MAHKAMAH Agung (MA) kelihatannya justru memperpanjang sengketa 12 rumah di Jalan Bulusaraung dan Jalan Akademis, Ujungpandang, dengan mengabulkan permohonan peninjauan kembali herziening para penghuninya, Lie Siao Goan cs. Majelis yang diketuai Ali Said sendiri juga tidak menerima gugatan Eddy Haryono, yang sebelumnya memenangkan sengketa tersebut hingga tingkat kasasi. Eddy, menurut majelis hakim agung, bukan lagi menjadi pemilik sah ketika mengajukan gugatan 1982. Ke-12 rumah itu, sejak puluhan tahun, disewa Siao Goan cs. dari seorang janda tua, Nyonya Tan Han Goe Nio. Pemiliknya, Nyonya Tan, tak punya keturunan. Ia memiliki seorang anak angkat, Lie Tiong Hoa. Anak angkat ini punya adik kandung bukan anak angkat Nyonya Tan -- Lie Tiong San alias Eddy Haryono. Sekitar tahun 1980, terjadi jual-beli 12 rumah itu antara Tiong Hoa sebagai kuasa lisan dari ibu angkatnya dan Eddy. Jual-beli itu, konon, hanya pura-pura saja. Sebab, tanah Nyonya Tan, yang berdasarkan hak Barat (eigendom) akan habis masa berlaku HGB-nya. Belakangan, Eddy berhasil mengurus balik nama tanah itu dari Nyonya Tan ke dirinya. "Entah bagaimana caranya ia kemudian juga punya sertifikat," kata pengacara penyewa ke-12 rumah itu, O.C. Kaligis (TEMPO, 12 Juli 1986). Berdasarkan itulah, Eddy menggugat ke-12 penghuni rumah tadi (April 1982). Pada saat sama, Eddy juga mesti menghadapi gugatan kakak kandungnya, Tiong Hoa. Eddy, walau punya sertifikat, dituding bukan pemilik sah. Dalam sengketa Eddy-Tiong Hoa, sampai tingkat kasasi, majelis hakim agung yang dipimpin Asikin Kusumah Atmadja, 23 April 1985, menyatakan Eddy kalah. Namun, beberapa hari kemudian, 2 Mei 1985, dalam perkara Eddy lawan ke-12 penyewa rumah, majelis hakim agung yang sama memenangkan Eddy. Menurut majelis, akta jual-beli rumah antara Tiong Hoa dan Eddy adalah sah. Pengadilan segera mengeksekusi putusan, dengan mengosongkan ke-12 rumah itu 5 September 1985. Eksekusi yang cepat itu mengundang curiga pihak yang kalah. Mereka menduga, Eddy telah memberi panitera pengadilan, Halipu Hamid, uang Rp 28 juta untuk menyogok aparat pengadilan. Jaksa Tinggi Sulawesi Selatan, waktu itu Baharuddin Lopa, pun terjun mengusut permainan kotor itu. Benar pula, Eddy diseret ke pengadilan dan dihukum 5 tahun penjara, Juni 1986. Tapi menjelang Eddy divonis, terjadi adegan mengejutkan. Para penghuni ke-12 rumah, atas perintah Pengacara O.C. Kaligis dan M. Yudha Dahlan, menduduki kembali rumah sengketa itu. Akibatnya, pengacara Eddy, R.O. Tambunan dan M. Ilyas Amin, mengadukan ulah Kaligis dan Yudha yang main hakim sendiri itu ke Menteri Kehakiman, Ikadin, dan Polri. Sementara itu penghuni ke-12 rumah yang dikalahkan, melalul pengacara O.C. Kaligis, mengajukan herziening. Menurut mereka, tanah yang dijual Tiong Hoa kepada Eddy hanya seluas 285 m2 di Jalan Bulusaraung. Ini cuma sebagian dari 2.317 m2 yang disengketakan itu. Kebetulan, tanah 285 m2 itu pun atas nama Johny Wior, dengan sertifikat hak milik tertanggal 20 Februari 1981. Karena itu, MA mengabulkan permohonan herziening itu tanggal 8 September 1988. Sementara itu, Pengacara RO. Tambunan, yang sampai pekan lalu belum menerima salinan putusan itu, menganggap hak kepemilikan Eddy atas tanah dan rumah itu belum pasti hapus. Sebab itu, Tambunan berniat akan menggelar gugatan baru. Apalagi jika ternyata nanti pengadilan menghukum Kaligis dan Yudha serta para penghuni ke-12 rumah itu, dalam perkara penyerobotan tanah dan rumah.Hapy S. (Jala)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini