PENGADILAN perkara Pluit masih berjalan seru. Endang Wijaya,
tertuduh, makin didesak berbagai fakta: bermain di antara
fasilitas yang diperolehnya dari pejabat negara. Tuduhan
subversi dan korupsi makin mengurungnya.
Tapi Endang tidak bermain sendiri. Bersamanya turut terlibat
nama-nama penting. Mereka ini sekarang telah dibebastugaskan
dari berbagai jabatan, yang pernah memberinya peluang bermain
dengan Rp 23 milyar uang negara.
Makin jelas gambarannya - setidaknya yang terungkap di
pengadilan: Endang menyuap pejabat Pemda DKI, Pajak dan
Bank dari berbagai eselon. Bagi Endang, pemberian rumah mewah
(dalam bentuk hadiah, penjualan dengan potongan harga, atau tak
pernah menagih sama sekali pembayarannya), mobil dan sejumlah
uang itu semua "urusan dagang" biasa saja. Sudah masuk
hitungan. Tapi bagaimana dengan pejabat yang menerimanya?
Entahlah. Berkas perkara mereka -- kalau memang hendak
dijernihkan menurut hukum - belum tampak dilimpahkan ke
pengadilan.
Untuk sementara yang tertera ialah gambaran tentang mereka
sebagaimana diperoleh dari perkara ini. Misalnya posisi Dwinanto
Prodjosupadmo, bekas Walikota Jakarta Utara. Ia turut berdiri
sebagai saksi. Telah dua kali, 23 dan 28 Nopember lalu, Dwinanto
menghadap majelis hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Dengan suara lantang ia mencabut kembali kesaksiannya yang
pernah diberikan dalam pemeriksaan pendahuluan. Alasannya pendek
saja: suasana ketika diperiksa dulu oleh Jaksa A. Bhisma dan
Kolonel CPM (Kopkamtib) Oesman Syarief, katanya, "lain" dengan
di pengadilan sekarang. Itu saja.
Cuma Mengaso
Sebagian besar kesaksiannya dicabut. Misalnya, bahwa ia tak
merasa pernah dihadiahi rumah mewah oleh Endang.
Saya hanya dipinjami untuk mengaso saja," kata Dwinanto,
purnawirawan Letkol Laut ini. Sebab, scbagai Walikota dan Ketua
BPO (Badan Pelaksana Otorita) Pluit, waktu itu ia sering
berdinas malam ke Penjaringan. Untuk itu ia merasa memerlukan
tempat mengaso di dekat-dekat sana.
Begitu juga soal beberapa mobil yang dipersoalkan jaksa.
Dwinanto hanya mau mengakuinya sebagai mobil pinjaman dari
Endang. Dua di antaranya, VW Combi dan Safari, "saya beli
sendiri dari uang honor BPO." Dia menerima honor BPO, katanya,
antara 1970 s/d 1973 sebanyak Rp 3,6 juta, 1973 s/d 1976
sebanyak Rp 5,4 juta dan Rp 3,8 juta diterimanya sejak 1976
sampai perkara Pluit meledak, 1977. Penerimaan honor tersebut,
seperti juga diterima pejabat lain, katanya sepengetahuan Wakil
Gubernur, ir Prajogo.
Saksi tak membantah bahwa ia memang pernah menerima sejumlah
besar uang dari Endang yang diatur oleh anak buahnya. Tapi,
katanya, hal itu merupakan bantuan Endang untuk kelancaran
perjalanan dinas meninjau Singapura. Malaysia, Hongkong dan
Taiwan. Juga sejumlah uang "bantuan" yang diterimanya ketika
memimpin regu balap sepeda ke Taiwan dan Bangkok serta untuk
biaya perayaan 17 Agustus-an.
Tapi rupanya sulit bagi bekas Walikota ini untuk mengelak dari
kenyataan pernah memberi berbagai kesempatan kelonggaran dan
fasilitas bagi Endang. Mula-mula, seperti diakuinya dalam
pemeriksaan pendahuluan, perlakuan istimewanya kepada Endang
karena "kami terpengaruh atas sesuatu apa yang kami minta baik
untuk keperluan dinas, maupun pribadi selalu dipenuhi."
Kesaksian begitu dicabut -- walaupun keterangan yang demikian
itu tetap dipegangnya selama tiga kali pemeriksaan pendahuluan.
Kali ini Dwinanto hanya menyatakan, kesempatan, kelonggaran dan
fasilitas yang diberikannya kepada Endang hanyalah merupakan
"kekhilafan" belaka.
Hakim Belum Puas
Adapun bahwa Endang berhasil mendapat milyaran rupiah dari BBD
(Bank Bumi Daya), bahwa ia bisa menghindari pembayaran pajak
berkat ijin menggunakan neraca perhitungan laba rugi BPO dan
penundaan pembayaran setoran lebih dari Rp 2,5 milyar ke kas
DKI, Dwinanto menganggap semua itu bukan kesalahannya. Dia
memang ada mengeluarkan semacam surat keterangan, yang
menyatakan Endang, dari PT Jawa Housing, adalah satu-satunya
pemborong 2500 unit rumah di Pluit. Juga menyatakan tak
keberatan bahwa rumah-rumah yang akan dibangun itu diagunkan
untuk memperoleh kredit bank.
"Apa saudara saksi tahu itu bertentangan dengan undang-undang?"
Begitu desak Hakim Loudoe SH. Dwinanto terpojok. Ia hanya
menyatakan, surat keterangan yang pernah diberikan kepada Endang
hanyalah untuk melaksanakan perjanjian antara DKI dan PT Jawa
Housing. Perjanjian begitu, katanya, "saya anggap sebagai
undang-undang!" Soal bagaimana BBD kemudian dapat mengakui surat
keterangannya sebagai kunci yang dapat memutar kran kredit
berlimpah-limpah, menurur saksi ini bukanlah urusannya.
Pengadilan, yang dipimpin oleh Hakim Soemadijono, belum puas
mendengar kesaksian Dwinanto--yang mencabuti hampir semua
kesaksian penting yang pernah dikemukakannya dalam pemeriksaan
pendahuluan. Minggu-minggu ini ia akan ditampilkan kembali.
Sebab, seperti kata Loudoe, "kami tak dapat menerima alasan
saksi begitu saja." Apalagi, begitu menurut sumber TEMPO di
kejaksaan, kesaksian Dwinanto yang dicabutnya kini dulu
diberikan sendiri secara tertulis dan baru kemudian diketik rapi
oleh pemeriksa sebelum masing-masing menandatanganinya.
Apakah kedua pemeriksa, Jaksa A. Bhisma dan Kolonel Oesman
Syarief, akan dipanggil ke pengadilan untuk dipertentangkan
dengan keterangan Dwinanto? "Tunggu perkembangan lebih lanjut,"
kata Jaksa Suyitno, yang membawa Endang dan saksi-saksinya ke
pengadilan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini