Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Sebuah Pengakuan Yang Dicabut

Dalam pemeriksaan pendahuluan, Dwinanto Prodjosupadmo mengakui banyak membantu Endang Wijaya menangani proyek Pluit. tapi di pengadilan, banyak yang tak di akuinya lagi. (hk)

16 Desember 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LETNAN Kolonel Laut (P) Dwinanto Prodjosupadmo, 53 tahun, jadi Walikota Jakarta Utara sejak l966. Mulai berkenalan dengan Endang Wijaya 1968, dalam dinas. Endang waktu itu adalah pelaksana pembangunan perumahan Proyek Jembatan II. Sedangkan Dwinanto, sebelum dibebastugaskan Oktober tahun lalu, menjabat rangkap sebagai Ketua Otorita Pluit di samping Otorita Sunter, Marunda dan Ancol. Hubungan mereka cepat akrab. Dari Dwinanto, tentu saja, Endang memperoleh banyak keuntungan yang menyangkut perencanaan kota, pembebasan dan pengosongan tanah. Itulah sebabnya kesaksian Dwinanto, yang merupakan keterangan penting dalam perkara Pluit, diharapkan antara lain sebagai berikut. Ketika itu -- waktu mereka baru mulai akrab -- Pemda DKI tengah pusing tujuh keliling. Pluit, sebuah daerah rawa dan perkampungan liar yang kering, sudah sejak jaman Gubernur Sumarno direncanakan dibangun untuk jadi kota satelit yang mewah. Tapi siapa yang mau terjun ke sana? Apalagi, menurut ketentuan DKI, pembebasan dan pematangan tanah, ongkos pembuatan jalan, air dan listrik, dan uang untuk melayani permintaan rakyat untuk membangun keperluan mereka ditanggung kantong pemborong sendiri. Wagub DKI bidang Pembangunan, ir Prajogo, sudah berkali-kali memanggil pemborong untuk mencari keuntungan di sana. Tapi, setelah melihat sendiri medannya, semua pada geleng kepala. Kemudian, muncullah Endang Wijaya dengan PT Jawa Housingnya. DKI tak punya uang untuk membangun kota satelit Pluit. Tapi Endang toh tahu, dari Pemda DKI atau BPO ia dapat memperoleh surat-surat keterangan yang diperlukan untuk memperoleh dana. Betul juga. Misalnya dua surat, 20 April dan 20 Nopember 1972 diteken oleh Dwinanto sebagai Ketua BPO. Surat itu menerangkan bahwa Endanglah pemborong tunggal 2500 rumah di Pluit dan ia diijinkan menggunakan rumah yang akan dibangun itu untuk jaminan memperoleh kredit Ternyata, BBD membuka kran kreditnya lebar-lebar. Tidak Mencek Siapa yang salah? BBD tak pernah menghubungi Dwinanto -- setidak-tidaknya untuk mencek, apakah surat dari seorang Walikota itu bank naardig. Itulah sebabnya Dwinanto, sebenarnya, telah curiga: Jangan-jangan sebelum dia meneken surat keterangan tersebut, telah ada pembicaraan lebih dulu antara BBD dengan Endang dan Herusuko SH, orang BPO yang menyodorkan surat untuk ditekennya. Jadi sudahkah Dwinanto tahu bahwa Endang tak bonafid? Dia tak pernah menyelidikinya. Yang diketahuinya hanya Endang lah yang sanggup membangun Pluit. Tugas DKl, katanya, hanya mengawasi pelaksanaan pembangunan fisiknya saja. Soal biaya, tak peduli dapat dari mana. Hanya, selaku Ketua BPO dan Walikota, Dwinanto memang banyak memberi kesempatan dan fasilitas kepada Endang, yang disebutnya sebagai partner BPO. Baik fasilitas yang berkaitan dengan administratif maupun tehnis. Misalnya, ia mengeluarkan surat keterangan dan pemberian hak menjaminkan tanah dan rumah, sehingga Endang mendapat kredit dari BBD. Endang juga mendapat kesempatan untuk terus bekerja walaupun surat kontraknya belum diteken. Bagi Dwinanto, kalanya, hal itu hanyalah untuk "mempercepat kerja" saja. Tapi ia sebagai Ketua BPO tak pernah menegur, walaupun tahu Endang membangun bangunan di atas jalur hijau. Seolah-olah Endang berhak merubah rencana tata kota. Juga dibiarkannya Endang, bersama Lurah dan Camat, bekerja membebaskan tanah dari rumah rakyat secara diam-diam. Pun penjualan rumah, berikutnya, dilakukan sendiri oleh Endang tanpa melaporkan kepada BPO. Imbalan Setelah memberikan kesempatan untuk menunggak setoran sampai lebih dari Rp 2,5 milyar, Dwinanto juga mengetahui, bawahannya ada yang mengijinkan Endang menggunakan neraca perhitungan BPO -- seolah-olah PT Jawa Housing itu berada dalam struktur organisasi BPO -- untuk menghindari pajak. Belum lagi kesempatan-kesempatan bagi Endang untuk mempergunakan kertas surat berkepala BPO dan menempeli mobil-mobilnya dengan tanda pengenal resmi BPO. Bagaimana mungkin Endang dapat memperoleh semuanya itu? Beberapa kali, dalam pemeriksaan yang dilakukan sebelum perkara Pluit sampai di pengadilan, Dwinanto selalu menyatakan sebagai imbalan atas kebaikan: Kebutuhan dinas dan pribadinya selalu dipenuhi Endang. Secara garis besar diperincilah apa yang pernah diberikan Endang kepadanya. Antara lain: Honorarium bulanan, perbaikan rumah, pembelian barang perabotan rumahtangga, mobil, rumah mewah dan lain-lain. Hanya belakangan, dalam sidang pengadilan, tak semua kesaksiannya tersebut diakui lagi. Tugas majelis hakim jelas makin berat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus