KAWIN gelap -- tanpa setahu istri pertama -- sering berbuntut panjang. Bahkan setelah si suami meninggal dunia. Itulah yang terjadi pada almarhum H. Basuki, 84 tahun, bekas pengusaha dan petani kaya di Bandung Jawa Barat. Setelah ia meninggal, muncul bekas pembantu rumah tangganya Suryati 44 tahun, yang mengaku istri kedua almarhum. Tak sekadar status, Suryati, yang mengaku sudah dikaruniai tiga anak dari Basuki merasa lebih berhak mewarisi berbagai harta peninggalan almarhum berupa tanah dan bangunan di Bandung dan sekitarnya senilai lebih dari Rp 10 milyar. Tentu saja istri pertama Basuki, Suhaya, bersama anak angkatnya, Ir. A. Hidayat yang dipungut sejak usia 9 bulan dan ketika dikhitankan dipestakan almarhum selama 7 hari 7 malam -- menolak tuntutan Suryati. Bahkan Hidayat mengadu ke polisi karena menduga Suryati telah memalsu surat nikahnya dengan Basuki. Akibatnya, pekan-pekan ini Suryati, yang sudah menikah lagi dengan seorang pensiunan polisi, terpaksa duduk di kursi pesakitan Pengadilan Negeri Bandung. Kericuhan perkawinan Basuki itu mencuat beberapa minggu sebelum ia meninggal, pada 24 April 1986. Waktu itu Suryati mau membesuk Basuki, yang sedang dirawat di Rumah Sakit Boromeus, Bandung. Tapi orang suruhan Hidayat, Engkib, yang menunggui Basuki, merasa tak mengenal wanita itu. Engkib meminta bukti bahwa Suryati benar istri kedua Basuki. Giliran Suryati yang kelabakan. Sebab, ia tak memiliki surat nikah itu. Padahal, kata Suryati, ia dinikahi secara sah oleh Basuki. Ceritanya, masih menurut Suryati, sewaktu masih menjadi pembantu di rumah Hidayat, pada 15 Mei 1970, diam-diam dia dipersunting Basuki. Perkawinan mereka berlangsung di rumah Madhari, di Desa Jayagiri, Lembang, Bandung, disaksikan petugas KUA Lembang, juga diketahui adik kandung Basuki, Supiah. Dari perkawinan itu, Suryati melahirkan empat anak Basuki -- tiga yang hidup, terbesar 17 tahun. Selama menikah dengan Basuki, katanya ia dibelikan rumah, dan diberi nafkah Rp 400 ribu plus beras 50 kg sebulan. Karena itu, dan untuk menjawab kecurigaan Engkib, Suryati meminta surat nikah tersebut kepada amil Lembang, M. Karma. Setelah Karma membongkar-bongkar arsipnya, akhirnya surat itu ditemukan. Hanya saja, surat itu ternyata belum diberi foto dan ditandatangani kedua mempelai. Setelah surat nikah itu ditempeli foto lalu dibawa Suryati ke Basuki yang sedang sakit untuk dicap jempol. Upaya itu berhasil. Setelah itu, Suryati menyerahkan fotokopi surat tersebut kepada Engkib. Surat nikah "bikinan" itu yang kini dituding Hidayat palsu. Apalagi dalam surat itu Suryati disebut perawan, padahal ketika menjadi pembantu ia sudah janda. Tahun perkawinan di situ, 1970, juga meragukan. Sebab pada 1972, Suryati masih bekerja sebagai pembantu di rumah almarhum. Selain itu, surat nikah itu menggunakan ejaan baru -- padahal ejaan baru digunakan pada 1972. Lebih dari itu, sambung Hidayat, Supiah juga menyangkal mengetahui perkawinan itu. Menghadapi tudingan itu, Suryati, yang cuma berpendidikan sampai kelas III SD, tak putus asa. Ia mengupayakan pengesahan perkawinan itu ke KUA Lembang dan Pengadilan Agama Cimahi. Ia juga mengurus surat keterangan ahli waris dari Kodya Bandung dan akta kelahiran ketiga anaknya. Menariknya, semua instansi itu dengan mulus mengabulkan permintaan Suryati. Toh, Hidayat tetap mengadukan Suryati ke Polda Ja-Bar, pada 5 September 1986. Tapi dua minggu kemudian, kedua pihak Suryati diwakili Pengacara Sutisna Wiradisastra -- berdamai di hadapan Notaris Masri Husen. Isi perdamaiannya: Hidayat bersedia menyerahkan uang Rp 50 juta kepada Suryati. Sebaliknya, Suryati dan anak-anaknya akan melepaskan tuntutan mereka atas segala harta peninggalan Basuki. Belakangan, Suryati merasa dikibuli Hidayat. Alasannya, isi perjanjian itu tak dibacakan sewaktu ditandatangani. Sebab itu, dia segera mengajukan permohonan penetapan ke Pengadilan Negeri Bandung untuk melakukan jual beli atas dua bidang tanah -- berikut bangunan di atasnya warisan Basuki. Permohonan ini dikabulkan pengadilan. Pada Desember 1987 dan Februari 1988, Suryati menjual obyek warisan itu kepada pihak lain dan memperoleh persekot Rp 13,5 juta. Tapi sebelum pembeli melunasi pembayaran, Hidayat keburu mencium transaksi itu. Segera saja Hidayat menjual tanah itu, ke pihak lain lagi, senilai Rp 700 juta. Untuk menguatkan upayanya, Hidayat tak lupa mengajukan penetapan ahli waris ke pengadilan. Pada 14 Maret 1989, pengadilan memutuskan bahwa Suryati dan ketiga anaknya bukan ahli waris. Ahli waris yang sah, menurut pengadilan, adalah Hidayat dan Nyonya Suhaya -- janda almarhum, tanpa anak. Suryati, yang tak pernah mengetahui persidangan itu, mengaku baru tahu putusan itu belakangan ini. Bukan hanya itu serangan Hidayat. Ia juga melanjutkan pengaduan pidananya terhadap Suryati. "Tidak mungkin Bapak, yang jelas-jelas mampu baca-tulis, cuma membubuhkan cap jempol saja ke surat nikah itu," kata Hidayat. Karena pengaduan Hidayat itu Suryati, yang kini ditahan dan diadili, merasa "ditikam" berkali-kali. "Dia mau membunuh kami pelan-pelan. Padahal, ia tahu persis kalau Bapak memang punya anak dari saya," tutur Suryati, yang menandaskan bahwa cap jempol almarhum itu diupayakannya tanpa paksaan. Pengacaranya, Boaz O. Pangaribuan, menyatakan, dengan perkara pidana itu berarti Hidayatlah yang melanggar isi perdamaian dulu. Kecuali itu, Boaz menganggap kasus ini sandiwara belaka. "Sekarang ini, saya sedang menghadapi sandiwara hukum oleh pemain ulung," ujar Boaz sengit. Hidayat tentu saja menampik tudingan itu. "Semua ini kan terjadi karena Suryati tidak menaati isi perdamaian, dengan menjual tanah dan rumah yang bukan miliknya," katanya. Pengacaranya, Suparman, menuduh ada yang mendalangi Suryati. "Ada yang bersekongkol dengan dia untuk merebut harta warisan almarhum," katanya. Widi Yarmanto, Happy S., dan Dwiyanto Rudy S. (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini