DI Pematangbandar, Simalungun, Sumatera Utara, sebuah gereja, Gereja Pentakosta Indonesia (GPI), bisa lenyap dari permukaan bumi, tanpa bekas. Jemaat gereja itu, diwakili Sekjen GPI Pusat yang berkedudukan di Pematangsiantar, Pendeta M. Hasudungan Siburian, menuduh bawahannya, penginjil Sarihon Siregar, bersama anak-anaknya yang meruntuhkan bangunan gereja. Tapi majelis hakim Pengadilan Negeri Simalungun yang diketuai G.M. Harahap rupanya lebih meyakini keterangan Siregar, yang menyebutkan gereja itu roboh karena angin puting beliung. Sebab itu, dua pekan lalu ia menolak gugatan Siburian. Keputusan itu tentu saja tidak memuaskan pihak GPI, yang kini terpaksa mengontrak sebuah rumah seharga Rp 2 Juta setahun untuk kebaktian jemaatnya di Pematangbandar. Siburian, 36 tahun, yakin sekali gereja itu sengaja dirobohkan Siregar. Sebab itu pekan lalu ia menyatakan banding. "Saya punya bukti bahwa Siregar yang merobohkan gereja itu," katanya. Bukti itu berupa surat keterangan kepala desa setempat, S. Nainggolan, yang membantah bahwa gereja itu dirobohkan angin puting beliung. Ada empat surat senada yang dianggap Siburian sebagai bukti, antara lain dikeluarkan M. Sitohang, kepala lingkungan setempat, dan Pendeta K.M. Pasaribu, pimpinan Gereja Tuhan di Pematangbandar. Hanya saja, bukti itu tidak cukup untuk menghukum Siregar. Sebab, tidak seorang pun penulis surat dengan tegas menyebutkan Siregar merobohkan gereja itu. Sebenarnya, selain bukti surat tadi ada saksi mata yang meyakinkan, yaitu Nyonya J. Siagian, yang tinggal di sebelah gereja itu. Menurut Nyonya Siagian gereja seluas 8 x 21 meter di atas lahan 10 x 100 meter itu benar-benar dirobohkan Siregar bersama anggota keluarganya tersebut pada Mei 1980. Kayu dan bekas batu bata serta seng bangunan semipermanen itu diboyong Siregar ke Perdagangan, 20 km dari desa itu, untuk mendirikan rumah baru." Perlengkapan gereja, seperti mimbar khotbah dan kursi umat, ikut diboyong Siregar," kata Nyonya Siagian kepada TEMPO. Tapi sayangnya, Nyonya Siagian tak dihadapkan sebagai saksi di pengadilan oleh pihak gereja. Siregar bisa nekat merobohkan gereja itu, menurut Siburian, karena kepemimpinannya di gereja kecil itu tak didukung pimpinan pusat GPI yang berkedudukan di Pematangsiantar. Selain itu, ambisi Siregar, yang ingin segera dikukuhkan sebagai pendeta, dan gerejanya diberi status, tidak pula dilayani GPI Pematangsiantar. Pihak GPI rupanya menganggap gereja kecil itu sering melanggar ketentuan GPI Pusat. Dari 200 gereja milik GPI, terutama di Sumatera Utara, masih menurut Siburian, hanya gereja pimpinan Siregar itu yang melaksanakan adat Batak dalam pesta pernikahan anggotanya. Padahal, sejak GPI berdiri pada 1940, acara itu ditabukan, karena dianggap bisa menimbulkan perkelahian. Selain itu, Siregar juga dianggap melanggar ketentuan, karena mengundang pengkhotbah dari luar GPI untuk menyampaikan firman Tuhan di GPI Pematangbandar. Padahal, GPI telah menggariskan tidak mengundang pendeta dari aliran lain untuk berkhotbah. "Anda memberikan pengajaran palsu kepada umat," kata Siburian dalam suratnya pada Juni 1979 kepada Siregar. Gara-gara hukuman itu Siregar jengkel. Ia, kata Siburian, membongkar gereja, yang dibangun pada 1971 dengan dana Rp 16,5 juta dari hasil kolekte jemaat. Tindakannya itu semula dilaporkan Siburian kepada polisi. Tapi polisi menganggap kasus itu bukan pidana. Sebab itu, baru September lalu Siburian, lewat pengacaranya Sahat M. Sianturi, mengajukan gugatan ke pengadilan. "Saya pun meminta pengadilan menyatakan Siregar melawan hukum," kata Sibtirian. Sayangnya, gugatan Siburian itu kini ditolak pula oleh pengadilan. Sebab, seperti dikatakan ketua majelis G.M. Harahap, Siburian tidak melengkapi gugatannya itu dengan saksi-saksi yang melihat langsung gereja itu dirobohkan. "Karena tidak ada saksi yang membenarkan Siregar merobohkan gereja, kami tidak perlu melakukan pemeriksaan ke tempat itu," kata Harahap. Siregar kini tidak lagi berdiam di Pematangbandar, dan menjual harta bendanya, termasuk sawah di desa itu. Dan ia bagaikan tidak peduli lagi terhadap gugatan GPI tersebut Di tempatnya yang baru, Perdagangan, Ia konon membangun rumah beton berlantai empat. Di tingkat paling atas, ia kabarnya membuat gereja baru. Entah gereja apa namanya. Monaris Simangunsong & Irwan E. Siregar (Biro Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini