Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KANTUK Sumita Tobing belum lagi lenyap ketika empat polisi mengetuk pintu rumahnya Ahad pagi pekan lalu. Sumita baru terlelap dini hari setelah semalaman memeriksa tesis mahasiswa bimbingannya. Seorang polisi menyodorkan surat kepadanya, surat perintah penangkapan. Pagi itu mantan Direktur Utama Televisi Republik Indonesia (TVRI) ini digelandang ke Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia. Perempuan yang jika tampil di muka umum gemar memakai topi itu dimasukkan ke tahanan Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI.
Ini kejutan buat Ita—demikian wanita itu biasa dipanggil—yang kedua. Empat tahun lalu, perempuan 61 tahun ini juga mengalami peristiwa serupa. Tiba-tiba ditetapkan sebagai tersangka. Padahal saat itu dia baru dua kali diperiksa sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi pengadaan alat-alat produksi TVRI.
Jika Sumita terkaget-kaget, wajar saja. Sejak diperiksa empat tahun lalu, kasus itu seperti menguap. Kendati telah ditetapkan sebagai tersangka, kasusnya tak pernah diusik-usik lagi. Bahkan dua orang lainnya yang juga ditetapkan sebagai tersangka bersama dirinya belakangan mendapat surat perintah penghentian penyidikan dari polisi.
Tapi, untuk kali ini polisi punya alasan lain. ”Kami sudah mempunyai cukup bukti,” kata Direktur Tindak Pidana Korupsi Markas Besar Kepolisian RI Brigadir Jenderal Yose Rizal. Yose mengakui pihaknya memang menyidik kasus ini sejak 2003. Bersama Sumita, menurut dia, saat itu polisi menetapkan Fani Lugito dan Ronny Chandra sebagai tersangka. ”Tapi dua orang itu mendapat SP3 karena tidak cukup bukti,” ujar Yose. Dikatakannya, Fani dan Ronny hanyalah pemasok barang-barang ke TVRI. Mereka bukan peserta atau pemenang tender. Adapun Sumita, kasusnya cukup kuat untuk ditindaklanjuti.
Sumita dituding melakukan korupsi pengadaan alat-alat produksi berita, kamera, color monitor, lighting, mikrofon wireless, dan peralatan transfer VCD lewat lelang yang dinilai fiktif. Total nilai pengadaan alat-alat itu sekitar Rp 12,4 miliar.
Menurut Yose, kasus korupsi yang, menurut data Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, merugikan negara Rp 5,2 miliar itu sempat mandek karena pihaknya kesulitan mendapat bukti-buktinya. ”Mereka menolak memberikan data aslinya,” ujar Yose. Polisi lantas berkoordinasi dengan jaksa perihal bahan-bahan yang mereka miliki. Kesimpulannya, kasus ini jalan terus meski dengan data yang sebagian besar fotokopi. ”Tapi fotokopi tersebut sudah ada pengesahannya dari instansi berwenang,” katanya.
Sampai saat ini, polisi telah memeriksa 45 orang saksi, termasuk 3 saksi ahli, dan telah menemukan 71 dokumen terkait dengan kasus ini. Dosa Sumita, menurut polisi, terang benderang, dari proses pralelang, saat lelang, hingga pascalelang. ”Pelanggaran yang dilakukan Sumita jelas digambarkan dari dokumen yang ada,” ujar Yose.
Pada pralelang, polisi menemukan pengumuman lelang dalam surat kabar Republika tertanggal 7 November 2002 yang ternyata fiktif. Dalam koran Republika asli, di sana terpampang iklan umrah, sedangkan koran Republika yang disodorkan tersangka berisi iklan pengumuman lelang. Juga ada penunjukan panitia pelaksana lelang, yang menabrak Keputusan Menteri Keuangan, karena penunjukan itu seharusnya menjadi kewenangan Direktur Administrasi dan Keuangan, bukan kewenangan Sumita.
Dalam proses lelang, pelaksanaannya, menurut Yose, juga terjadi pelanggaran karena hanya dihadiri perusahaan yang telah ditunjuk, yakni PT Ilir Kama Guna. Hanya, dalam urusan selanjutnya, menurut polisi, yang muncul kemudian PT Affandi Chandra Putra. PT Affandi itulah, dan bukan PT Ilir, yang memasok barang-barang hasil menang tender itu.
Tak hanya itu. Menurut Yose, seluruh peralatan yang dibeli juga tak melalui uji coba. ”Bahkan garansinya hanya tiga hari,” katanya. Sumita akan dijerat dengan pasal-pasal tindak pidana korupsi, yakni penyalahgunaan wewenang plus pemalsuan dokumen. Pada April lalu polisi telah menyatakan berkas Sumita P-21 alias lengkap. Berkas itu pun sudah dikirim ke kejaksaan. ”Sekarang tinggal menunggu penye-rahan tersangkanya ke kejaksaan,” ujar Yose.
Kasus Ita berawal dari laporan mantan Direktur Administrasi dan Keuangan Badarudin Achmad dan tiga mantan anggota direksi TVRI lainnya ke Markas Besar Kepolisian RI pada 27 Maret 2003. Mereka adalah kolega Sumita saat perempuan itu menjabat Direktur Utama TVRI.
Sumber Tempo menyebutkan pengaduan itu buntut dari perselisihan Sumita dengan beberapa anggota direksi. Saat itu Ita, yang baru ditempatkan sebagai direktur utama, membuat gebrakan dengan mengubah susunan direksi, termasuk menyingkirkan Badarudin Achmad dari jabatan direktur administrasi menjadi direktur pemasaran.
Kepada Tempo, Badarudin mengaku dialah, bersama tiga anggota direksi lainnya, yang melaporkan Sumita ke polisi. Ini lantaran mereka menemukan tender yang dilakukan TVRI fiktif. Saat itu, menurut Badarudin, adalah hari ditetapkan pemenang tender, dua hari kemudian barang sudah ada. ”Aneh, karena seharusnya butuh proses karena semua barang impor,” katanya.
Ditemui di sel tahanan Badan Reserse Markas Besar Kepolisian RI, Kamis pekan lalu, Sumita tampak santai. Dengan baju bermotif kotak-kotak warna cokelat dan celana pendek putih, ia bahkan mengajak Tempo singgah di ruang selnya yang berukuran 2 x 2 meter persegi. Di dalam sel itu teronggok tiga buah topi koboi miliknya. Ia memang tak bisa lepas dari topi.
Doktor ilmu komunikasi massa lulusan Ohio University, Amerika Serikat, yang kini juga mengajar di sejumlah perguruan tinggi swasta di Jakarta itu menolak disebut merekayasa lelang. ”Itu dilakukan panitia lelang,” ujarnya. Panitia lelang, kata Sumita, ditunjuk setiap akhir tahun untuk waktu setahun berikutnya. ”Semua proses lelang diatur panitia lelang,” ujarnya. Ia juga membantah jika dikatakan merekayasa iklan pengumuman lelang di Republika yang dijadikan barang bukti polisi. ”Itu bukan urusanku,” ujar ibu satu anak ini.
Menurut Sumita, ia hanya menandatangani setiap hasil kerja panitia lelang. Tentang harga dan spesifikasi teknis barang yang dilelang, kata dia, yang menentukan Direktur Teknik Ahmad Adiwijaya. ”Jadi, kalau ada korupsi, mestinya dia yang korupsi,” kata Sumita. Mantan Direktur Metro TV ini menolak tudingan melakukan korupsi. ”Kalau memang terbukti korupsi, aku bersedia ditembak mati,” katanya. ”Tapi semua yang korupsi juga ditembak mati,” dia melanjutkan.
Ramidi, Yugha Erlangga
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo