Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BERJAKET hitam, Daan Dimara memasuki ruang sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. Langkah pria berkulit gelap berambut keriting itu terlihat ringan. Dengan tenang ia duduk di kursi terdakwa. Sesekali ia membetulkan letak dasi merahnya, yang tak lurus jatuh ke bawah.
Jumat pekan lalu itu bukan sidang biasa seperti sebelumnya. Hari itu majelis hakim yang dipimpin Gusrizal membacakan vonis untuk Daan. Gusrizal menyatakan bekas anggota Komisi Pemilihan Umum ini terbukti korupsi. ”Dia bersalah dalam proyek pengadaan segel surat suara,” kata Gusrizal.
Ganjaran untuk pria 61 tahun ini pun turun. Majelis menghukum Daan empat tahun penjara dan denda Rp 200 juta. Hukuman ini lebih ringan dari tuntutan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi, Tumpak Simanjuntak, yang menginginkan Daan dihukum enam tahun plus enam bulan penjara.
Kasus yang menyeret Daan ke bui itu terjadi pada 2004. Waktu itu, menurut jaksa, Komisi Pemilihan Umum menunjuknya sebagai ketua panitia pengadaan segel surat suara. Lantas, Daan menunjuk langsung PT Royal Standard untuk pengadaan segel. ”Ini menyalahi prosedur pengadaan barang dan jasa lembaga pemerintahan,” kata Tumpak.
Karena itu, jaksa menuduh Daan memperkaya diri sendiri dan Untung Sastrawijaya, Direktur PT Royal Standard. Menurut Tumpak, perbuatan Daan membuat negara rugi Rp 3,5 miliar. Nilai ini muncul dari selisih uang yang diserahkan KPU kepada Royal Rp 7,7 miliar, dibandingkan dengan perhitungan ahli yang menyebut nilai proyek itu sekitar Rp 4,1 miliar.
Menurut jaksa, kerugian itu harus ditanggung Daan bersama Untung, yang hari itu juga divonis lima tahun penjara. Kendati Daan divonis empat tahun, Tumpak terlihat kecewa dengan vonis hakim. Ia menilai hukuman untuk Daan terlalu ringan. ”Kami banding,” katanya.
Hakim punya alasan kenapa hukuman untuk Daan hanya empat tahun. Salah satunya, kata Gusrizal, majelis tak menemukan bukti kerugian negara dalam kasus ini. Sedangkan saksi ahli yang menghitung kerugian negara yang diajukan jaksa, perhitungannya dianggap tak tepat.
Saksi ahli yang dimaksud adalah Herman Yakub, pengurus Asosiasi Percetakan Indonesia, yang ternyata juga pengusaha perusahaan percetakan. ”Secara psikologis ini mempengaruhi validitas audit,” kata Gusrizal. Karena itu, hakim menilai Herman tidak dalam posisi netral. ”Sebab, di sini dia juga seorang kompetitor.”
Gusrizal membenarkan, Daan melakukan pelanggaran prosedur karena menunjuk langsung rekanan KPU. ”Untuk ini tak ada alasan pembenar,” katanya. Itu sebabnya, kata Gusrizal, pihaknya memvonis Daan bersalah. ”Perbuatan Daan dapat merugikan keuangan negara,” kata Gusrizal. ”Istilah ‘dapat’ di sini tidak mesti ada akibatnya,” Gusrizal menambahkan.
Selain itu, menurut Gusrizal, peran Daan dalam perkara itu tak begitu penting. Berbagai keputusan, kata Gusrizal, telah ditentukan sebelum Daan menjadi ketua panitia. Gusrizal mengatakan, beberapa saksi menyebut penentuan harga segel ditentukan dalam sebuah rapat di kantor KPU yang dipimpin Hamid Awaludin—kini Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia—pada 14 Juni 2004.
Sebelumnya, Hamid berkali-kali membantah memimpin rapat itu. Bantahan dilontarkan Hamid saat menjadi saksi dalam persidangan 25 Juli lalu. Daan kecewa dengan bantahan Hamid. ”Itu kesaksian palsu,” kata Daan.
Kamis pekan lalu, Daan melaporkan kesaksian Hamid yang dinilainya palsu itu ke Kepolisian Daerah Metro Jaya. ”Kami akan menindaklanjutinya,” kata Komisaris Jenderal Adang Daradjatun, Wakil Kepala Polri. Daan juga tak menerima dirinya dihukum empat tahun penjara. ”Kalaulah tak bisa dibuktikan (kesalahan saya), kenapa saya mesti menerima hukuman?” katanya. ”Saya banding.”
Nurlis E. Meuko, Riky Ferdianto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo