Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Sebuah usul tentang aborsi

Para dokter merasakan soal abortus tak cukup hanya diatur oleh hukum pidana. Diusulkan agar diatur dalam undang-undang tersendiri. Pengguguran bisa dilakukan berdasarkan pertimbangan medis.

15 Februari 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAGI para dokter, masalah abortus agaknya dirasakan tak cukup hanya diatur oleh hukum pidana. Karena itu, rincian dan sanksi pidana tentang aborsi di luar pertimbangan medis, menurut Menteri Kesehatan Adhyatma, akan diatur dalam undang-undang tersendiri. "Selama ini, karena belum ada undang-undangnya, sanksi pidana abortus kriminal diatur menurut KUHP," kata Adhyatma. Pengguguran kandungan, kata Adhyatma, kecuali dalam keadaan darurat, atau berdasarkan pertimbangan medis, adalah perbuatan terlarang. Jadi, aborsi baru dibenarkan jika tim medis menilainya patut dilakukan demi menyelamatkan nyawa sang ibu. Usul yang termasuk dalam salah satu pasal dalam Rancangan Undang-Undang Kesehatan itu, yang disampaikan Menteri Kesehatan Adhyatma dalam acara pandangan umum fraksi-fraksi DPR akhir bulan lalu, mendapat tanggapan keras terutama dari sejumlah ahli hukum. Apakah perlu pengguguran kandungan diatur dalam undang-undang tersendiri? Menurut Prof. Dr. Muladi, abortus adalah tindakan pidana murni yang hanya boleh diatur dalam KUHP. Karenanya, tak boleh diatur dan diintegrasikan dalam undang- undang khusus, kecuali jika undang-undang itu merujuk pada KUHP. Jika tidak, "Ini bukan saja overlaping, tetapi sudah keluar dari asas perundang-undangan yang berlaku," ujar Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Pidana Indonesia itu. Pakar lain yang sependapat dengan Muladi adalah Dr. Loebby Lukman. Menurut dosen di Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu, hukum kian tidak efektif jika suatu hal semakin banyak tersebar dalam berbagai perundang-undangan. Lagi pula, katanya lagi, "Buat apa mengundangkannya lagi kalau sudah ada dalam KUHP." Dalam KUHP, masalah aborsi diatur dalam sejumlah pasal, dengan ancaman hukuman antara 4 dan 12 tahun. Tetapi KUHP memang masih memiliki kelemahan. "Karena perkembangan zaman, kriteria tentang abortus provocatus medicinalis atau aborsi karena indikasi medis belum ada dalam KUHP," kata Muladi lagi. Namun, Muladi tetap melihat undang-undang tersendiri, yang mengatur masalah aborsi, tak akan menyelesaikan seluruh persoalan. "Saya simpulkan, undang-undang itu hanya akan melindungi dokter yang melakukan praktek aborsi berindikasi medis. Agar dokter yang melakukan abortus medis tak dikenai sanksi pidana, dan diberi pembenaran dengan undang-undang itu," katanya. Padahal, peradilan di Indonesia menganut sistem deskriptif normatif artinya yang berhak menentukan praktek aborsi medis atau kriminal adalah hakim, bukan dokter. Hakim pula, kata Muladi, yang memiliki wewenang apakah saksi ahli bisa dipercayai atau tidak, ketika harus menjatuhkan vonis dalam perkara pengguguran kandungan. Tapi kelemahan-kelemahan hukum pidana tentang abortus tak cuma itu. Abortus, misalnya, menurut KUHP adalah jika seorang wanita mematikan kandungannya. Tapi batasan usia kandungan yang boleh atau tidak boleh digugurkan, misalnya, belum diatur dalam undang-undang itu. Akhirnya, di mata hukum, pada usia berapa saja kandungan itu dilenyapkan, jika terbukti karena aborsi, diancam hukuman pidana. "Ini sering jadi masalah. Banyak dukun masuk penjara karena menggugurkan kandungan, tapi dokter yang melakukan aborsi dengan alat canggih aman-aman saja. Ini kan diskriminatif," kata Muladi. Menurut teori kedokteran, meski definisi abortus jelas, yakni usia kandungan di bawah 28 pekan, toh tak berarti abortus tak bisa dilakukan setelah melewati usia tersebut. "Masalahnya tindakan aborsi lebih mudah dilakukan bila kandungan berusia di bawah tujuh bulan itu," ujar seorang dokter. Sementara itu, ulama mengidentikkan abortus dengan pembunuhan. Dilakukan pada usia berapa saja, haram hukumnya. "Sebab, begitu terjadi pembuahan berarti sudah ada kehidupan," ujar Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Hasan Basri. Meski, menurut hadis Nabi roh ditiupkan pada saat janin berusia empat bulan. Namun, MUI sependapat dengan Departemen Kesehatan bahwa aborsi boleh dilakukan jika membahayakan keselamatan ibunya. "Sebab ibu sudah jelas fungsinya, sedangkan kandungan belum," ujar Hasan Basri lagi. Soalnya sekarang, apakah abortus sebaiknya dilakukan semata karena alasan medis. Faisal Moeloek, doktor spesialis kebidanan dan kandungan, punya pendapat lain. Di Kanada, katanya, permintaan abortus terbanyak karena alasan ekonomi (tak cukup uang untuk merawat anak), sosial (belum kawin), dan cukup anak. Yang datang karena alasan medis sedikit. Sedangkan di Indonesia, "Karena orang bertambah pintar, alasan yang terjadi juga kurang lebih sama," kata Asisten I Direktur Program Pasca-Sarjana UI. Karena itu, ia lebih setuju jika abortus dilakukan oleh tenaga profesional, yakni dokter. Karena tindakan itu dapat dilakukan dengan aman dengan teknologi canggih. "Jadi, jika tangan kami dibelenggu dengan ancaman pidana, akibatnya bisa fatal," kata Moeloek. Maksudnya, karena ada ancaman pidana itu, seperti diatur selama ini, dokter takut dan akan menolak melakukan aborsi, akibatnya wanita lari ke dukun. Di tangan dukun itu, akibatnya bisa lebih parah, timbul komplikasi bahkan mengakibatkan kematian. Maka, Moeloek melanjutkan lagi, abortus harus dilihat dari kasus per kasus. Misalnya, antara ibu yang sudah kebanyakan anak dan gadis yang dihamili tunangannya, tentu yang pertama yang patut dikabulkan. Agar abortus tak digampangkan, ia mengusulkan Departemen Kesehatan membuat tempat khusus untuk itu. Jadi, selain dokter kandungan, juga ada konsultan lain, seperti psikolog, tenaga pendidik, atau bahkan guru agama, sebagai terapi pasien agar tak mengulang perbuatannya. Sri Pudyastuti R., Sandra Hamid, Ivan Haris (Jakarta), dan Heddy L. (Semarang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus