Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Muhamad Bahalwan tak bisa berlama-lama istirahat pada siang itu. Di tengah rehat, petugas kejaksaan menghampiri dia di blok tindak pidana korupsi A-6 Rumah Tahanan Tanjung Gusta, Medan, Kamis pekan lalu. Sang petugas meminta Bahalwan, 61 tahun, menandatangani berkas eksekusi putusan kasasi atas dirinya. "Petikan putusannya saya terima lebih dulu, pertengahan Agustus lalu," kata Bahalwan, Kamis pekan lalu.
Mahkamah Agung, pada 30 Juni 2015, memutus perkara korupsi pekerjaan perpanjangan masa aktif Gas Turbine 2.1 dan 2.2 Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap Belawan pada 2012. Menurut salinan petikan putusan, majelis hakim yang dipimpin Salman Luthan-dengan hakim anggota Abdul Latief dan Syamsul Rakan Chaniago-menyatakan Bahalwan terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi.
Dalam perkara nomor 1294.K/Pid.Sus/2015 itu, Bahalwan dihukum 14 tahun penjara. Bekas Direktur Mapna Indonesia itu juga dihukum membayar uang pengganti Rp 337,4 miliar. Bila dalam waktu sebulan Bahalwan tak membayar, jaksa akan menyita semua harta dia. Kalau hartanya tak mencukupi, Bahalwan harus menjalani hukuman tambahan 5 tahun penjara. "Saya tak punya uang lagi. Saya bisa dihukum 19 tahun penjara," kata Bahalwan.
Vonis kasasi untuk Bahalwan lebih tinggi daripada hukuman sebelumnya. Pengadilan Tinggi Medan memvonis Bahalwan 11 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar. Adapun Pengadilan Negeri Medan hanya menghukum dia dua tahun penjara.
Di tingkat kasasi, lima terdakwa lain juga mendapatkan hukuman lebih tinggi. Mereka adalah General Manager PT PLN Pembangkit Sumatera Bagian Utara (Kitsbu), Chris Leo Manggala, yang mendapat hukuman kasasi 13 tahun; pegawai PLN, Muhamad Ali (10 tahun); Manajer Sektor PLN Belawan Rodi Cahyawan (10 tahun); pegawai PLN Kitsbu, Surya Dharma Sinaga (10 tahun); dan Direktur PT Nusantara Turbin & Propulsi (NTP) Supra Dekanto (5 tahun). Sebelumnya, di tingkat banding, mereka mendapat hukuman 5-9 tahun.
Menurut juru bicara Mahkamah Agung, Suhadi, hakim kasasi menambah atau meringankan hukuman dengan berbagai pertimbangan. "Mahkamah Agung memberikan perhatian khusus pada kasus yang merugikan negara seperti kasus korupsi," ujar Suhadi.
Adapun kuasa hukum Bahalwan, Bob Hasan, menilai putusan hakim salah kaprah. Menurut dia, dalam proyek perbaikan Gas Turbine 2.1 dan 2.2 tak ada kerugian negara seperti dakwaan jaksa. Dua gas turbin yang diperbaiki asal Mapna Co kini sudah beroperasi sesuai dengan kapasitas. "Pasokan listriknya sudah dinikmati masyarakat," ujar Bob.
PERUSAHAAN Listrik Negara membuka lelang proyek peremajaan mesin turbin GT 2.1 dan GT 2.2 di Blok 2 Belawan pada 2009. Waktu itu kedua mesin tersebut hanya bisa memproduksi listrik 105-110 megawatt. Setiap mencapai 100 ribu jam masa kerja, mesin turbin harus menjalani perbaikan total (overhaul) agar bisa hidup sampai 100 ribu jam lagi, dengan output sekitar 130 megawatt.
Pada 31 Januari 2011, Direktur Utama PLN Dahlan Iskan menunjuk langsung PT Siemens Indonesia sebagai kontraktor perbaikan turbin. Siemens pun menyodorkan harga 64,48 juta euro atau sekitar Rp 840 miliar dalam kurs waktu itu. Tawaran Siemens tak sesuai dengan harga patokan PLN, sekitar Rp 645 miliar.
Sejak Nur Pamudji menggantikan Dahlan, pada 1 November 2011, direksi PLN mengubah metode penunjukan langsung menjadi pemilihan langsung (lelang terbatas). Di dunia, selain Siemens di Jerman, hanya ada dua pabrik lain yang memegang lisensi untuk mesin V94.2 seperti yang terpasang di Belawan. Mereka adalah Ansaldo Energia di Italia dan Mapna Co milik pemerintah Iran.
Dalam lelang terbatas, hanya Siemens dan Mapna yang mengajukan penawaran. Mapna, yang menggandeng PT Nusantara Turbin dan Propulsi-anak usaha PT Dirgantara Indonesia-menawar 38,4 juta euro atau sekitar Rp 458 miliar. Adapun Siemens, yang pernah mematok harga tinggi, melorotkan hampir separuh tawarannya ke 36,3 juta euro atau sekitar Rp 433 miliar. Siemens gugur karena dokumennya dianggap tak lengkap. Lewat negosiasi, Mapna kembali menurunkan harga menjadi 36,1 juta euro atau sekitar Rp 431 miliar.
Mapna Co dan PLN lalu meneken kontrak pada 29 Maret 2012. Sebulan sebelum kontrak, Kejaksaan Agung menerima laporan yang meminta jaksa mengawasi lelang peremajaan turbin gas Belawan. Pelapor itu antara lain Janto Dearmando, Ketua Asosiasi Kontraktor Kelistrikan Indonesia.
Begitu mendapat laporan, jaksa langsung mengebut pengusutan. Ketika tim Mapna masih mengerjakan proyek, Bahalwan kerap dipanggil jaksa. "Proyek belum selesai, jaksa sudah mencari-cari kerugian negara," kata Bahalwan.
Jaksa mempersoalkan amendemen kontrak, transfer dana proyek ke Mapna Indonesia, dan target waktu yang tak terpenuhi. Amendemen kontrak terjadi karena, ketika tim ahli memeriksa mesin turbin GT 2.1, terdapat kerusakan pada bagian kompresor. Perbaikan bagian ini tak termasuk kontrak awal PLN dengan Mapna. Karena ada pekerjaan tambahan, nilai proyek membengkak jadi Rp 553 miliar.
Amendemen kontrak juga menyebutkan dana dari PLN ditransfer ke rekening PT Mapna Indonesia. Perusahaan ini didirikan pada 26 Maret 2012. Bahalwan, yang selama proses lelang ditunjuk Mapna Co sebagai penghubung dengan PLN, menjadi Direktur Mapna Indonesia. "Perbankan Indonesia kesulitan mentransfer langsung ke Mapna Co di Iran," kata Bahalwan, menjelaskan alasan pendirian Mapna Indonesia.
Dalam kontrak awal, disepakati pengiriman material untuk perbaikan mesin GT 2.1 paling lambat 12 September 2012. Adapun pengiriman material mesin GT 2.2 terakhir pada 19 November 2012. Setelah barang terkumpul, perbaikan mesin turbin harus selesai dalam 65 hari kerja.
Rupanya, Mapna agak kedodoran memenuhi target waktu. Penyerahan sebagian material tertunda hingga 25 Juni 2013. Keterlambatan itu terjadi karena pesawat pengangkut suku cadang Mapna tak bisa mendarat langsung di Bandar Udara Polonia, Medan. Barang harus dikirim lewat Kuala Lumpur, kemudian dikapalkan ke Pelabuhan Belawan. "Sejak 2012, saya pun terus dipanggil jaksa. Itu memperlambat waktu pengerjaan," ujar Bahalwan.
Sewaktu memperbaiki mesin, tim Mapna pun tak bisa membongkar dua mesin sekaligus. Soalnya, pembongkaran harus mematikan mesin. Jika dua dari empat mesin di Belawan mati, byar-pet di Sumatera Utara bisa tambah parah. Atas kesepakatan dengan PLN, Mapna mendahulukan pembongkaran mesin GT 2.1. Perbaikan mesin GT 2.1 saja ternyata memakan waktu hampir sepuluh bulan.
Di pengadilan, jaksa mendakwa Bahalwan menyalahi Pasal 2 Undang-Undang Pemberantasan Korupsi. Pasal itu mengatur hukuman bagi orang yang memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan cara merugikan negara. Jaksa pun mendakwa Bahalwan melakukan korupsi bersama-sama yang merugikan negara Rp 2,344 triliun.
Sewaktu menghitung kerugian negara, jaksa berkonsultasi kepada Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. Kerugian negara dihitung gelondongan dari nilai proyek yang dikeluarkan PLN, sebesar Rp 337 miliar. Adapun potensi kerugian selama gas turbin tak beroperasi dari 19 November 2012 hingga 24 September 2013, menurut BPKP, mencapai Rp 2,007 triliun.
Jaksa juga menuduh Bahalwan melakukan tindak pidana pencucian uang karena Mapna Indonesia menerima dana dari PLN sebelum mentransfernya ke Mapna Co di Iran. Dalam persidangan, tuduhan jaksa mengenai pencucian uang itu tak terbukti. "Sebaliknya, semua aliran dana terbukti untuk pembelian suku cadang," kata Bob Hasan.
Bahalwan merasa dizalimi karena diganjar hukuman lebih berat oleh hakim kasasi. Menurut dia, dakwaan jaksa atas dirinya salah alamat (error in persona). "Kontrak kerja Mapna Co dengan PLN, bukan dengan saya. Malah saya yang diperkarakan," kata Bahalwan. Karena itu, Bahlawan memastikan mengajukan permohonan peninjauan kembali.
Yuliawati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo