MUSIBAH bagi perusahaan penerbangan Garuda Indonesia tidak berarti hanya berupa kecelakaan pesawat. Kali ini perusahaan milik negara itu digugat oleh keluarga tiga orang Jepang yang tewas dalam kecelakaan pesawat DC-9 di Medan, April lalu. Malalui Pengadilan Distrik Tokyo, Rabu pekan lalu, janda korban Abdul Rasyid Shoji Onishi, 38 tahun, bekas konsul muda di Konsulat Jenderal Jepang di Medan, beserta ahli waris dua orang Jepang lainnya, yang juga korban di kecelakaan itu Yorio Hirano (39 tahun) dan Yasunori Murakami (25 tahun) -- keduanya dari Perwakilan Nigata Engineering di Jakarta menuntut ganti rugi dari Garuda sebesar 394 juta yen atau lebih dari Rp 4 milyar. Mereka menuduh Garuda telah melakukan kesalahan, baik ketika terjadinya kecelakaan maupun dalam mengurusi korban-korban kecelakaan. Garuda Indonesia, menurut gugatan yang dikuasakan ahli waris kepada pengacara Shigeru Ebihara dan Susumu Izumi itu, telah melakukan kesalahan, sehingga pesawat DC-9 yang mengangkut 45 penumpang dan 9 awak pesawat dari Banda Aceh dengan tujuan Jakarta itu mendarat dengan perut terbelah di Bandara Polonia, Medan, ketika singgah di kota itu. Akibat kecelakaan, sebanyak 27 penumpang dan awak pesawat tewas ketika itu. Kendati pemerintah sudah mengumumkan kccelakaan itu diakibatkan cuaca yang sangat buruk, pihak keluarga korban tetap meminta pertanggungjawaban dari Garuda. Sebab, pesawat itu lebih dulu menabrak sebuah gardu dan tiang listrik sebelum jatuh dan terbakar di dekat landasan. Padahal, menurut penggugat, pihak Garuda sudah berjanji akan memberikan penerbangan yang aman bagi para penumpangnya. Sebab itu, mereka meminta santunan bagi setiap anggota keluarga yang ditinggalkan berkisar Rp 60 juta sampai Rp 90 juta untuk setiap anggota keluarga. Akibat kematian ketiga orang Jepang itu, kata ahli warisnya, baik korban maupun ahli warisnya telah kehilangan keuntungan yang seharusnya diperoleh. Artinya, seandainya kecelakaan itu tidak terjadi, ketiga korban tentu akan tetap mendapat penghasilan dari pekerjaannya sehari-hari. Kecuali soal itu, mereka juga menuntut ganti rugi berkisar Rp 500 juta untuk setiap korban, karena Mendiang mengalami ketakutan sebelum menemui ajalnya. Setelah kecelakaan terjadi, menurut para ahli waris itu, pihak Garuda tidak pula memberikan pelayanan yang memuaskan kepada keluarga korban untuk mendapatkan informasi tentang sebab-sebab kecelakaan, dan juga tentang keadaan korban. Pihak keluarga Murakami, misalnya, merasa kecewa karena ketika akan membawa mayat korban, ternyata isi peti mayat, menurut mereka, bukanlah Murakami. Karena itu pula, sampai kini para ahli waris itu merasa belum menemukan mayat Murakami. Karena berbagai kesalahan itu, mereka menuntut pengadilan agar menghukum Garuda dengan Jumlah semuanya meliputi Rp 4 milyar. Menurut seorang staf Departemen Luar Negeri Jepang, keluarga korban memang saat ini lagi kesulitan ekonomi, khususnya keluarga Almarhum Abdul Rasyid Shoji Onishi. Janda Onishi, Yoko Onishi, 35 tahun, yang juga beragama Islam, kini terpaksa hidup bersama anaknya Hayato, 5 tahun, menumpang di keluarga orangtuanya di Kobe, atau di rumah mertuanya di Mara, Jepang. Sebab, uang pensiun yang mereka dapat dari Deparlu Jepang ternyata tidak mencukupi, karena Onishi dianggap diplomat muda yang baru saja ditugaskan di Medan, dan bekerja di departemen itu baru 7 tahun. Sebab itu, rekan-rekan Onishi yang pernah sama-sama bertugas dengan Almarhum di Jakarta mengimbau semua kenalan Almarhum agar membantu keluarga muda itu. Yoko Onishi, ketika dihubungi wartawan TEMPO Seiichi Okawa di Nara, mengaku mengalami kesulitan sepeninggal suaminya. "Seharusnya, saya mencari pekerjaan di mana saja, tapi saya dengan Hayato harus menyesuaikan diri dulu dengan kehidupan di Jepang," ujar Yoko. Ia tidak ikut mengurusi gugatan terhadap Garuda itu. "Itu urusan keluarga saya dengan pengacara," katanya. Tapi kenapa harus meminta ganti rugi sebanyak itu? "Karena di Jepang nyawa manusia itu berharga, mayatnya pun berharga, bahkan puntung-puntungnya pun dihargai," kata Konsul Jenderal Jepang di Medan, Takatshi Matsumura. Nilai seperti itu, katanya, tidak terdapat di Indonesia, kendati keluarga korban kecelakaan itu lebih banyak di Indonesia. "Bagi orang Indonesia, kecelakaan itu suatu hal yang sepenuhnya kehendak Tuhan. Sebaliknya, bagi orang Jepang, kecelakaan pesawat biasanya disebabkan kelalaian awaknya atau perusahaan penerbangannya," tutur Matsumura. Matsumura malah menganggap tuntutan warganya itu masih terbilang wajar dan kecil. "Di Jepang pembayaran santunan untuk ahli waris itu jauh lebih besar," ujarnya. Sebab, perusahaan penerbangan Jepang dalam membayar santunan juga menghitung penghasilan korban hingga mencapai usia 60 tahun -- usia pensiun. "Sebab itu, ganti rugi dari Jasa Raharja yang hanya Rp 10 juta dianggap terlalu kecil oleh ahli waris. Itulah faktor utama yang mendorong timbulnya gugatan itu," tutur Matsumura lagi. Matsumura bukan sekadar 'ngomong. Ketika pesawat Boeing 747, milik maskapai penerbangan JAL jatuh di Jepang, Agustus 1985, ganti rugi yang diterima setiap keluarga dari 155 korban mencapai 13 sampai 20 juta yen, atau berkisar Rp 200 juta. Kecuali itu, pihak JAL maupun perusahaan yang membuat pesawat Boeing secara berpatungan juga menanggung biaya penyelamatan korban dan transpor serta akomodasi keluarga mereka yang seluruhnya mencapai 7,2 milyar yen atau sekitar Rp 80 milyar. Pihak perwakilan Garuda di Tokyo mengaku tidak dibenarkan memberikan keterangan oleh kantor pusat di Jakarta. Begitu pula pengacara Jepang yang mewakili Garuda, Yasuomi Hayasida. "Tidak ada komentar," kata sekretaris Hayasida. Tapi seorang staf perwakilan Garuda di Tokyo membantah sebagian gugatan. "Kami sudah mengurus korban dan ahli warisnya semaksimal apa yang bisa kami lakukan. Kami kira apa yang kami berikan tidak kalah dengan apa yang dilakukan penerbangan lain Jika mengalami musibah yang sama," kata orang Garuda itu. Kepala Humas Garuda di Jakarta, Sofyan Alty, juga mengatakan, pihaknya sudah melaksanakan tugasnya sebaik-baiknya dalam menangani kasus kecelakaan itu. "Ketika kecelakaan terjadi dan operasi penyelamatan korban dilakukan, direktur utama pun ikut turun piket bersama satuan tugas yang kami bentuk. Ketika itu selama 24 jam tanpa henti kami mengadakan komunikasi antara pusat operasi di Jakarta dan tim di lapangan," kata Sofyan. Kesulitan yang dialami waktu itu, katanya, adalah mencari alamat korban, karena di tiket hal itu tidak tercantum. Selain itu, ia mengakui, pihaknya sulit menentukan identitas korban, karena banyak mayat yang tidak dikenali lagi wajahnya, termasuk ketiga warga Jepang di atas. Mayat Hirano, misalnya, baru bisa dipastikan setelah dokter membedah kaki korban untuk membuktikan tulang Mendiang pernah retak, seperti disebutkan keluarganya. Tapi Sofyan tidak bersedia menjelaskan kasus mayat Murakami, yang konon tidak ditemukan. "Pokoknya, kami telah berbuat sebagaimana mestinya," katanya. Kecuali mengurus korban sebagaimana mestinya, menurut Sofyan, pihak Garuda JUga sudah memberikan ganti rugi kepada keluarga korban masing-masing US$ 8.000 dan dana Jasa Raharja sebesar Rp 10 juta. Sebab itu, Sofyan tercengang mendengar jumlah ganti rugi yang dituntut para ahli waris itu. "Tuntutan tentu bisa saja berapa pun besarnya. Soal dipenuhi atau tidak 'kan ada aturan hukumnya," tutur Sofyan lagi. Persoalannya, bisakah tuntutan semacam itu diadili di Tokyo? Ahli Hukum AntarTata Hukum, FH UI, Prof. Sudargo Gautama, mengatakan bahwa gugatan itu memang bisa diajukan di Tokyo. Sebab, di tempat itu ada perwakilan Garuda. Tetapi Gautama meragukan ahli waris bisa meminta ganti rugi sebanyak itu. Sebab, di konvensi Warsawa, sudah disepakati bahwa pihak perusahaan penerbangan hanya bertanggung jawab terbatas -- sesuai dengan yang diberikan Garuda itu -- bila kecelakaan disebabkan oleh kelalaian. "Pembatasan itu tidak berlaku bila Garuda terlalu lalai, sehingga kecelakaan terjadi.Sebab itu, harus dibuktikan dulu Garud terlalu lalai atau hanya kelalaian biasa," ujar Gautama. Seandainya tuntutan itu diterima pengadilan, kata guru besar hukum itu, pihak pengadilan Tokyo bisa saja melaksanakan eksekusi vonis itu dengan menyita pesawat Garuda yang mamplr di negara itu. Tapi ahli Hukum Angkasa, Prof. Priyatna Abdurrasyid, menganggap pihak pengadilan Tokyo tidak bisa mengadili Garuda begitu saja. "Sebab, kecelakaan itu terjadi dalam penerbangan domestik, dalam hal itu harus berlaku hukum Indonesia," katanya. Menurut Priyatna, pengadilan Tokyo juga tidak dibenarkan menyita pesawat Garuda yang berlabuh di sana. "Itu tidak dibenarkan Indonesia 'kan negara berdaulat. Ada konvensi internasional yang tidak membenarkan penyitaan pesawat terbang dari negara berdaulat," katanya. Cara terbaik, kata Priyatna, pengadilan mengusahakan perdamaian antara Garuda dan ahli waris korban. karni Ilyas, Laporan Seiichi Okawa (Tokyo), Bunga Surawijaya (Jakarta), Asyadin S.T. (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini