Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TOMMY Sihotang, pengacara yang didapuk membuka acara Kongres Advokat Indonesia pada Jumat pekan lalu itu, kewalahan mengatur perserta agar bisa duduk manis. ”Saudara yang tak mau duduk berarti dari Peradi,” teriak Tommy, yang disambut tepuk tangan dan teriakan gemuruh peserta. ”Keluarkan saja,” sebuah suara keras muncul dari deretan kursi tengah. ”Peradi sudah almarhum,” pekik yang lain dengan volume suara tak kalah nyaring.
Nama ”Peradi” memang menjadi bahan ejekan selama kongres itu berlangsung. Kepada Tempo, sejumlah pengacara menyatakan, tanpa menjadi anggota Perhimpunan Advokat Indonesia, mereka sebenarnya tetap bisa beracara. ”Tanpa kartu Peradi, saya tetap bisa bersidang di pengadilan,” ujar Bahari Gultom, Koordinator Ikatan Advokat Indonesia DKI Jakarta.
Menurut Gultom, ia tidak sreg dengan Perhimpunan lantaran organisasi itu dikendalikan segelintir orang. Ia lantas mencontohkan penunjukan anggota majelis kehormatan DKI Jakarta yang tiga pekan lalu memecat pengacara Todung Mulya Lubis. ”Memecat Todung Mulya dasarnya hanya kebencian,” ujarnya.
Gultom menunjuk Perhimpunan juga tak transparan dalam hal keuangan. Padahal jumlah duit yang masuk organisasi ini cukup besar. Saat masuk menjadi anggota, misalnya, ia dipungut Rp 600 ribu. Pungutan uang itu juga diterapkan kepada sekitar 19 ribu pengacara seluruh Indonesia.
Pemasukan lain Perhimpunan datang dari calon advokat, yang besarnya Rp 4,5 juta per orang. Sampai akhir tahun lalu, menurut Ketua Ikatan Advokat Indonesia Teguh Samudra, Perhimpunan sudah meluluskan sekitar 1.500 advokat. Artinya, uang yang terkumpul mencapai Rp 20 miliar. ”Tapi belum ada laporan ke mana uang tersebut,” ujar Teguh.
Denny Kailimang, salah satu Ketua Perhimpunan, menampik tudingan tidak transparannya pengelolaan dana organisasi, baik iuran anggota maupun dana pendidikan calon advokat. Uang itu, menurut Denny, dibukukan secara profesional dan diaudit setiap tahun. Denny menjamin akuntabilitas laporannya bisa dipertanggungjawabkan. ”Kami siap diaudit.” Menurut sumber Tempo, salah satu pemicu sejumlah pengacara menyempal dari Perhimpunan memang soal uang itu.
Ketua Umum Perhimpunan Advokat Indonesia Otto Hasibuan menegaskan pihaknya tidak pernah memungut iuran tahunan dari anggota. ”Kalau ada yang menyatakan itu, saya tantang membuktikannya,” ujar Otto. Menurut dia, isu uang sengaja dibikin mereka yang tidak senang pada standar kelulusan calon advokat.
Perhimpunan, ujar Otto, memang menerapkan standar kelulusan calon advokat dengan nilai tinggi, yakni rata-rata di atas 7. Akibatnya, kata dia, ada keponakan dan anak kandung seorang advokat senior yang selama ini disegani tidak lulus walau sudah dua kali ikut ujian. Sang pengacara, kata Otto, kemudian marah-marah. ”Kualitas rendah masak diluluskan,” ujarnya.
Elik Susanto, Munawwaroh, Sahala Lumbanraja
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo