Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua puluh karyawan Victoria Securities International Corporation terjebak di kantor mereka hingga dinihari, Rabu dua pekan lalu. Mereka tak bisa pulang lantaran sepuluh penyidik Kejaksaan Agung menggeledah kantor di lantai sembilan Panin Tower, Senayan City, Jakarta Selatan.
Penggeledahan yang berlangsung sepuluh jam itu-mulai pukul 16.00 sampai 02.00-tak berjalan lancar. Pada pukul 23.00, tim jaksa diganggu kedatangan sepuluh anggota Kepolisian Daerah Metro Jaya. Kepada tim jaksa, tim polisi beralasan mereka datang karena mengira yang menggeledah kantor Victoria itu preman. Di tengah penggeledahan, seorang direktur Victoria pun menyelinap keluar. "Mereka tidak kooperatif," kata Kepala Subdirektorat Penyidikan Korupsi Kejaksaan Agung Sarjono Turin, Rabu pekan lalu.
Kejaksaan menggeledah kantor Victoria untuk mengumpulkan bukti perkara korupsi lelang hak tagih (cessie) Adyaesta Ciptatama pada 1998. Menurut Sarjono, Victoria Securities, yang berhasil menang dalam lelang itu, diduga bersekongkol dengan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) untuk memanipulasi nilai hak tagih Adyaesta.
Waktu itu Adyaesta memiliki utang ke BPPN Rp 247,929 miliar. Victoria Securities berhasil menjadi pemenang lelang hak tagih atas Adyaesta dengan penawaran Rp 32,075 miliar. "Ada penurunan nilai Rp 215 miliar yang menurut kami tak wajar," ujar Sarjono.
Dua hari setelah penggeledahan, Kejaksaan Agung dilaporkan Direktur Victoria Securities Indonesia Yangky Halim ke Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Setya Novanto. Menurut Yangky, jaksa salah menggeledah karena lantai sembilan Panin Tower merupakan kantor Victoria Indonesia, bukan Victoria International. Jumat dua pekan lalu, pemimpin DPR pun mendadak menggelar rapat tertutup. Mereka meminta penjelasan Jaksa Agung M. Prasetyo atas duduk persoalan kasus tersebut. Meski ada campur tangan Dewan, Kejaksaan Agung tidak terpengaruh. Mereka tetap menyidik perkara hak tagih ini.
Sejak memulai penyidikan pada 7 April lalu, Kejaksaan Agung sudah memeriksa lima pejabat Victoria dan BPPN. Terakhir, yang diperiksa adalah Direktur Lelang Victoria, Lislilia Jamin. Jaksa memeriksa Lislilia setelah menjemput paksa dia pada Selasa pekan lalu. "Kami juga akan memeriksa mantan Kepala BPPN Syafruddin Tumenggung," kata Sarjono.
PERKARA hak tagih ini bermula pada 1997, ketika Adyaesta mengajukan kredit Rp 469 miliar ke Bank BTN. Kala itu Adyaesta hendak membangun kompleks perumahan buruh seluas 1.200 hektare di Karawang, Jawa Barat. "Karena krisis, BTN hanya meminjamkan Rp 180 miliar," ujar pengacara Adyaesta, Johnson Panjaitan.
Badai krisis moneter pada 1998 membuat Adyaesta limbung dan gagal melunasi utang mereka. Waktu itu Bank BTN pun hampir kolaps sehingga harus masuk "ruang gawat darurat" BPPN. Setelah badai krisis berlalu, pada 2000 Adyaesta mencoba melunasi utangnya. Mereka mengajukan penawaran Rp 176,56 miliar ke BPPN.
Terpaut Rp 4 miliar dari pokok utang, penawaran Adyaesta ditolak BPPN. Berdasarkan perhitungan BPPN, tagihan Adyaesta telah membengkak jadi Rp 247,929 miliar. Tambahan itu berasal dari 50 persen tunggakan bunga, yakni Rp 142,737 miliar. "Sempat bernegosiasi, tapi gagal," ujar Johnson.
Tak ada kata sepakat, BPPN akhirnya melelang hak tagih Adyaesta pada Juli 2002. Peserta lelangnya tiga perusahaan: PT First Capital, Harita Kencana Sekuritas, dan Victoria Securities International Corporation. Dari ketiganya, First Capital menjadi pemenang lelang dengan penawaran Rp 69,530 miliar.
First Capital semestinya menyelesaikan pembayaran hak tagih Adyaesta pada Oktober 2002. Namun First Capital mendadak membatalkan pembelian hak tagih ketika melihat satu dari empat sertifikat hak guna bangunan Adyaesta hanya berupa fotokopian. Surat permohonan pembatalan pun melayang pada 5 Agustus 2003 ke kantor Ketua BPPN Syafruddin Tumenggung.
Pada 1 September 2003, BPPN resmi membatalkan pembelian hak tagih Adyaesta. Pada hari yang sama, BPPN mengumumkan Victoria Securities sebagai pemenang Program Penjualan Aset Kredit Keempat (PPAK IV). Di sinilah pangkal perkara muncul. "Setahu kami, aset Adyaesta tak masuk daftar lelang," ujar Johnson. Karena lelang yang berujung pada kemenangan Victoria Securities itu tak diumumkan, Johnson mencurigai ada persekongkolan.
Menurut Johnson, pihak Adyaesta semakin kesal setelah melihat hak tagih beralih ke tangan Victoria Securities dengan harga sangat murah, yaitu Rp 32,075 miliar. Mengutip dokumen lelang PPAK IV, angka Rp 32,075 miliar meliputi hak tagih tiga perusahaan. Di samping Adyaesta, ada Jestrido Surya Cemerlang dan Sentraloka Adyabuana. Keduanya memiliki nilai hak tagih Rp 1,792 miliar serta Rp 9,937 miliar. Dengan kata lain, hak tagih Adyaesta hanya dihargai Rp 20,345 miliar.
Kejutan lagi-lagi muncul ketika Adyaesta hendak melunasi tagihannya dengan penawaran Rp 266,400 miliar. Melalui surat tanggal 18 Juli 2013, Victoria Securities menolak tawaran itu. Mereka meminta Adyaesta membayar Rp 2 triliun. Angka itu menyertakan bunga pinjaman 20 persen serta denda dari 2003 hingga 2013. Padahal, menurut Johnson, berdasarkan peraturan BPPN, pembeli hanya mempunyai hak tagih setinggi-tingginya sebesar pokok kewajiban. Melihat nilai hak tagih naik tak wajar, Adyaesta melaporkan Victoria Securities dan BPPN ke Kejaksaan pada 2013.
Karena Adyaesta dan Victoria Securities terus berseteru, kawasan perumahan buruh di Karawang pun terbengkalai. Dari pantauan Tempo, Kamis pekan lalu, perumahan itu seperti "kota hantu". Jalannya rusak. Atap rumahnya pun banyak yang roboh. Dari seribuan rumah yang terbangun, hanya sebagian kecil yang berpenghuni. Padahal, menurut Johnson, kalau dikelola dengan baik, nilai perumahan itu bisa mencapai Rp 3 triliun.
DARI rangkaian perkara hak tagih yang panjang itu, menurut Sarjono Turin, penyidikan jaksa berfokus pada periode pembatalan oleh First Capital dan kemenangan Victoria Securities di PPAK IV. Alasan jaksa, periode itulah yang banyak kejanggalannya. Di antaranya, BPPN membatalkan pembelian hak tagih oleh First Capital ketika sudah ada pembayaran tahap awal. Padahal, menurut Pasal 2 ayat 3 Perjanjian Jual-Beli BPPN, begitu telah melakukan pembayaran, pembeli hak tagih harus menerima kondisi piutang apa adanya.
Kejanggalan berikutnya, menurut Sarjono, pembatalan pembelian hak tagih dan kemenangan Victoria Securities International terjadi bersamaan, yakni pada 1 September 2003. Seharusnya BPPN membuat pengumuman lelang lebih dulu, sehingga Adyaesta dan pihak lain bisa mengetahui perkembangannya.
Kejanggalan terakhir adalah fakta bahwa Victoria Securities International menjadi satu-satunya peserta lelang di PPAK IV. Berdasarkan penelusuran Kejaksaan, menurut Sarjono, BPPN sengaja hanya mengikutkan Victoria, yang lebih dulu menyerahkan dokumen lelang.
Tiga kejanggalan itu, menurut Sarjono, cukup mengindikasikan adanya permainan antara BPPN dan Victoria Securities. Setelah tiga kali menggeledah kantor Victoria, jaksa pun mengklaim telah menemukan bukti pendukung lain. "Makanya kami yakin tak salah geledah," ujar Sarjono.
Di samping keterangan sejumlah saksi, bukti di tangan Kejaksaan meliputi dokumen lelang, dokumen hak tagih, surat korespondensi, surat komunikasi BPPN dengan Victoria, serta stempel tanda afiliasi Victoria Indonesia dan Victoria International. "Ada juga bukti surat disposisi Kepala BPPN ke Kementerian Keuangan untuk membatalkan pembelian hak tagih," ujar Sarjono.
Berbekal temuan itu, menurut Sarjono, Kejaksaan tak hanya membidik petinggi Victoria Securities International Corporation. Kejaksaan pun mulai mengincar bekas pejabat BPPN. Jaksa berancang-ancang menjerat mereka dengan Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Sarjono enggan membeberkan siapa saja yang dibidik jaksa.
Seorang jaksa yang mengetahui penyidikan kasus ini mengatakan paling tidak ada dua orang Victoria yang diincar. Mereka adalah pemilik dan komisaris Victoria Securities Indonesia, Suzanna Tanojo, serta Direktur Victoria Securities International Corporation Lita Rossela. Sang jaksa pun memastikan perkara Victoria hanya pintu masuk untuk mengusut penjualan aset lain oleh BPPN.
Sejauh ini Syafruddin Tumenggung belum bisa dimintai tanggapan. Amir Syamsuddin, mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia yang pernah menjadi kuasa hukum Syafruddin, juga mengatakan belum dihubungi bekas kliennya. Adapun Rizal Ariansyah, Corporate Secretary Perusahaan Pengelola Aset (PPA)-lembaga pengganti BPPN-mempersilakan Kejaksaan Agung memeriksa pejabat lama BPPN. Menurut dia, PPA tak bisa membantu memberikan banyak informasi kepada jaksa. "Karena sistem dan tanggung jawab kami berbeda dengan BPPN," ujar Rizal.
Pengacara Victoria Securities International Corporation, Irfan Aghasar, membantah tuduhan jaksa dan kuasa hukum Adyaesta. Ia menyatakan tak ada permainan apa pun di balik kemenangan Victoria pada PPAK IV. "Bisa kami buktikan bahwa pembelian cessie sudah sesuai dengan aturan," kata Irfan, Kamis pekan lalu.
Irfan juga menganggap Kejaksaan dan Adyaesta salah langkah membawa perkara Victoria ke ranah pidana korupsi. Menurut dia, pembelian hak tagih dari BPPN murni urusan bisnis. "Masak, karena negosiasi gagal lalu lapor ke Kejaksaan?" ujar Irfan. Karena itu, Irfan menantang Kejaksaan menunjukkan kerugian negara yang didukung hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan. "Kejar juga dong penyelenggara negaranya, jangan cuma kami," ujar Irfan.
Kejaksaan Agung memang telah memperkirakan kerugian negara dalam kasus cessie ini sekitar Rp 234 miliar. Namun Sarjono dan kawan-kawan belum membeberkan bukti ataupun perhitungan detail dugaan kerugian tersebut.
Istman M.p., Indra Wijaya, Putri Adityowati, Hisyam Luthfiana (karawang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo