LETNAN Kolonel Laut (P) Dwinanto Prodjosupadmo, 53 tahun, jadi
Walikota Jakarta Utara sejak l966. Mulai berkenalan dengan
Endang Wijaya 1968, dalam dinas. Endang waktu itu adalah
pelaksana pembangunan perumahan Proyek Jembatan II. Sedangkan
Dwinanto, sebelum dibebastugaskan Oktober tahun lalu, menjabat
rangkap sebagai Ketua Otorita Pluit di samping Otorita Sunter,
Marunda dan Ancol.
Hubungan mereka cepat akrab. Dari Dwinanto, tentu saja, Endang
memperoleh banyak keuntungan yang menyangkut perencanaan kota,
pembebasan dan pengosongan tanah. Itulah sebabnya kesaksian
Dwinanto, yang merupakan keterangan penting dalam perkara Pluit,
diharapkan antara lain sebagai berikut.
Ketika itu -- waktu mereka baru mulai akrab -- Pemda DKI tengah
pusing tujuh keliling. Pluit, sebuah daerah rawa dan
perkampungan liar yang kering, sudah sejak jaman Gubernur
Sumarno direncanakan dibangun untuk jadi kota satelit yang
mewah. Tapi siapa yang mau terjun ke sana? Apalagi, menurut
ketentuan DKI, pembebasan dan pematangan tanah, ongkos pembuatan
jalan, air dan listrik, dan uang untuk melayani permintaan
rakyat untuk membangun keperluan mereka ditanggung kantong
pemborong sendiri. Wagub DKI bidang Pembangunan, ir Prajogo,
sudah berkali-kali memanggil pemborong untuk mencari keuntungan
di sana. Tapi, setelah melihat sendiri medannya, semua pada
geleng kepala. Kemudian, muncullah Endang Wijaya dengan PT Jawa
Housingnya.
DKI tak punya uang untuk membangun kota satelit Pluit. Tapi
Endang toh tahu, dari Pemda DKI atau BPO ia dapat memperoleh
surat-surat keterangan yang diperlukan untuk memperoleh dana.
Betul juga. Misalnya dua surat, 20 April dan 20 Nopember 1972
diteken oleh Dwinanto sebagai Ketua BPO. Surat itu menerangkan
bahwa Endanglah pemborong tunggal 2500 rumah di Pluit dan ia
diijinkan menggunakan rumah yang akan dibangun itu untuk jaminan
memperoleh kredit Ternyata, BBD membuka kran kreditnya
lebar-lebar.
Tidak Mencek
Siapa yang salah? BBD tak pernah menghubungi Dwinanto --
setidak-tidaknya untuk mencek, apakah surat dari seorang
Walikota itu bank naardig. Itulah sebabnya Dwinanto, sebenarnya,
telah curiga: Jangan-jangan sebelum dia meneken surat keterangan
tersebut, telah ada pembicaraan lebih dulu antara BBD dengan
Endang dan Herusuko SH, orang BPO yang menyodorkan surat untuk
ditekennya.
Jadi sudahkah Dwinanto tahu bahwa Endang tak bonafid? Dia tak
pernah menyelidikinya. Yang diketahuinya hanya Endang lah yang
sanggup membangun Pluit. Tugas DKl, katanya, hanya mengawasi
pelaksanaan pembangunan fisiknya saja. Soal biaya, tak peduli
dapat dari mana. Hanya, selaku Ketua BPO dan Walikota, Dwinanto
memang banyak memberi kesempatan dan fasilitas kepada Endang,
yang disebutnya sebagai partner BPO. Baik fasilitas yang
berkaitan dengan administratif maupun tehnis. Misalnya, ia
mengeluarkan surat keterangan dan pemberian hak menjaminkan
tanah dan rumah, sehingga Endang mendapat kredit dari BBD.
Endang juga mendapat kesempatan untuk terus bekerja walaupun
surat kontraknya belum diteken. Bagi Dwinanto, kalanya, hal itu
hanyalah untuk "mempercepat kerja" saja. Tapi ia sebagai Ketua
BPO tak pernah menegur, walaupun tahu Endang membangun bangunan
di atas jalur hijau. Seolah-olah Endang berhak merubah rencana
tata kota.
Juga dibiarkannya Endang, bersama Lurah dan Camat, bekerja
membebaskan tanah dari rumah rakyat secara diam-diam. Pun
penjualan rumah, berikutnya, dilakukan sendiri oleh Endang tanpa
melaporkan kepada BPO.
Imbalan
Setelah memberikan kesempatan untuk menunggak setoran sampai
lebih dari Rp 2,5 milyar, Dwinanto juga mengetahui, bawahannya
ada yang mengijinkan Endang menggunakan neraca perhitungan BPO
-- seolah-olah PT Jawa Housing itu berada dalam struktur
organisasi BPO -- untuk menghindari pajak.
Belum lagi kesempatan-kesempatan bagi Endang untuk mempergunakan
kertas surat berkepala BPO dan menempeli mobil-mobilnya dengan
tanda pengenal resmi BPO.
Bagaimana mungkin Endang dapat memperoleh semuanya itu? Beberapa
kali, dalam pemeriksaan yang dilakukan sebelum perkara Pluit
sampai di pengadilan, Dwinanto selalu menyatakan sebagai imbalan
atas kebaikan: Kebutuhan dinas dan pribadinya selalu dipenuhi
Endang. Secara garis besar diperincilah apa yang pernah
diberikan Endang kepadanya. Antara lain: Honorarium bulanan,
perbaikan rumah, pembelian barang perabotan rumahtangga, mobil,
rumah mewah dan lain-lain. Hanya belakangan, dalam sidang
pengadilan, tak semua kesaksiannya tersebut diakui lagi. Tugas
majelis hakim jelas makin berat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini