Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Sakitnya Cina Menggoyang Dunia

31 Agustus 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Yopie Hidayat*

PASAR keuangan sedunia sedang bingung dan panik. Para pelaku dan analis seolah-olah kelu: tak mampu menjawab bagaimana caranya menghadapi geringnya Cina, ekonomi terbesar kedua sedunia.

Walhasil, yang kita lihat adalah gerakan harga saham yang semrawut di seantero jagat, dari Wall Street sampai Jakarta. Dari hari ke hari, pasar bergerak tanpa kepastian arah.

Kekalutan juga menghantam nilai mata uang negara-negara berkembang, dari ringgit Malaysia sampai rand Afrika Selatan. Rupiah? Sama juga. Ia terombang-ambing seperti sabut kelapa di tengah samudra. Harga minyak dan hasil tambang lain seolah-olah berlomba menyentuh rekor terendah.

Sebelum prahara ini bermula, rupanya pasar yakin bahwa kondisi Cina tidaklah buruk-buruk amat. Memang ada perlambatan, tapi perkiraan pertumbuhan ekonomi Cina tahun ini masih di kisaran 7 persen.

Para pelaku pasar mulai berdebar-debar ketika bulan lalu pemerintah Cina bereksperimen dengan operasi pasar untuk menahan longsornya harga saham. Naga ekonomi yang perkasa dengan produk domestik bruto per tahun sebesar US$ 10,36 triliun versus pasar, siapa yang menang?

Adu kekuatan ini belum sampai pada kesimpulan ketika terjadi devaluasi yuan sebesar cuma 1,9 persen. Pelbagai interpretasi pun muncul. Ada yang bilang ini pertanda ekonomi Cina sedemikian lesu sehingga negara itu mendevaluasi yuan demi mendongkrak ekspor. Akibatnya, mata uang banyak negara berkembang terseret ambrol.

Di sisi lain, ada juga yang yakin devaluasi yuan adalah sinyal bagus dari Cina melepas nilai yuan sedikit lebih bebas mengikuti pasar. Alasannya, agar yuan berpeluang lebih besar masuk sebagai salah satu mata uang cadangan resmi Dana Moneter Internasional (IMF).

Ketidakpastian analisis mana yang lebih dekat pada kebenaran membuat pasar sedunia kian riuh naik-turun. Dan puncaknya, Senin pekan lalu, ketika indeks saham Shanghai luruh 8,5 persen dalam sehari. Pemerintah Cina rupanya sudah lempar handuk, kalah melawan pasar. Pasar kian bingung mesti bergerak ke mana.

Ada satu faktor yang akhirnya membuat gejolak pasar relatif mereda pada akhir pekan lalu. Analis mulai yakin, sakitnya Cina akan membuat The Federal Reserve (The Fed) tak jadi menaikkan bunga September depan.

Pasar saham, mata uang, ataupun komoditas berbalik lagi dari keterpurukan. Rupiah sedikit menguat dari 14.128 pada Kamis, 27 Agustus, menjadi 14.011 per dolar Amerika pada penutupan pasar Jumat, 28 Agustus lalu. Pada hari yang sama, indeks harga saham gabungan di Bursa Efek Indonesia juga naik 0,35 persen menjadi 4.446,2.

Tapi jangan terburu-buru girang dulu. Ketidakpastian soal bunga The Fed masih menggantung selama keputusan resmi belum keluar. Pekan-pekan ini, gejolak bisa saja datang kembali.

Dan ada satu perkara lagi patut mendapat perhatian saksama: tetangga kita, Malaysia, sedang memasuki masa genting. Ringgit Malaysia sudah kehilangan nilai 31 persen dalam setahun terakhir. Demonstrasi besar-besaran menuntut pengunduran diri Perdana Menteri Najib Razak juga dapat bereskalasi menjadi krisis politik yang makin dalam. Jatuhnya kurs mata uang yang berbarengan dengan krisis politik adalah paduan yang menakutkan dan tentu saja dapat menular. l

*) Kontributor Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus