Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mereka datang untuk berbicara. Di Hotel Sahid Jaya, Jakarta, Rabu pekan lalu, 50-an kiai, rata-rata sudah berusia senja, larut dalam pembicaraan seru. Dua sesi tanya-jawab ditutup selepas asar, tapi sejumlah orang masih mengacungkan jari, meminta waktu tambahan untuk mengungkapkan pendapat.
Nyaris tak ada perdebatan dalam pertemuan yang digelar selama tiga jam itu. Semua komentar berlabuh pada satu kesimpulan: mengecam putusan Mahkamah Konstitusi dan mendukung total fatwa Majelis Ulama Indonesia.
"Pendapat yang berkembang umumnya menilai vonis Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan syariat Islam," kata Cholil Nafis, moderator diskusi, menutup acara yang difasilitasi Dewan Syariah Partai Persatuan Pembangunan tersebut. Forum bertajuk "Halaqah Ulama" itu khusus digelar untuk membahas putusan Mahkamah Konstitusi atas uji materi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Februari lalu, Mahkamah Konstitusi memvonis perkara judicial review yang diajukan Aisyah "Machicha" Mochtar. Penyanyi dangdut itu meminta pengujian undang-undang untuk memperjelas status M. Iqbal Ramadhan, anak hasil nikah sirinya dengan Moerdiono, Menteri-Sekretaris Negara di zaman Orde Baru.
Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan Machicha. Menurut Mahkamah, anak yang lahir di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan bapaknya, sepanjang ada hubungan darah yang dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi atau alat bukti lain menurut hukum.
Putusan itu langsung mendapat sambutan positif dari berbagai kalangan, terutama para pegiat perlindungan hak anak. Putusan itu dinilai bakal memberi ruang bagi semua anak, termasuk anak di luar nikah, untuk memperoleh perlindungan dan hak-haknya.
Berbeda dengan para pegiat hak anak, sebagian tokoh Islam justru resah oleh putusan itu. Menurut Ketua MUI Makruf Amin, mereka menghubungi MUI dan meminta lembaga itu segera mengeluarkan fatwa agar jadi pedoman umat Islam dan hakim di pengadilan agama.
Komisi Hukum dan Komisi Fatwa MUI pun menggelar serangkaian sidang. Akhirnya, pada 10 Maret 2012, MUI mengeluarkan fatwa khusus tentang anak hasil zina. Fatwa Nomor 11 Tahun 2012 itu mengutip sedikitnya tujuh ayat Al-Quran, enam hadis Nabi, dan sejumlah pendapat ulama dari empat mazhab fikih utama dalam Islam.
Intinya, fatwa MUI menyatakan anak hasil zina tak mempunyai hubungan nasab (keturunan), wali nikah, waris, dan nafkah dengan ayahnya. Menurut MUI, anak hasil zina pun hanya memiliki hubungan dengan ibunya dan keluarga ibunya. Fatwa ini seperti ingin mengembalikan Undang-Undang Perkawinan pada posisi sebelum diuji materi.
Menurut Makruf, MUI sebenarnya sepakat dengan pendapat bahwa anak hasil zina pun harus dilindungi. "Mereka tidak menanggung dosa orang tuanya," kata Makruf. Tapi perlakuan bagi anak zina tak bisa disamakan dengan anak hasil nikah, baik nikah siri maupun nikah resmi.
Nah, untuk melindungi anak hasil zina, MUI meminta pemerintah menghukum lelaki pezina, antara lain dengan mewajibkan si lelaki memenuhi kebutuhan hidup si anak hingga dewasa. Pemerintah juga diminta menghukum si lelaki untuk mewasiatkan hartanya bagi si anak—bila dia meninggal. "Itu bukan waris, tapi wasiat wajibah," kata Makruf. Dalam fikih Islam, wasiat wajibah biasanya diberikan kepada anak angkat. Jumlahnya paling banyak sepertiga dari harta pemberi wasiat.
Melengkapi fatwanya, tiga hari kemudian MUI mengeluarkan tanggapan resmi atas putusan Mahkamah Konstitusi. Isinya, antara lain, menyebutkan putusan Mahkamah telah membuka peluang bagi berkembangnya perilaku seksual di luar nikah. Menurut MUI, putusan Mahkamah juga merusak tatanan hukum Islam, terutama urusan bagi waris.
Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud Md. memilih tidak menyerang balik. Dia bertahan dengan menjelaskan bahwa putusan Mahkamah sesuai dengan prinsip universal perlindungan atas hak asasi manusia. Putusan itu pun sesuai dengan semangat ajaran Islam. "Kami ingin membuat manusia bermartabat," ujar Mahfud. "Bukan melegalkan perzinaan."
Menurut Mahfud, selama ini anak hasil nikah siri dan anak di luar nikah sering diperlakukan tidak adil. Mereka tak bisa mencantumkan nama ayahnya di akta kelahiran dan tak menerima nafkah dari ayahnya. Dalam pergaulan sehari-hari, mereka juga sering dicap buruk oleh tetangga dan temannya. Putusan Mahkamah, kata Mahfud, datang untuk mengakhiri diskriminasi tersebut.
Mahfud mengatakan urusan jadi terkesan ruwet karena ada yang salah memahami istilah "hubungan perdata". Padahal hubungan perdata tidak selalu berupa hubungan nasab, waris, atau perwalian seperti disebutkan MUI. Bagi anak di luar nikah, hubungan perdata mereka bisa berupa peluang menuntut bapak yang merugikan anaknya. Misalnya bila si ayah menelantarkan atau ingkar janji mengurus si anak.
Salah paham perihal putusan Mahkamah Konstitusi memang bisa saja terjadi. Apalagi, sebelum membuat putusan dan fatwa, Mahkamah dan MUI belum pernah duduk satu meja. Mahfud menyatakan, saat Mahkamah mengadili gugatan Machicha, tak ada ahli dari MUI yang dimintai pendapat. "Tapi ada ahli hukum Islam lain yang bersaksi," ujar Mahfud. Sebaliknya, Makruf pun mengakui, sebelum menerbitkan fatwa, MUI tak sempat mendapat penjelasan dari Mahkamah. "Mereka kami undang, tapi tak datang," kata Makruf.
Sejauh ini, para hakim di pengadilan agama di daerah memilih menunggu. Juru bicara Pengadilan Agama Tigaraksa Tangerang, Saprudin, misalnya, mengatakan hakim memang sering memakai fatwa ulama dalam membuat putusan. Sekarang ada fatwa ulama yang terkesan bertubrukan dengan vonis Mahkamah Konstitusi. Dari sisi peringkat undang-undang, vonis Mahkamah berposisi di atas fatwa MUI. Karena itu, hakim kemungkinan besar akan menjadikan putusan Mahkamah sebagai acuan.
Tak ingin memperuncing situasi, Mahfud menawarkan jalan keluar. "Ikuti saja fatwa ulama. Toh, substansinya sama dengan putusan kami." Tapi pihak MUI tak mau terima begitu saja. "Di mana kesamaannya?" tanya Makruf. "Di putusan MK tak ada penjelasan itu."
Jajang Jamaludin, Joniansyah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo