KALAU saja semua terdakwa boleh bersumpah, untuk membuktikan ia tak bersalah, mungkin penjara akan sepi. Toh tata cara yang tak lazim itu dilakukan oleh bekas bendaharawan Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat Rahmat Hasan, yang diadili dalam perkara penggelapan barang bukti Rp 47 juta di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu pekan lalu. Pada sidang itu, majelis hakim yang diketuai Sarwono membuka kesempatan bagi tim penasihat hukum dari LBH Jakarta mengajukan eksepsi. Tiba-tiba Rahmat, 47 tahun, berdiri di depan meja hijau. Ia membacakan eksepsi setebal empat halaman, sembari mengangkat sumpah -- tangan kanannya memegang Quran di atas kepalanya. Rahmat mengawali aksinya, yang mengagetkan hakim dan jaksa, dengan mengucapkan basmalah. Ia pun bersumpah bahwa ia tak pernah "menilep" barang bukti kasus judi itu. "Saya bersedia dikutuk jika tuntutan jaksa benar adanya," ucap bekas bendaharawan itu, dengan suara berat dan bergetar. Selain menyatakan ia cuma korban fitnah "orang lain", Rahmat juga berjanji tidak akan mempersulit persidangan. Sumpah yang berlangsung sekitar limabelas menit itu ditutupnya dengan bacaan surat Al Fatihah. Pada hari yang sama, sumpah serupa yang berlangsung di Pengadilan Negeri Lubukpakam, Sumatera Utara, lebih "wah" lagi. Terdakwa Mas Jon, 33 tahun, ketika dihadapkan sebagai saksi dalam perkara rekannya. Ricard Hutagalung, meminta agar dirinya tak hanya disumpah sesuai dengan KUHAP. Mas Jon, yang bersama Ricard dituduh membakar gedung Pengadilan Negeri Lubukpakam pada 23 Januari 1989, juga memohon disumpah pocong, yang berasal dari hukum adat Jawa. Tentu saja majelis hakim yang dipimpin Nyonya Enny Mahlina Sinaga tercengang mendengar permintaan itu. Sebab, sumpah begitu cuma bisa dilakukan di sidang perdata. Karena Mas Jon tetap ngotot, majelis terpaksa berunding dahulu selama lima belas menit. Hasilnya, demi kelancaran sidang, majelis mengabulkan permohonan itu. "Tapi sumpah tambahan itu Anda sendiri yang melakukan," kata majelis. Maka, dengan diawali basmalah, Mas Jon pun membaca sumpah, yang ditulisnya di kertas rokok. Panitera pengganti tetap memegang Quran di atas kepala Mas Jon. "Jika saya mengetahui siapa yang membakar gedung pengadilan, terkutuk dan tidak panjanglah umur saya, istri, dan anak-anak saya. Tapi jika saya tak mengetahui, terkutuklah orang yang memfitnah dan menghukum saya," kata Mas Jon, yang mengenakan koplah. Baik Mas Jon maupun Rahmat mungkin menganggap sumpah itu sebagai upaya terakhir untuk membantah tuduhan kendati masih ada kesempatan mengajukan pleidoi. Persoalannya, dibenarkan hukumkah tata cara begitu. Soalnya, bisa-bisa nanti banyak terdakwa, termasuk yang terlibat kasus berat, gampang saja mengobral sumpah agar dibebaskan hakim. Hakim Sarwono tegas-tegas menyatakan, "upaya" Rahmat itu tak bisa dibenarkan. "Dalam kasus pidana tak ada sumpah pemutus seperti dalam perdata," kata lelaki yang sudah 26 tahun menjadi hakim ini. Ia mengaku sebagai orang Timur tak enak jika menginterupsi sumpah Rahmat. Tapi, "Saya akan memotongnya jika ia mengulangi hal serupa. Supaya sumpah ini tak menjadi preseden," tambahnya. Apa yang dikatakan Sarwono itu sudah lebih dahulu dilakukan Hakim Hazli Saleh di Pengadilan Negeri Garut, Jawa Barat. Hazli tak kunjung mengabulkan permintaan sumpah pocong yang diajukan berkali-kali oleh terdakwa kasus pembunuhan Poniran, 36 tahun. Memang, sewaktu mengajukan pleidoi, Poniran juga bersumpah seperti Rahmat. Tapi bukan karena itu jika pada 16 Mei 1990 Hazli memvonis bebas. Vonis itu semata-mata lantaran tak cukup bukti yang mendukung tuduhan jaksa. Artinya, tanpa sumpah pun, tak selalu seorang terdakwa harus terbukti bersalah. Happy Sulistyadi, Yudhi Soerjoatmodjo (Jakarta), Sarluhut Napitupulu (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini