Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Sakit Gigi Digoyang-goyang

Untuk sementara, posisi politik Gubernur Aceh Abdullah Puteh di DPRD masih kuat.

5 Juli 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seperti sedang sakit gigi, Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam Abdullah Puteh pelit membuka mulut. Ia cuma pasang senyum ketika disinggung soal status tersangka koruptor yang baru disandangnya. ?Tanya ke pengacara yang sudah saya tunjuk, di Jakarta,? katanya di Banda Aceh sambil berlalu, Jumat pekan lalu. Penyebab utama penguasa darurat sipil daerah itu mengunci mulut bukan cuma tuduhan korupsi sekitar Rp 4 miliar dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Buntut kasus dugaan korupsi yang dilakukannya, ia kini diminta segera angkat koper dari Kantor Gubernur. Baru sehari KPK mengumumkan status tersangka, Rabu lalu, mahasiswa Universitas Syiah Kuala di Banda Aceh menggelar demonstrasi. Mereka ?memaksa? DPRD Aceh mencabut mandat Gubernur Puteh. ?Demi penegakan hukum dan stabilitas masyarakat,? ujar Zulfikar, Presiden Mahasiswa Syiah Kuala. Anggota DPRD dari Fraksi Aliansi Reformasi Nasir Jamil juga meminta DPRD segera menggelar rapat paripurna untuk membahas posisi Puteh. ?Undang-Undang Pemerintahan Daerah Nomor 22/1999 memberikan kewenangan kepada DPRD untuk mengusulkan pemberhentian kepala daerah,? kata politisi Partai Keadilan Sejahtera ini. Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), yang punya sembilan kursi, sepakat ingin Puteh non-aktif. Alasannya, status tersangka membuat kerja Gubernur Puteh yang juga penguasa darurat sipil daerah terhambat. ?Pemerintahan membutuhkan perhatian khusus,? tutur Wakil Ketua Fraksi PAN Sayed Syarifuddin. Ia sekaligus menampik tudingan bahwa di balik dorongan non-aktif, ada niat fraksi itu mendongkrak Wakil Gubernur Azwar Abu Bakar, yang juga Ketua PAN Aceh. Isu adanya tudingan ambisi dipihak fraksi PAN untuk menggeser Puteh, karena pada Kamis lalu, Azwar mengatakan siap menjalankan roda pemerintahan. Padahal secara resmi belum ada tawaran buatnya untuk menggantikan posisi Puteh. Bahkan sehari sebelumnya, dalam dialog calon presiden, Ketua Umum PAN Amien Rais mengusulkan penonaktifan Puteh sembari mengharapkan Wakil Gubernur jadi gantinya. Presiden Megawati Soekarnoputri pun sepakat dengan penonaktifan. Namun realitas politik di Aceh berbicara lain. Empat fraksi lainnya (Partai Persatuan Pembangunan, Golkar, PDI Perjuangan, dan TNI/Polri) memilih adem ayem. Setidaknya 34 anggota ketiga fraksi?dari 55 anggota DPRD yang ada?ogah cepat-cepat mencopot Puteh. Mereka berpendapat, sesuai dengan Undang-Undang Pemerintahan Daerah, Puteh belum tentu bersalah sebelum ada putusan final dari pengadilan. ?Yang sudah divonis bersalah saja tak meletakkan jabatan. Tahu kan maksud saya?? ujar Ketua Fraksi TNI/Polri Zulkifli Asiah. Ia seperti mengingatkan kasus Ketua DPR Akbar Tandjung dulu yang tak mundur meski sudah divonis pengadilan negeri dan pengadilan tinggi atas kasus penyelewengan dana Bulog. Fraksi PPP, yang paling banyak mendapatkan kursi, menyerahkan nasib Puteh kepada Presiden. ?Presiden atasan gubernur,? ujar Sekretaris Fraksi PPP Munir Aziz. Adapun Ketua DPRD Aceh, Muhammad Yus, agaknya menolak menonaktifkan Puteh. Sebab, surat pemberitahuan status tersangka Puteh baik dari KPK maupun Menteri Dalam Negeri belum ia terima. Posisi Puteh sebagai penguasa darurat sipil daerah menambah kerumitan buat mencopotnya. Memang, DPRD yang memilih Gubernur bisa menarik dukungan, tapi penguasa darurat sipil bertanggung jawab kepada presiden. Maka, tak mungkin DPRD bertindak tanpa anggukan Presiden. ?Kami akan konsultasi dengan Presiden lewat Menteri Dalam Negeri,? ujar politisi PPP itu. Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno berpendapat sama dengan mayoritas anggota DPRD: selama belum ada putusan hukum final, Puteh masih sah menjabat. Ia menyerahkan urusan copot-mencopot kepada parlemen daerah. ?Tak bisa tiba-tiba pemerintah mengeluarkan keputusan presiden untuk memberhentikannya. Proses administrasi negara harus diawali proses politik (di daerah),? ujarnya. Namun, sikap politik di pusat agaknya juga beragam. Wakil Ketua Komisi Pertahanan DPR, Effendy Choirie, ingin Puteh segera dinonaktifkan agar kepercayaan masyarakat terjaga. Meski ada soal dalam mekanisme politik, ?Masa sih, tak ada jalan keluarnya,? ujar politisi Partai Kebangkitan Bangsa ini. Sikap berbeda datang dari kubu Golkar. Ferry Mursidan Baldan menuding, penetapan tersangka yang berlanjut dengan desakan penonaktifan Puteh sarat nuansa politik. Menurutnya, isu ini lebih dipakai para kandidat presiden untuk ?jualan? dalam kampanyenya. ?Kenapa KPK menjadikan kasus itu sebagai poin, padahal banyak kasus korupsi lama yang harus ditangani,? kata orang dekat Ketua Umum Partai Golkar Akbar Tandjung ini. Tudingan terhadap KPK yang dianggap terburu-buru dalam bertindak, serta mengabaikan aspek administrasi, Wakil Ketua KPK, Erry Riyana Hardjapamekas mengatakan, bahwa surat pemberitahuan status tersangka sudah dilayangkan lembaganya ke Presiden. ?Semua kewenangan digunakan jika dibutuhkan. Lihat saja bagaimana pemeriksaan pada 6 Juli nanti,? ujarnya kepada TEMPO. Jobpie Sugiharto dan Yuswardi A. Suud (Banda Aceh)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus