Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Liku-liku permainan komisi di ...

Kasus permainan komisi di pertamina semakin terungkap di sidang deposito kartika-thahir. pada sidang berikutnya kartika akan menggelar tokoh-tokoh Indonesia yang terlibat. tuntutan Indonesia tak akan mundur.

25 Februari 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PRAKTEK "permainan" komisi di Pertamina di zaman Ibnu Sutowo semakin tersingkap pekan lalu dalam persidangan sengketa simpanan Kartika dan Haji Achmad Thahir sebesar US$ 35 juta -- kini berikut bunga berjumlah US$ 55 juta atau Rp 95 milyar -- di pengadilan Singapura. Pengacara Kartika, Michael Hamilton QC, mengakui bahwa uang deposito di Bank Sumitomo Singapura -- yang disengketakan itu -- berasal dan komisi dari beberapa perusahaan Jerman, kontraktor Pertamina. sererti Siemens. Ferrosthal, dan Klockner. Di persidangan banding yang dipimpin Ketua Mahkamah Agung Singapura Wee Chong Yin, bahkan Hamilton menyebutkan bahwa perusahaan-perusahaan Jerman itu memberikan komisi 10 sampai 11% untuk setiap pembayaran Pertamina kepada perusahaan tersebut. Konon komisi itu diberikan perusahaan itu setelah nilai proyek Krakatau Steel "dibengkakkan" mcnjadi dua kali lipat atau sekitar US$ 2 milyar. Tentu saja pengakuan Kartika itu mengagetkan. Sebab, menurut perhitungan tim penyelesaian kasus-kasus Pertamina, tim Keppres 9-1977 -- di pimpin Taksa Agung (ketika itu) Ali Said, Asisten Hankam/Kopkamtib, (ketika itu) Mayor Jenderal L.B. Moerdani dan Wa Sekab (ketika itu) Ismail Saleh, komisi yang masuk ke rekening bekas Asisten Umum Direktur Utama Pertamina itu berkisar 5%. Kalau Kartika benar, berarti bahwa ketiga perusahaan itu telah memberikan komisi sckitar US$ 200 juta untuk proyek Krakatau Steel. Artinya, selain Mendiang juga ada pejabat-pejabat lain yang kebagian rezeki dari proyek itu. Tapi sejauh ini baru bekas Direktur Utama Pertamina, Ibnu Sutowo, yang terungkap memiliki deposito sebesar US$ 8 juta di Bank Sumitomo Singapura dengan nomor rekening berurutan dengan rekening Thahir -- uang itu, menurut Kartika, juga berasal dari komisi. Proses persidangan perkara Kartika yang berlangsung sejak 1977 itu, bermula dari pertengkaran antara wanita kelahiran Nganjuk, Jawa Timur, itu dengan anak-anak tirinya -- dari istri pertama Almarhum memperebutkan simpanan uang Thahir di Bank Sumitomo tersebut. Pada 27 Juli 1976, hanya empat hari setelah suaminya meninggal, Kartika gagal mencairkan simpanan bersamanya dengan Mendiang di Bank Sumitomo -- setelah berhasil menarik simpanan serupa di cabang The Chase Manhattan dan The Hongkong & Sanghai Banking Corporation. Sebab sebelum ia datang, dua orang putra Thahir Ibrahim dan Abubakar telah lebih dulu mengklaim uang itu. Sengketa antara Kartika, ketika itu berusia sekitar 40 tahun, dan anak-anak tirinya belanjut di pengadilan. Mei 1977 pemerintah Indonesia yang mencium perkara itu secara resmi menuntut uang itu agar dikembalikan ke pemerintah Indonesia karena diduga berasal dari korupsi Almarhum. Tim pengusut yang terdiri dari Letkol (ketika itu) Teddy Rusdy, Suhadibroto (pejabat Kejaksaan Agung), Dikcy Turner (pejabat Pertamina), dan Pengacara Albert Hasibuan -- dipimpin L.B. Moerdani -- menemukan bukti bahwa uang itu komisi yang diterima Thahir -- sebesar 5% -- dari semua pembayaran Pertamina terhadap perusahaan-perusahaan Jerman dalam proyek Krakatau Steel. Sebuah kontrak yang dibayar Pertamina kepada Siemens pada 9 Mei 1974, sebesar DM 57,37 juta, misalnya, pada bulan berikutnya telah masuk ke rekening Kartika-Thahir sebanyak DM 2.868.000 atau 5%. Begitu pula pembayaran Pertamina pada 16 Juli 1974, sebesar DM 31.899, dua bulan kemudian komisinya dibukukan di rekening pejabat itu sebesar DM 1.595.000. Komisi itu, menurut seorang anggota tim, disalurkan oleh perusahaan Jerman tersebut ke rekening Thahir yang memang disiapkan untuk itu -- dengan cara yang sangat rapi. Pertama-tama uang komisi itu diserahkan Thahir kepada pengacaranya. Kemudian sang pengacara menyampaikan uang itu kepada pengacara Kartika dan Thahir. Pengacara yang terakhir inilah yang menyetorkan uang itu langsung ke rekening kliennya. Besarnya uang Pertamina yang masuk ke kantung pribadi pejabat-pejabat di masa "bom" minyak itu memang sulit diperkirakan. Bahkan setelah Thahir meninggal pun, ia masih mempunyai piutang -- komisi yang belum dibayarkan -- Siemens. Dalam sebuah perjanjian yang ditandatangani Kartika dan anak-anak Thahir di depan Notaris Dr Peter F. Kuoler di Basel, Swiss, 29 Agustus 1977, disebutkan Almarhum punya tagihan dari perusahaan Jerman itu sebesar DM 15 juta. Kedua pihak pun sepakat membagi simpanan tersebut. Pengakuan pihak Kartika di sidang pekan lalu itu hanyalah cara baru dari wanita itu untuk melanjutkan dalilnya bahwa "permainan" komisi -- seperti dituduhkan kepada Almarhum suaminya -- merupakan hal biasa di Indonesia. Dalam pembelaannya (statement of defence), Juli 1980, Kartika, melalui kuasanya Ross Monro QC., menyebut 17 nama pejabat penting dan pengusaha besar di Indonesia yang juga menerima komisi, termasuk Ibnu Sutowo. Tuduhan itu diprotes tim pengacara Indonesia, Michael Sherrad QC, Siva Selvadurai, dan Albert Hasibuan. Ketika pengacara itu meminta agar hakim memerintahkan Kartika mencabut kembali tuduhannya itu (strike ot). Sebab, menurut Sherrad, selain tidak relevan dengan pokok perkara, tudingan itu hanya dimaksudkan Kartika untuk membelokkan persoalan ke arah non-yuridis. Pada 1982, dalam putusan selanya, Hakim Pengadilan Tinggi Singapura (High Court) Sinnathuray menerima protes Sherrad. Kartika banding. Menariknya, berbeda dengan proses hukum Indonesia (banding untuk putusan sela diperiksa bersama banding perkara pokok), di Singapura banding Kartika itu menyebabkan persidangan perkara pokok dihentikan untuk sementara. Akibat proses semacam itulah persidangan Kartika -- yang telah berlangsung 11 tahun -- sampai kini belum juga memeriksa pokok perkara. Mahkamah Agung Singapura yang memeriksa proses banding putusan sela itu, Mei 1984, menolak permohonan Kartika tadi. Berdasarkan itu, September 1986, Sinnathuray kembali membuka persidangan tingkat pertama. Di sidang itu Sinnathuray memerintahkan Kartika membuka nama-nama perusahaan yang menjadi sumber depositonya bersama suaminya di Bank Sumitomo dan bank-bank ainnya di Singapura. Sekali lagi Kartika menyatakan banding. Melalui pengacaranya, Gordon Polock QC. -- sampai kini Kartika sudah tiga kali ganti pengacara -- ia menganggap putusan Sinnathuray itu semacam fishing expedition (upaya pancingan). Selain itu, menurut Kartika, hakim telah memaksanya melakukan self incriminating (pengakuan terdakwa yang merugikan dirinya sendiri) -- suatu cara yang terlarang dilakukan dalam proses pcrkara pidana di negara-negara Anglo Saxon Di sidang banding pekan lalu, Ketua Mahkamah Agung Wee Chong Yin menolak sebagian besar banding Kartika. Berdasarkan itu, dalam waktu 60 hari Kartika harus membuka asal-usul uang depositonya di Bank Sumitomo. Hanya saja, hakim banding menolak tuntutan Indonesia agar Kartika juga membuka "rahasia" simpanannya di The Chase Manhattan Bank dan The Sanghai & Hongkong Corporation. Permintaan Indonesia itu, menurut hakim, tidak relevan dengan pokok perkara yang disidangkan. Bisa diramalkan -- jika saja Kartika tak mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung di Inggris -- persidangan mendatang, yang jadwalnya belum ditentukan, akan lebih seru. Sebab Kartika -- yang dari semula telah menyebut-nyebut nama-nama pengusaha dan tokoh Indonesia penerima komisi akan lebih kalap lagi. Yang pasti sampai kini, baik Kartika maupun pemerintah Indonesia telah mengeluarkan dana yang sangat besar untuk berperkara dalam 11 tahun ini. Untuk setiap persidangan, semua pihak harus mengeluarkan dana, termasuk honorarium seorang pengacara berpredikat Queen's Counsel (QC) yang khusus didatangkan dari Inggris, dan pendampingnya pengacara Singapura, sekitar Rp 100 juta. Toh pihak Indonesia tak selangkah pun ingin mundur dari perkara itu. Dan, menurut Teddy Rusdy, pihak Indonesia tak pula akan membagi uang itu secara damai dengan Kartika. "Kami akan konsisten bahwa pemerintah serius menyelamatkan uang negara," kata rekannya Albert Hasibuan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus