KERIANGAN dan senyum yang biasa menghiasi wajah Ayodya Prasad Chaubey kini lenyap. Sejak dua pekan silam, lelaki 67 tahun yang menghuni Lembaga Pemasyarakatan Tanjung Gusta, Medan, itu lebih sering termenung. "Dia kerap merenungi nasib, seperti sudah pasrah," Hadiningtyas, penasihat hukum Lembaga Bantuan Hukum Medan, menceritakan kliennya.
Chaubey, yang berkewarganegaraan India, seolah tak sanggup menanggung nasib. Dihukum mati karena memiliki heroin seberat 12,29 kilogram, ia telah berusaha melawannya, tapi tidak berhasil. Dua pekan lalu, sang terpidana menerima berkas putusan Mahkamah Agung yang dikirim melalui Pengadilan Negeri Medan. Isinya berupa penolakan permohonan peninjauan kembali (PK) yang pernah diajukannya.
Begitu putusan PK tersebut turun, Kejaksaan Negeri Medan bersiap-siap mengeksekusinya. Apalagi, belakangan ini, muncul desakan kuat dari kalangan aktivis antinarkoba yang meminta agar narapidana mati segera dieksekusi. Untuk "menjemput" ajal Chaubey, regu tembak dari Kepolisian Daerah Sumatera Utara telah dipersiapkan. "Kami belum menentukan (waktunya). Tapi makin cepat akan makin baik," ujar Faried Harijanto, Kepala Kejaksaan Negeri Medan.
Ini sebuah akhir yang tragis karena Chaubey sudah menjalani hukuman di penjara selama 10 tahun. Dia dicokok polisi di Hotel Garuda Plaza, Medan, karena diduga sebagai pemilik heroin belasan kilogram yang dibawa dua warga Thailand, Saelow Praseart dan Namsong Sirilak. Kasus ini menyeret ketiganya ke Pengadilan Negeri Medan. Disidangkan terpisah dari dua tersangka lainnya, pada 8 September 1994 Chaubey dinyatakan terbukti memiliki barang haram itu dan divonis maksimal: mati.
Chaubey menolak vonis itu. Salah satu alasannya, jaksa tak pernah mengajukan bukti heroin di persidangan. Tapi pengadilan selalu memutusnya bersalah, baik di tingkat banding maupun kasasi. Upayanya untuk mengajukan peninjauan kembali ditolak pada 1997. Dia pun sudah mengajukan permohonan grasi, tapi hasilnya mengecewakan. Pada Februari tahun lalu, Presiden Megawati Soekarnoputri menolak permohonan itu.
Kendati begitu, sang terpidana mati tidak putus asa. Dengan bantuan LBH Medan, ia mengajukan permohonan PK untuk kedua kalinya pada Maret tahun lalu. Selama menanti putusan PK, Chaubey, yang baru masuk Islam, tampak riang dan menyenangkan. Di penjara, ia membuka warung yang menjual keperluan napi sehari-hari, seperti sabun, pasta gigi, dan makanan ringan. Teman-temannya kerap mengutang dan tak bayar. Tapi Chaubey mengaku tak cari untung. "Ini tiket ke surga," ujarnya sembari tersenyum kepada TEMPO saat itu.
Chaubey juga tampak menikmati kehidupan. Tahun lalu pula ia sempat berpacaran dengan Israiyah, 28 tahun, napi Lembaga Pemayarakatan Perempuan Tanjung Gusta, yang ditemuinya di sebuah acara hiburan. Pegawai penjara membantu mereka menjalin hubungan lewat surat, hingga keduanya berniat menikah. Entah mengapa keinginan itu tak terwujud. Lepas dari Israiyah, ia kini dekat dengan napi perempuan asal Thailand, Mangsong Shonset.
Dia baru benar-benar terpukul ketika permohonan PK yang diajukannya ditolak untuk kedua kalinya. Chaubey tak bisa menerima kenyataan. Berkali-kali ia mengungkapkan bahwa pengadilan tidak fair karena barang bukti tidak pernah dihadirkan di persidangan. Lagi pula, "Saya bukan pemilik heroin," ujarnya patah-patah. Itu sebabnya LBH Medan masih berusaha menyelamatkan kliennya dari hukuman mati dengan mengajukan permohonan PK yang ketiga dan grasi kedua.
Di mata LBH Medan, Chaubey layak diberi grasi karena sudah menjalani hukuman 10 tahun. "Selama ini, ia telah menjalankan sebagian hukuman badan dengan menunggu putusan akhir upaya hukum," ujar Irham Buana Nasution, Direktur LBH Medan.
Permohonan grasi kedua itu sudah disetor dua pekan lalu, tapi akhirnya kandas di Pengadilan Negeri Medan. Kepala Panitera Pengadilan Negeri Medan, M. Ramli, tidak mau menerima pengajuan itu karena permohonan grasi lebih dari satu kali tak biasa.
Pihak LBH sendiri berpegang pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi, yang membolehkan pengajuan permohonan grasi lebih dari satu kali. Menurut mereka, pengadilan juga tidak berhak menolak permohonan grasi terpidana mati seperti ditentukan UU Pokok Kekuasaan Kehakiman. "Yang berhak menolak grasi itu presiden, bukan pengadilan," ujar Sedarita Ginting, anggota tim pengacara.
Pekan lalu, perdebatan itu sampai pada puncaknya. Ketua Pengadilan Negeri Medan, Sultoni Mohdally, menyatakan permohonan grasi Chaubey tak memenuhi syarat. Dinyatakan pada Pasal 2 (3) Undang-Undang Grasi bahwa permohonan grasi lebih dari sekali bisa diajukan jika penolakan grasi pertama telah berumur dua tahun. "Jadi, dihitung dua tahun sejak tanggal penolakan, bukan sejak grasi diajukan," kata Sultoni.
Penolakan itu membuat kalangan LBH Medan kecewa. Soalnya, kliennya telah dirugikan oleh proses penyidikan dan persidangan yang tidak sesuai dengan prosedur hukum. Lebih dari itu, Chaubey memperlihatkan kelakuan baik selama di penjara. "Ia mengajarkan bahasa Inggris dan dipercayai mengelola warung untuk kebutuhan napi," kata Sedarita Ginting.
Kekecewaan tersebut tak membuat Ketua Pengadilan Negeri Medan berubah sikap. "Silakan menggugat ke PN Medan kalau keberatan dengan penolakan ini," ujar Sultoni.
Apa yang akan dilakukan Chaubey sendiri? Kendati wajahnya semakin keruh, ia masih punya jurus baru. Dia berencana menyampaikan permohonan grasinya langsung ke presiden melalui Kepala Lembaga Pemasyarakatan Tanjung Gusta. "Saya juga akan mengadu ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Amnesty International bila kasus yang menimpa saya tidak dicermati ulang," katanya.
Sederet rencana dirancang Chaubey, tapi kejaksaan sudah memiliki rencana yang hampir pasti: mengeksekusinya segera. Ini yang mungkin membuat sang terpidana mati semakin sering merenung, kendati ia tetap menjalankan kegiatan sehari-harinya mengelola warung. Belakangan, Chaubey juga rajin bersembahyang di masjid penjara. Kegiatan yang terakhir ini rutin dijalaninya karena kedekatannya dengan Timsar Zubir, terpidana seumur hidup kasus aksi Komando Jihad.
Endri Kurniawati, Bambang Soedjiartono (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini