Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Terdakwa perkara korupsi timah, Suwito Gunawan alias Awi, terisak di persidangan. Beneficial owner atau pemilik manfaat PT Stanindo Inti Perkasa itu menangis saat menceritakan nenek moyangnya dan masyarakat Bangka Belitung yang bekerja mengais timah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hal ini diungkapkan Suwito saat menjadi saksi mahkota untuk terdakwa kasus kotupsi timah lain, Robert Indarto, yang merupakan Direktur PT Sariwiguna Binasentosa (SBS). Dalam sidang kali ini, Suwito, Robert, dan Rosalina selaku General Manager Operasional PT Tinindo Inter Nusa saling bergantian menjadi saksi untuk satu sama lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penasihat hukum Robert Indarto bertanya apakah Suwito dan Rosalina sudah lama tinggal di Bangka Belitung. Pertanyaan ini berhubungan dengan dakwaan perusakan lingkungan oleh jaksa penuntut umum.
Rosalina pun menjawab dirinya bukan bukan asli Bangka Belitung. Sebaliknya, Suwito menyatakan dirinya berasal dari Bangka Belitung.
"Saudara sejak lahir, berarti warga asli Bangka Belitung, boleh saudara saksi bantu jelaskan kepada kami fakta di sana seperti apa? Kerusakan yang terjadi itu di mana? Apakah itu sudah berlangsung sejak lama?" tanya penasihat hukum Robert Indarto di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Rabu, 4 Desember 2024.
Suwito lantas menjawab, "kerusakan lingkungan terjadi pada semua penambangan."
Ia melanjutkan, penambangan di Bangka Belitung itu dilakukan sejak masih zaman Sriwijaya. "Zaman Belanda, saya punya nenek moyang dibawa Belanda untuk nambang di Bangka," ujarnya sembari terisak.
Suwito menuturkan, baru sejak tahun 2000 masyarakat dapat ikut menambang. Ini terjadi setelah Bangka Belitung menjadi provinsi baru. Pada saat itu, pemerintah provinsi memberikan izin usaha pertambangan (IUP) kepada perusahaan swasta.
"PT Timah tidak membayar royalti, tapi setelah swasta membuka smelter, mereka melakukan pembayaran lagi," ucap Suwito.
Penasihat hukum Robert Indarto kembali bertanya, "apakah di wilayah IUP PT Timah itu berarti masih banyak yang tumpang tindih sengketa?"
Suwito mengatakan PT Timah melepas beberapa IUP mereka. Menurutnya, sebagian besar IUP yang dilepas itu adalah daerah-daerah "miskin" atau bekas ditambang.
Ia melanjutkan, sewaktu dirinya bekerja sebagai kontraktor, harga timah adalah 3.000 dolar per ton. Saat ini harga timah sebesar 30.000 dolar per ton. Dengan kenaikan harga itu, daerah miskin maupun daerah bekas tambang kembali ditambang.
"Masyarakat kita tidak lebih dan tidak kurang adalah pengais timah," ujar Suwito kembali terisak.
Penasihat hukumnya sampai memberikan tisu kepada terdakwa korupsi timah itu. "Tidak ada masyarakat, tidak akan ada timah," ujarnya.
Pilihan Editor: Putusan MK: Jalan Tengah bagi KPK Memeriksa Anggota Militer