Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEPULUH tahun menjadi jaksa, baru kali ini Arief Indra menghadapi putusan hakim yang baginya sangat aneh. Putusan itu menyangkut perkara dugaan penggelapan pajak Asian Agri Group Rp 1,259 triliun dengan terdakwa Suwir Laut. "Putusan hakim tidak lazim," kata jaksa pidana umum ini kepada Tempo, Rabu pekan lalu.
Dalam putusan yang dibacakan pada Kamis dua pekan lalu, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat membebaskan Suwir—nama aslinya Liu Che Sui, 50 tahun—Manajer Pajak Asian Agri Jakarta. Majelis hakim yang dipimpin Martin Ponton Bidara menilai dakwaan jaksa prematur. Menurut hakim, perkara dugaan penggelapan pajak 14 perusahaan Asian Agri Group ini semestinya menempuh upaya hukum administrasi perpajakan lebih dulu.
Dalam pertimbangannya, hakim menyatakan jaksa seharusnya meminta Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat ketetapan pajak 14 perusahaan Grup Asian Agri yang diduga melakukan penyelewengan dalam pembayaran pajaknya itu untuk mengetahui nilai pajak terutangnya. Surat ketetapan itu, kata hakim, instrumen sah untuk menetapkan kerugian negara. Di mata hakim, kerugian negara yang dihitung Direktorat Jenderal Pajak sebesar Rp 1,259 triliun dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan sebesar Rp 1,296 triliun tidak valid.
Karena langkah itu tak ditempuh, hakim menilai dakwaan penuntut umum cacat hukum. Dalam amar putusannya, satu dari lima eksepsi yang diajukan tim pengacara terdakwa, yakni dakwaan itu prematur.
Putusan seperti inilah yang dinilai aneh dan di luar kebiasaan. Putusan hakim menyangkut dakwaan prematur, ujar Arief, seharusnya diketuk pada sidang putusan sela, sebelum sidang pemeriksaan materi perkara. "Bukan diputus di akhir persidangan," katanya.
Alasan dakwaan prematur, menurut sumber Tempo yang mengikuti terus persidangan itu, memang terkesan dibuat-buat. Jika perkara pajak Asian Agri diproses secara administrasi sampai terbitnya surat ketetapan pajak, kata sumber ini, otomatis pasti mengubur tuduhan pidananya. Di persidangan Suwir, ahli perpajakan Sunarto juga mengatakan, apabila Direktorat Jenderal Pajak sudah menerbitkan surat ketetapan pajak, proses yang dipilih adalah jalur administrasi. Ketentuan itu, kata Sunarto, diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-272/PJ/2002.
Sebelumnya, dalam sidang putusan sela, tidak adanya surat ketetapan pajak justru dijadikan alasan hakim bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berwenang mengadili perkara Suwir. Dalam salah satu eksepsinya, pengacara Suwir menganggap perkara itu domain Pengadilan Pajak. Namun, kata hakim, perkara pajak diadili di Pengadilan Pajak jika ada sengketa atas terbitnya surat ketetapan pajak. "Kalau surat ketetapan pajak tidak ada, sengketa juga tidak ada," kata Martin. Karena berwenang mengadili perkara itu, hakim melanjutkan persidangan.
Digelar sejak 16 Februari 2011, sekitar 50 saksi dan ahli dihadirkan dalam kasus pajak ini. Puluhan bukti diajukan jaksa di depan hakim. Dalam berkas tuntutan setebal 500 halaman, jaksa membeberkan peran dan kejahatan pajak yang dilakukan Suwir. "Tapi putusan hakim malah tidak menyentuh substansi perkara," kata Arief.
Ketua Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Hasril Hartanto menyesalkan putusan hakim seperti itu. Menurut Hasril, putusan itu tidak wajar karena hakim seharusnya memeriksa kelengkapan bukti dari awal jika ragu terhadap dakwaan. "'Kalau sudah sampai 50 saksi diperiksa, ini perlu dipertanyakan," katanya.
Ketua Bidang Investigasi dan Pengawasan Hakim Komisi Yudisial Suparman Marzuki menyatakan pihaknya tak akan tinggal diam jika hakim pemutus perkara Suwir itu terbukti tidak profesional dalam menjalankan tugasnya. Suparman melihat putusan itu memang ganjil. Seharusnya, ujarnya, jika dakwaan dianggap prematur, itu masuk wilayah putusan sela, bukan putusan akhir. "Kami akan mendalami dan mempelajari putusannya," ujarnya.
Pengacara Suwir, Muhammad Assegaf, mengatakan kliennya memang pantas bebas. Dalam perkara pajak, ujar Assegaf, upaya pidana merupakan jalur terakhir. Di mata Assegaf, hakim sudah memutus perkara itu sesuai dengan ketentuan. "Menurut hukum acara pidana, eksepsi bisa dibacakan di putusan akhir," katanya.
Rabu pekan lalu, Kejaksaan mengajukan permohonan banding atas putusan melepas Suwir itu. Opsi ini, kata Arief, dipilih karena hakim tidak menjatuhkan putusan bebas atau lepas dari tuntutan hukum (ontslag). Bebasnya Suwir, dianggap jaksa, konsekuensi dakwaan dianggap prematur. Alasan lain: putusan Suwir sudah melewati pemeriksaan saksi dan barang bukti. "Jadi banding yang paling tepat."
Awalnya, Kejaksaan akan menempuh upaya verzet. Namun, menurut Arief, upaya hukum itu hanya lazim untuk mematahkan putusan sela. Menurut Wakil Jaksa Agung Darmono, Kejaksaan akan terus melawan jika pengadilan tinggi menolak upaya hukum jaksa. "Kami masih bisa melimpahkan kembali perkara itu ke pengadilan dengan dakwaan yang sudah diperbaiki."
PERKARA Suwir Laut bukan perkara biasa bagi Kejaksaan. Perkara ini menjadi acuan bagi perkara sebelas tersangka lain dalam kasus penggelapan pajak Asian Agri. Jika Suwir terbukti bersalah, para tersangka itu akan segera diseret ke pengadilan. Berkas perkara mereka kini masih ngendon di Direktorat Jenderal Pajak.
Karena menjadi pertaruhan, Wakil Jaksa Agung Darmono berjanji mempromosikan penuntut umum jika berhasil membuktikan kejahatan Suwir dan Asian Agri di pengadilan. "Saya berkomitmen terhadap sesuatu yang saya yakini sebagai sebuah kebenaran," kata Darmono kepada Tempo.
Kasus skandal pajak ini terbongkar karena "nyanyian" Vincentius Amin Sutanto, Group Financial Controller Asian Agri, perusahaan milik bos Raja Garuda Mas, Sukanto Tanoto. Yang dibongkar Vincentius kejahatan pajak 14 perusahaan sawit Asian Agri sepanjang 2002-2005. Vincent adalah atasan langsung Suwir.
Vincent membongkar kejahatan perusahaannya itu setelah ia gagal memohon pengampunan bosnya, Sukanto Tanoto, karena aksinya membobol duit perusahaan senilai US$ 3,1 juta (Rp 28 miliar). Belakangan, dengan tuduhan melakukan kejahatan pencucian uang, Vincent dihukum sebelas tahun penjara.
Vincent melaporkan kasus penggelapan itu ke Komisi Pemberantasan Korupsi. KPK kemudian melimpahkannya ke Direktorat Jenderal Pajak. Setelah majalah Tempo mengangkat kasus itu sebagai laporan utama, empat bulan kemudian Direktur Jenderal Pajak Darmin Nasution mengumumkan pihaknya mengantongi bukti awal pidana pajak Asian Agri. Pada pertengahan Mei 2007, lima direksi Asian Agri ditetapkan sebagai tersangka.
Kasus ini semakin terang setelah penyidik pajak menggeledah kantor Asian Agri di Jakarta, Medan, dan sebuah toko di kawasan Duta Merlin, Jakarta. Di Duta Merlin, 1.133 kardus dokumen disita dan diangkut dengan sembilan truk. Dokumen itu milik Asian Agri yang disembunyikan. Dari hasil penggeledahan, tim menemukan modus penggelapan pajak Asian Agri, dari biaya fiktif, management fee fiktif, hedging fiktif, hingga rekayasa penjualan.
Dari temuan itu, nilai penggelapan pajak membengkak dari Rp 786 juta menjadi Rp 1,3 triliun. Belakangan direvisi menjadi Rp 1,259 triliun. Ini merupakan skandal pajak terbesar sepanjang sejarah Indonesia. Jumlah tersangka pun menjadi 12 orang. Mereka para petinggi Asian Agri. Sukanto Tanoto pernah tiga kali dipanggil sebagai saksi, tapi selalu mangkir.
Pada April 2008, penyidik pajak melimpahkan secara bertahap berkas 12 tersangka itu ke Kejaksaan. Karena dua tersangka kabur ke Singapura dan Malaysia, hanya berkas sembilan tersangka yang diteliti jaksa. Selama setahun berkas perkara bolak-balik Kejaksaan Agung-Direktorat Jenderal Pajak.
Guna memecahkan kebuntuan itu, pada April 2011 dilakukan gelar perkara penyidik pajak dan jaksa di Kejaksaan Agung. Tujuannya menyamakan persepsi pasal yang dituduhkan. Dalam gelar perkara itu dirumuskan pembuktian dugaan pidana perkara Asian Agri, terutama unsur "dengan sengaja" dan "merugikan negara". Upaya mempercepat penanganan kasus (crash program) dilakukan: perkara Suwir laut dijadikan pilot project yang dibawa ke pengadilan. Perkara itu dipilih karena alat buktinya paling lengkap.
Di persidangan Suwir, fakta manipulasi pajak itu mengalir deras. Sejumlah saksi menguatkan tuduhan penggelapan pajak tersebut. Dua auditor yang mengaudit Asian Agri membenarkan adanya manipulasi pajak itu.
Pengamat ekonomi yang kini calon Gubernur DKI Jakarta, Faisal Basri, menjadi ahli meringankan Asian Agri. Di persidangan, Faisal menyatakan penghitungan pajak jaksa keliru. Namun, menurut jaksa, kalkulasi Faisal hanya berdasarkan luas kebun sawit Asian Agri.
Karena yakin dakwaannya terbukti, jaksa menuntut Suwir tiga tahun penjara. "Suwir terbukti menyampaikan surat pemberitahuan pajak yang keliru," kata jaksa Ketut Winawa. Tapi, alih-alih memutus dakwaan terbukti, hakim kini malah memerintahkan perkara Suwir dibawa ke ranah administrasi. Harapan jaksa mengirim Suwir ke bui pun kandas.
Anton Aprianto
Para Petinggi yang Dijerat
Inilah petinggi Asian Agri yang jadi tersangka.
(presiden direktur)
(kepala cabang Jakarta)
(manajer operasi)
(manajer akuntasi)
(manajer penanaman)
(manajer penanaman)
(manajer perencanaan)
(deputi presiden direktur)
(manajer)
14 Perusahaan yang Diduga Melakukan Manipulasi Pajak
- PT Andalas Inti Agro Lestari
- PT Dasa Anugerah
- PT Gunung Melayu
- PT Hari Sawit Jaya
- PT Indo Sepadan
- PT Inti Indosawit
- PT Mitra Unggul
- PT Nusa Pusaka
- PT Raja Garuda Mas
- PT Rantau Sinar
- PT Rigunas Asri
- PT Saudara Sejati
- PT Supra Matra Abadi
- PT Tunggal Yunus
Modus Operandi
Transfer Pricing
Rekayasa ekspor 15 perusahaan Asian Agri ke perusahaan di Hong Kong, Makau, dan Britis Virgin Islands. Perusahaan di luar negeri hanya paper company.
Biaya Jakarta
Mengeluarkan biaya fiktif. Misalnya biaya untuk garuk piringan, grading, kontrak, dan membuat gorong-gorong.
Management Fee
Pergeseran laba dari perusahaan Asian Agri yang memiliki keuntungan ke perusahaan yang rugi.
Hedging Fiktif
Perusahaan seolah-olah membuat kontrak ekspor CPO ke Hong Kong. Sebelum jatuh tempo, dibeli kembali dengan harga tinggi.
Lima Tahun Tak Juga Rampung
Lima tahun diusut, kasus dugaan penggelapan pajak Asian Agri Group bisa dibilang lebih banyak jalan di tempat. Satu-satunya tersangka yang sudah dibawa ke pengadilan, Suwir Laut, justru dibebaskan. Bebasnya Suwir diduga bakal berpengaruh pada kasus yang lain.
16 November 2006
Vincentius Amin Sutanto membobol Asian Agri Oil dan Fats Ltd Singapura senilai US$ 3,1 juta.
17 November–30 November 2006
Vincent kabur ke Singapura.
11 Desember 2006
Setelah memulangkan Vincent ke Indonesia, KPK menyerahkan Vincent ke Polda Metro Jaya.
15 Januari 2007
Majalah Tempo menulis skandal manipulasi pajak Asian Agri ini sebagai laporan utama.
14 Mei 2007
Direktorat Jenderal Pajak mengumumkan bukti awal pidana pajak Asian Agri. Lima direktur jadi tersangka.
15 Mei 2007
Penggeledahan di kantor pajak Asian Agri dan di Duta Merlin, Jakarta. Sebanyak 1.400-an kardus disita.
9 Agustus 2007
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memvonis Vincent 11 tahun penjara.
Desember 2007
Tersangka bertambah menjadi 12 orang.
3 dan 28 Desember 2007
Para tersangka dicegah ke luar negeri.
7 Januari 2008
Sukanto Tanoto mengirim surat ke Presiden meminta perlindungan.
25 April 2008
Perkara tujuh tersangka dilimpahkan ke Kejaksaan Agung.
Oktober 2008
Penyidik melimpahkan semua perkara Asian Agri ke Kejaksaan.
November 2008–Januari 2009
Berkas bolak-balik Kejaksaan-Direktorat Jenderal Pajak.
3 April 2009
Gelar perkara gabungan Asian Agri. DisepaÂkati perkara Suwir Laut jadi pilot project.
13 Agustus 2010
Berkas Suwir Laut dinyatakan lengkap (P-21).
16 Februari 2011
Persidangan Suwir digelar.
31 Maret 2011
Hakim menolak sebagian eksepsi terdakwa dalam putusan selanya.
22 Desember 2011
Jaksa menuntut Suwir Laut 3 tahun penjara dan denda Rp 5 miliar. Sebelumnya, sidang tuntutan ditunda tiga kali.
15 Maret 2012
Hakim memutus dakwaan jaksa prematur. Suwir bebas.
21 Maret 2012
Jaksa mengajukan permohonan banding.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo