Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

hukum

Sejarah Panjang Hak Asasi Manusia, Berikut Tonggak Pengakuan HAM

Bagaimana sejarah pengakuan Hak Asasi Manusia atau HAM?

20 November 2024 | 14.19 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Hak asasi manusia atau HAM adalah hak yang melekat pada setiap individu sejak lahir, tanpa memandang ras, agama, jenis kelamin, atau status sosial. Perjalanan panjang pengakuan HAM dunia telah melalui berbagai tahapan penting.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Berikut tonggak-tonggak sejarah yang menandai evolusi pengakuan HAM secara global, dilansir dari britannica.com.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sejarah pengakuan HAM dapat ditelusuri jauh ke masa lampau, ketika pemikiran tentang hak individu mulai berkembang. Salah satu tokoh awal yang berkontribusi terhadap gagasan ini adalah John Locke, seorang filsuf Inggris abad ke-17.

Locke memperkenalkan konsep "hak alamiah" yang meliputi hak hidup, kebebasan, dan kepemilikan. Pemikiran ini menjadi landasan bagi pengembangan prinsip-prinsip HAM dalam dokumen-dokumen penting seperti Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat (1776) dan Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warga Negara di Prancis (1789).

Kemudian, Perang Dunia II menjadi titik balik utama dalam sejarah HAM. Kekejaman dan pelanggaran masif yang terjadi selama perang, termasuk Holocaust, memaksa dunia internasional untuk mengadopsi pendekatan baru dalam melindungi HAM. 

Pada 1945, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dibentuk dengan tujuan utama menjaga perdamaian dan mendorong penghormatan terhadap HAM. Tiga tahun setelah pembentukannya, PBB mengesahkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) pada 10 Desember 1948. 

Deklarasi ini, yang dirancang oleh tokoh-tokoh seperti Eleanor Roosevelt, menetapkan 30 pasal yang mencakup hak-hak fundamental manusia, termasuk hak atas kebebasan berpendapat, pendidikan, dan pekerjaan. DUHAM menjadi dokumen penting yang memengaruhi banyak konstitusi dan perjanjian internasional di masa mendatang.

Selain pendekatan global, pengakuan HAM juga berkembang di tingkat regional. Pada 1950, Eropa menjadi pionir dengan merancang Konvensi Eropa untuk Perlindungan Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Fundamental. Konvensi ini menciptakan mekanisme unik, yaitu Mahkamah HAM Eropa yang memungkinkan individu mengajukan kasus pelanggaran HAM langsung ke pengadilan.

Di belahan dunia lain, Amerika Latin mengadopsi Deklarasi Amerika tentang Hak dan Kewajiban Manusia pada 1948. Selanjutnya, Konvensi Amerika tentang Hak Asasi Manusia yang disahkan pada 1969 memperkuat sistem HAM regional dengan pembentukan Pengadilan HAM Inter-Amerika. 

Afrika juga mengikuti jejak ini dengan mengadopsi Piagam Afrika tentang Hak Asasi Manusia dan Hak-Hak Bangsa (Banjul Charter) pada 1981. Piagam ini memiliki karakteristik unik, seperti pengakuan terhadap hak-hak kolektif dan kewajiban individu terhadap masyarakat.

Kemudian, Perang Dingin membawa tantangan besar dalam mempromosikan HAM, terutama di negara-negara dengan rezim otoriter. Namun, Konferensi Keamanan dan Kerja Sama di Eropa (CSCE) pada 1973-1975 menghasilkan Kesepakatan Helsinki yang menjadi tonggak penting. 

Meskipun tidak mengikat secara hukum, dokumen ini menetapkan norma-norma HAM yang kemudian membantu mendorong liberalisasi politik di Eropa Timur dan runtuhnya Tirai Besi pada akhir 1980-an.

Pada akhir abad ke-20, berbagai lembaga dan mekanisme internasional dibentuk untuk memperkuat perlindungan HAM. Misalnya, Mahkamah Pidana Internasional (ICC) didirikan pada 2002 untuk mengadili kejahatan berat seperti genosida, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan. 

Selain itu, berbagai instrumen internasional lainnya, seperti Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) dan Konvensi Hak-Hak Anak, menambah dimensi baru dalam perlindungan kelompok rentan.

Belum lama ini, Komisi Nasional Perempuan menemukan ada 450 kebijakan diskriminatif yang berlaku di Indonesia. Sebanyak 56 persen dari kebijakan tersebut, mayoritas merugikan kaum perempuan.

Komisioner Komnas Perempuan Mariah Ulfah Anshor menyebut, terdapat lima kategori kebijakan diskriminatif, yaitu (1) kriminalisasi terhadap perempuan yang mengatur mengenai ketertiban umum, pornografi, dan lain-lain; (2) pengaturan kontrol tubuh yang mengatur pembatasan/pemaksaan busana atas ajaran salah satu agama; (3) pengaturan pembatasan agama yang khususnya ditujukan kepada kelompok minoritas; (4) pengaturan kehidupan beragama berupa pemaksaan melakukan aktivitas ibadah berdasarkan ajaran pemahaman tertentu; dan (5) pengaturan tenaga kerja, misalnya buruh migran yang harus minta izin kepada suami dan ketiadaan perlindungan.

“Menurut saya salah satu upaya paling krusial yang bisa mengubah peraturan daerah diskriminatif ini adalah mengenali cara diskriminasi bekerja,” kata Ulfah, Senin, 28 Oktober 2024.

MICHELLE GABRIELA  I  DINDA SHABRINA I BRITANNICA

Pilihan Editor: Tidak Semua Negara Punya Menteri HAM, Negara Mana Selain Indonesia yang Bentuk Kementerian HAM?

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus