan terjadinya penyelewengan dana SD Inpres, "Saya sendiri tak habis pikir. Bupati sendiri sudah menandatangani, waktu acara Penyerahan Proyek. Akhirnya, masalah itu udah selesai. Tuduhan itu bagi saya cuma mengada-ada," kata Aman, yang bertubuh tinggi tegap itu. Toh, Bupati Majalengka, Jaelani, tak menggubris sanggahan Aman. "Anggap saja sekadar jeweran seorang ayah terhadap anak nakal," kilahnya. Alumnus Fakultas Hukum Universitas Islam Nusantara, Bandung, yang pernah jadi panitera Pengadilan Tinggi Jawa Barat itu punya alasan memperpanjang skorsing. "Skorsing itu berlarut semata-mata karena soal teknis saja, waktu itu kami kan sibuk menghadapi pemilu," katanya. Tapi setelah tiga bulan, skorsing tidak juga dicabut, Aman rupanya tak sabar. Aman pun nekat menggugat Bupati. "Tindakan itu menyalahi UU Pokok Pemerintahan Desa," katanya. Menurut UU itu, kepala desa yang dituduh dalam suatu tindak pidana dan sedang dalam proses peradilan dapat diberhentikan sementara dari jabatannya. "Saya kan tidak tersangkut pidana dan tidak dalam proses peradilan," kata Aman. Bupati Jaelani tak bisa menyembunyikan kekecewaannya terhadap sikap pengadilan yang menyidangkannya. "Seharusnya pengadilan menolak gugatan itu, skorsing itu 'kan urusan intern kami." katanya. Jaelani khawatir bila hakim menerima gugatan itu, bisa bisa kasus itu menjadi preseden. "Nanti bisa saja pejabat yang dimutasikan mengadu ke Pengadilan. Padahal, kasus seperti yang dialami Aman sebenarnya bisa diselesaikan ke instansi lebih tinggi, seperti gubernur," katanya. Namun, Jaelani berjanji, "Kalau dia menang, saya akan menghormati keputusan itu," kata Jaelani pasrah. Hasan Syukur
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini