Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Ria Ricis menjadi korban kekerasan berbasis gender online.
Kekerasan seksual terhadap perempuan saat ini sudah mengalami transformasi.
Kekerasan berbasis gender online saat ini lebih besar berhubungan dengan masalah personal.
YOUTUBER Ria Yunita—atau karib disapa Ria Ricis—menjadi korban kekerasan berbasis gender online (KBGO). Kasus ini mencuat setelah Ricis melapor ke Polda Metro Jaya pada 7 Juni 2024. Dalam laporannya, Ricis mengaku mendapat ancaman dari seseorang melalui aplikasi WhatsApp. Orang itu meminta uang Rp 300 juta. Jika permintaan itu tidak dipenuhi, dia akan menyebar foto dan video pribadi Ricis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Saya merasa sangat dirugikan dan sangat terancam tentunya,” kata Ricis, seperti dilansir Antara, Senin, 10 Juni 2024. Ancaman itu disampaikan pelaku selama lima hari berturut-turut sehingga membuat Ricis tidak nyaman. “Apalagi ancaman ini juga tak ditujukan ke saya, tapi ke manajemen saya dan keluarga turut terkena imbasnya.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menindaklanjuti laporan tersebut, kepolisian kemudian menangkap seorang pria berinisial AP. Pria 29 tahun itu ditangkap di kediamannya di Cipayung, Jakarta Timur, pada 10 Juni 2024. Polisi juga telah menetapkan AP sebagai tersangka.
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Metro Jaya Komisaris Besar Ade Ary Syam Indradi mengatakan AP adalah mantan anggota satpam yang pernah bekerja di rumah Ricis. Secara diam-diam, AP pernah mengambil rekaman CCTV di rumah Ricis.
Selain itu, AP memiliki foto dan video Ricis dari telepon seluler milik YouTuber tersebut. “Korban pernah memberikan telepon seluler yang tak lagi ia gunakan kepada AP,” kata Ade, 12 Juni 2024. Ternyata, pada alat komunikasi itu masih tersimpan foto dan video Ricis. Ade mengatakan Ricis belum sempat menghapus data-data pribadinya yang berada di handphone tersebut. Polisi telah menyita ponsel OPPO A5 berikut SIM card yang digunakan AP.
Ilustrasi penyebaran foto dan video pribadi. PEXELS
Polisi menjerat AP menggunakan Pasal 27 B ayat 2 juncto Pasal 45 dan/atau Pasal 30 ayat 2 juncto Pasal 46 dan/atau Pasal 32 ayat 1 juncto Pasal 48 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Komisioner Komnas Perempuan, Theresia Iswarini, mengatakan, dalam kasus ini, Ria Ricis bisa dikatakan mengalami tiga tindakan sekaligus. Pertama, pelanggaran privasi karena pelaku mengambil dokumentasi rekaman CCTV. Kedua, pengancaman secara online berupa pemerasan. Ketiga, malicious distribution (penyebaran) foto dan video pribadi. Penyebaran ini bersifat ilegal dengan tujuan merusak citra korban. “Dari tiga itu, yang paling kuat adalah pelanggaran privasi,” kata Theresia.
Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, mengatakan tindak pidana yang dikategorikan kekerasan berbasis gender online sebenarnya sudah memiliki aturan perundang-undangan. Bahkan ancaman hukumannya terbilang cukup berat. “Secara regulasi sudah cukup bisa diakomodasi,” kata Fickar.
Pelaku KBGO bisa dijerat menggunakan Pasal 4 ayat 1 juncto Pasal 29 UU Pornografi dengan ancaman hukuman 6 hingga 12 bulan dan denda Rp 250 juta hingga Rp 6 miliar. Kemudian bisa juga menggunakan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Dalam undang-undang tersebut, terdapat ketentuan tentang kekerasan seksual berbasis elektronik yang mengancam pelaku dengan hukuman 4 tahun penjara serta denda Rp 200 juta.
Pelaku bisa juga dijerat menggunakan Pasal 27 ayat 3 UU Nomor 1 Tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. “Pelaku bisa diganjar hukuman maksimal 10 tahun penjara dan denda Rp 10 miliar,” kata Fickar. Selain itu, korban bisa melaporkan pelaku atas perbuatan tidak menyenangkan sebagaimana diatur dalam Pasal 335 KUHP. “Kemudian korban bisa menuntut ganti rugi secara perdata berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata.”
Fickar mengatakan unsur pidana dalam KBGO antara lain penyebaran foto atau video vulgar tanpa persetujuan pemiliknya. Penyebaran foto dan video itu biasanya bertujuan mempermalukan, melecehkan, mengintimidasi, atau bahkan memeras korban. “Setiap unggahan yang mengandung konten porno dan memuat wajah orang, maka sudah ada cukup alasan bagi penegak hukum untuk memanggil pihak yang mengunggah, mencari tahu maksud dan tujuannya,” katanya.
Selain visual, kata Fickar, KBGO bisa berbentuk tulisan berupa komentar atau hinaan yang bermuatan gender. Kasus seperti ini umumnya muncul dalam aplikasi percakapan.
Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) Nenden Sekar Arum mengatakan, sepanjang triwulan pertama 2024, KBGO meningkat dibanding pada periode yang sama tahun sebelumnya. “Pada 2024, jumlah aduan yang masuk pada triwulan pertama sebesar 480 aduan, sementara pada 2023 sebanyak 118 aduan,” kata Nenden.
Dia mengatakan kategori KBGO yang marak terjadi adalah ancaman penyebaran konten intim sebanyak 253 aduan, pemerasan seksual 90 aduan, dan NCII 73 aduan. “Beberapa jenis lain juga muncul dalam aduan KBGO itu, seperti doxing, flaming, morphing, mengakses akun tanpa izin, hingga creepshot,” katanya.
SAFEnet juga mendapati modus pelaku KBGO saat ini lebih besar berhubungan dengan masalah personal dengan 137 aduan. Manipulasi hubungan juga masih menjadi modus yang jamak dengan 79 kasus, termasuk KBGO oleh orang tak dikenal hingga pembocoran informasi.
Di sisi lain, beberapa modus KBGO juga telah mengarah ke tindakan manipulatif pada anak. “Korban usia 18-25 tahun menjadi kelompok terbanyak dengan 272 kasus atau sebesar 57 persen, diikuti anak-anak usia di bawah 18 tahun dengan 123 kasus atau 26 persen,” katanya. Jika mengacu pada gender, mayoritas kasus dilaporkan oleh perempuan dengan 293 aduan, sedangkan oleh laki-laki sebanyak 174 aduan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo