BANYAK orang masih berbicara tentang kurangnya tenaga dosen. Di
ITB, misalnya, yang pekan lalu merayakan Dies Natalis ke-23. Di
sana dosen yang sebanyak 719 orang masih belum mencukupi untuk
hampir 10.600 mahasiswa.
Tiap tahun ITB menerima sekitar 100 mahasiswa baru. Tiap tahun
pula ditariknya 30 sarjana baru untuk menjadi dosen honorer,
yang kemudian diharapkan menjadi dosen tetap, menurut Rektor
ITB, Pro'f: Dr. Hariadi Soepangkat.
Tapi dari perekrutan 30 sarjana baru, ada yang kemudian bekerja
di luar ITB, dan ada yang tak disetujui Dep. P & K. Sedikitnya
enam dosen honoter di jurusan Teknik Industri baru saja mendapat
surat keputusan Dep. P & K, bahwa mereka dianggap "tidak cakap"
untuk bekerja di lingkungan Dep. P & K. Padahal mereka telah
menjadi dosen honorer sejak 1979, dan oleh mahasiswa dinilai
sebagai "dosen yang baik."
Akibatnya, kini di ITB banyak di antara dosennya yang harus
membimbing 30 mahasiswa dalam menyelesaikan tugas akhir.
"Idealnya, seorang dosen hanya membimbing 7.-10 mahasiswa," kata
Prol. Soepangkat.
Di jurusan Astronomi kini tersedia dosen tetap dan satu dosen
luar biasa untuk mahasiswa. Berarti ratio dosen-mahasiswa di
sini cukup ideal, 1:5. Tapi, tentu di jurusan yaulg mempelajari
bintang serta planet-planet ini, kata Dra. Karlina Supeni,
beberapa mata kuliah dirangkap seorang dosen. Bahkan ada pula
yang merangkap menjadi tenaga peneliti, juga tenaga
administrasi. "Seharusnya paling tidak di jurusan saya ini ada
15 dosen," kata Karlina, seorang pengajar berusia 24 tahun.
Dalam kondisi seperti itu penolakan Dep. P & K untuk mengangkat
dosen tetap di ITB terdengar ganjil. Biasanya pencalonan dosen
ITB tidak main-main. Menurut Rektor Soepangkat, prestasi
akademis menjadi knteria pokok. Seleksi itu dilakukan oleh
Majelis Fakultas yang terdiri dari sejumlah dosen senior dari
berbagai jurusan.
Sesungguhnya tak hanya untuk Teknik Industri. Juga untuk jurusan
Astronomi tahun lalu dua dosen honorer, oleh Dep. P & K
dinyatakan tak layak diangkat sebagai pegawai negeri.
Kenapa? Keenarn dosen honorer di Teknik Industri dan dua di
Astronomi pernah dulu menjadi aktivis mahasiswa. Mereka pernah
duduk dalam Himpunan Mahasiswa (Senat Mahasiswa) dalam masa
"genting" sekitar 1975-78, menjelang dan sesudah Pemilu 1977.
Waktu itu mahasiswa ITB gencar "mengkritik kebijaksanaan
pemerintah." Tapi ini bukan alasan resmi pihak Dep.P & K menolak
mereka. Ini hanya dugaan di kampus ITB.
Beberapa dosen honorer malah tidal menerima surat keputusan
penolakan resmi. Dengan kata lain, statusnya terkatung-katung
seperti yang dialami Ir. Budidarma dari jurusan Arsitek.
Pelempar martil itu--meraih medali emas dalam SEA Games 1981 di
Manila--berstatus honorer sejak 1979. Boleh diuji kemampuan dan
semangatnya menjadi dosen. "Saya datang dari keluarga dosen,"
katanya. Ayahnya dosen di Fak. Hukum UI.
Padahal Budidarma selama menjadi mahasiswa tak populer sebagai
aktivis kampus. Ia hanya giat dalam bidang olahraga dan kegiatan
lain yang tak berhubungan dengan politik.
Hal seperti yang dialami Budidarma itu membuat Karlina Supelli
menangguhkan tes pegawai negerinya. Karlina, sebagaimana dosen
honorer yang lain, hanya menerima honorarium Rp 15 ribu per
bulan. Gaji sopir lebih tinggi. Ada tambahan memang, sebesar Rp
15 ribu. Tapi itu dianggap sebagai utang, dan harus dikembalikan
setelah mereka diangkat menjadi dosen tetap.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini