Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUDAH sepekan ini Kris Bayudi tak lagi dihantui mimpi buruk. Ia kini bisa tidur nyenyak tanpa rasa cemas. Sebelumnya, selama delapan bulan mendekam di sel Rumah Tahanan Cipinang, Jakarta Timur, tidurnya tak pernah lelap. Hampir tiap malam ia bermimpi tak enak. Belum lagi—juga hampir setiap malam—teman satu selnya berteriak-teriak. "Dia sudah tak waras karena merasa jadi korban salah tangkap," kata Bayu kepada Tempo di rumahnya di kawasan Koja, Jakarta Utara, Kamis pekan lalu.
Bayu mengaku merasa bersyukur otaknya tak ikut-ikutan miring. Ia punya trik khusus menghadapi sang teman, sebut saja Joni. "Saya berusaha mengajaknya bicara," ujar dia. Lajang berusia 27 tahun ini bukannya tak ngeri. Orang seperti Joni, ujarnya, bisa jadi tak sadar jika menyakiti orang lain. Dia juga kerap mengajak temannya salat meski ajakan itu lebih sering ditampik.
Bayu dipenjara karena tuduhan menyeramkan, yakni terlibat pembunuhan berencana. Ia dituntut hukuman 20 tahun penjara. Namun Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Kamis dua pekan lalu, memvonis bebas Bayu dari semua dakwaan. Sebelumnya ia dituding membantu Rahmat Awifi, 26 tahun, membunuh Hertati dan Eryanti, yang baru berusia enam tahun. Pada hari yang sama, hakim memvonis Rahmat 15 tahun penjara. Hari itu, setelah sekitar delapan bulan meringkuk di tahanan, Bayu menghirup udara bebas. Ia pun pulang bersama orang tuanya ke rumahnya di Jalan Melur Tugu IV, Koja, Jakarta Utara.
Terseretnya Bayu dalam pusaran pembunuhan itu bermula dari penemuan mayat Hertati pada 14 Oktober 2011 di Jalan Kramat Jaya, Koja. Saat ditemukan, jenazah perempuan 35 tahun itu berada dalam kardus. Esok harinya, jenazah Eryanti, anak Hertati, ditemukan di dalam sebuah koper di Jalan Cakung-Cilincing, Cakung, Jakarta Utara. Penemuan mayat ibu-anak itu langsung membuat heboh. "Bayu tahu kabar ini tapi tak menyangka akan terlibat," kata Jefri Moses Kam, pengacara Bayu.
Di persidangan, terungkap bahwa pembunuhan Hertati dilakukan oleh Rahmat pada 13 Oktober 2011. Kala itu, setelah keduanya berasyik-masyuk di kontrakan Hertati di kawasan Sunter, Jakarta Utara, Hertati membaca pesan pendek di telepon seluler Rahmat. Isinya, SMS dari seorang perempuan yang meminta Rahmat bertanggung jawab karena ia telat datang bulan. Hertati mengamuk. Rahmat yang kalap lalu mengambil pisau dan menghunjamkannya ke perut Hertati tiga kali. Eryanti, yang tengah tidur, terbangun dan berteriak. Dengan cepat Rahmat membekap mulut bocah itu hingga tewas.
Lima hari kemudian, polisi menangkap Rahmat setelah menelisik hasil rekaman CCTV. Rupanya, saat Rahmat menggeletakkan mayat Hertati di seberang sebuah bank, kamera CCTV bank merekam ulahnya. Kamera merekam Rahmat tengah menyeret-nyeret sebuah kardus.
Di persidangan, kepada hakim, Rahmat menyatakan, sesaat setelah ditangkap, ia tak langsung dibawa ke kantor polisi, tapi ke sebuah motel di kawasan Cawang, Jakarta Timur. Di sana ia diinterogasi penyidik. Rahmat mengaku disiksa di motel itu. Penyidik, kata dia, tak percaya ia membunuh sendirian. Tak tahan disiksa, ia lalu menyebut salah satu nama rekan kerjanya: Bayu. Keesokannya penyidik mencokok Bayu di pabrik jok mobil di daerah Sunter, tempat ia bekerja. Dia ditangkap saat baru saja memarkirkan sepeda motornya. Ia diseret ke dalam mobil dengan kepala dibekap jaket. "Di dalam mobil, saya dipukuli," kata Bayu.
Penyidik membawa Bayu ke motel yang sama dengan Rahmat, tapi kamarnya berbeda. Di sana ada belasan penyidik mengerumuninya. Ia diperintahkan duduk di sebuah kursi. Tangannya tetap terborgol. Para penyidik menginterogasinya dengan pertanyaan yang selalu sama. Mereka bertanya apakah ia turut membantu Rahmat membunuh Hertati dan anaknya. Bayu, yang merasa tak mengenal korban, menggelengkan kepala. Tapi jawaban itu berbuah tendangan dan pukulan. "Saya tak kuat dipukuli dan terpaksa mengaku ikut membunuh," katanya.
Hingga pukul 20.00, para polisi itu terus menginterogasinya. Ia hanya sesekali diberi minum. Itu pun hanya beberapa teguk karena tangannya masih terborgol. Penyidik juga memberinya sebungkus nasi Padang. Karena tangannya terborgol, dia harus menundukkan kepala ke makanan itu untuk menyantap langsung dengan mulutnya. "Mereka hanya menonton saja melihat saya makan seperti itu," katanya.
Tengah malam, ia dibawa ke Kepolisian Daerah Metro Jaya. Di sana, ia sempat diperiksa. Di ujung interogasi itu, ia dipaksa menandatangani berkas pemeriksaan yang dibuat polisi. Belakangan baru terungkap di persidangan, beberapa tanda tangan Bayu di berkas pemeriksaan itu palsu. Hakim yakin setelah panitera mengambil contoh tanda tangan Bayu.
Saat persidangan pada tahap menghadirkan saksi, Jefri mengerahkan enam buruh yang bekerja di tempat yang sama dengan Bayu. Di depan hakim, semuanya bersaksi, pada malam pembunuhan Hertati dan Eryanti, Bayu berada di tempat mereka bekerja. Kesaksian ini dikuatkan pula oleh kartu absensi Bayu, yang menunjukkan ia baru keluar dari pabrik pukul enam pagi. Di tengah-tengah persidangan inilah, Rahmat kemudian mengaku terpaksa menyebut nama Bayu karena tak tahan disiksa polisi. "Rahmat sebelumnya tak berani mengaku karena diancam penyidik," kata Bayu.
Menurut ibu Bayu, Suharti, saat Bayu ditangkap, tidak ada satu pun polisi yang datang ke rumahnya memberitahukan penangkapan anaknya itu. Polisi memang saat itu mengumumkan penangkapan Rahmat dan Bayu lewat konferensi pers di Polda Metro Jaya. Suharti baru bisa menemuinya setelah anak sulungnya itu lima hari mendekam di tahanan Narkoba Polda Metro Jaya. "Itu pun atas bantuan seorang reserse yang bersimpati kepada saya," ujar perempuan 51 tahun ini.
Perempuan beranak tiga itu menceritakan, saat pertemuan pertama tersebut, kondisi Bayu mengenaskan. Sebagian wajahnya bengkak dan rambutnya acak-acakan. Tubuhnya bau dan terlihat kurus. Ia juga masih mengenakan seragam pabrik. Adapun celana panjang yang dikenakannya robek hingga ke dengkul. "Ibu mana yang tidak hancur hatinya melihat anaknya seperti itu?" kata Suharti.
Kasus salah tangkap ini memang membuat banyak pihak geleng-geleng kepala. Jefri mengatakan dalam waktu dekat pihaknya akan membuat pengaduan resmi ke Bidang Profesi dan Pengamanan (Propam). Bukti kekerasan yang dilakukan polisi tengah mereka kumpulkan, termasuk identitas penyidik yang telah menganiaya dan menangkap Bayu. Menurut Jefri, pihaknya akan menuntut kepolisian bertanggung jawab atas akibat yang kini mesti ditanggung Bayu dan keluarganya. "Mereka kini hidup susah karena selama ini Bayu yang menjadi tulang punggung keluarga." Menurut Jefri, Bayu kini juga trauma atas peristiwa yang dialaminya dan menjadi benci kepada polisi.
Anggota Komisi Kepolisian Nasional, Edi Saputra Hasibuan, juga menyesalkan kecerobohan yang dilakukan polisi. Menurut dia, kasus ini telah menjadi perhatian Kompolnas, yang baru dilantik pada awal Juni lalu. Menurut Edi, peristiwa ini wajib menjadi pelajaran bagi penyidik Polda Metro Jaya dan polisi lain. Ia menyarankan Bayu melaporkan masalah ini ke Propam Kepolisian Daerah Metro Jaya. "Boleh juga diadukan ke Kompolnas agar polisinya bisa kami tegur," katanya.
Kepala Satuan Kejahatan dan Kekerasan Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Jaya Ajun Komisaris Besar Helmy Santika tidak mau berkomentar tentang kasus salah tangkap ini. "Saya tidak ingin berasumsi," katanya kepada Tempo. Dia mempersilakan Bayu dan keluarganya mengadu ke Propam. "Tapi mesti jelas siapa penyidik yang dimaksud, di mana lokasinya, beserta barang buktinya," kata Helmy.
Mustafa Silalahi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo