BUNYI telepon tak berhenti berdering di kantor Dr. Albert Hasibuan, S.H. Ucapan selamat menghujani pengacara Pertamina ini setelah Pertamina memenangkan gugatan terhadap Kartika Thahir, janda almarhum H.A. Thahir, bekas asisten direktur utama Pertamina, di Pengadilan Tinggi Singapura. Dalam putusan setebal 214 halaman yang disampaikan Kamis pekan lalu, Hakim Lai Kew Chai, yang memimpin persidangan, menetapkan bahwa Pertamina berhak atas uang deposito di Bank Sumitomo yang bernilai US$ 76 juta, tersimpan dalam 17 rekening Deutsche Mark (DM). Sementara itu, rekening bernilai US$ 5,76 juta, dalam dolar AS, diputuskan untuk tetap disimpan di Bank Sumitomo. Pertamina dinyatakan tak berhak atas dua rekening ini, karena tak mampu membuktikan bahwa uang itu termasuk uang komisi. Pemilikan uang sebesar US$ 5,76 juta itu sampai saat ini masih diperebutkan Kartika Ratna Thahir, istri kedua Thahir, dengan ahli waris dari istri pertamanya, Rukiah, yang diwakili Ibrahim Thahir. Sesuai dengan ketentuan hukum Singapura, pihak yang kalah harus menanggung biaya perkara yang belum ditetapkan. Sebuah sumber memperkirakan, jumlahnya sekitar Sing$ 5.000. Setelah dipotong biaya perkara, sisa uang di dua rekening Sumitomo itu akan menjadi milik Kartika dan ahli waris Thahir lainnya. Vonis pekan lalu itu klimaks perjuangan panjang Pertamina memburu uang komisi dua rekanan PT Krakatau Steel: Siemens dan Klockner. Untuk memburu uang komisi tersebut, Pertamina kabarnya menghabiskan dana sekitar Rp 8 milyar. Bukan cuma uang yang diburu tim Pertamina. Tapi juga pemutihan citra Indonesia. Dalam kasus ini wajah Indonesia babak-belur. Berkali-kali Kartika menyerang pejabat Indonesia. Kartika menyebutkan, menerima komisi merupakan tindakan wajar di Indonesia. Maka, "Kemenangan ini membuktikan tuduhan Kartika itu tidak benar," kata Albert Hasibuan. Seluruh perkara itu berawal pada sebuah peristiwa empat hari setelah kematian Haji Thahir, 23 Juli 1976. Ketika itu Kartika, yang bermukim di Swiss, terbang ke Singapura untuk mengambil simpanan atas namanya dan H.A. Thahir di Bank Sumitomo. Jumlahnya US$ 35 juta. Sebelumnya ia menarik uang simpanan serupa US$ 45 juta di Chase Manhattan Bank di New York dan The Hongkong & Shanghai Bank, di Singapura. Usaha menarik simpanan di Bank Sumitomo itu gagal. Sebelum Kartika datang, Sumitomo menerima permintaan pemblokiran dari lima anak almarhum dari istri pertama. Ketika itu Kartika bertengkar dengan Ibrahim Thahir, anak tirinya, yang kebetulan muncul di Bank Sumitomo. Tapi pertengkaran ini mereda. Pada 13 Agustus 1976, kedua pihak sepakat membagi dua simpanan tersebut. Ternyata, tanpa diketahui Ibrahim Thahir, Kartika diam-diam mengklaim simpanan itu langsung ke kantor pusat Bank Sumitomo di Tokyo. Ia juga membawa perkara ini ke pengadilan setempat. Dalam tuntutannya, ia minta agar semua uang yang tersimpan di Bank Sumitomo Singapura diserahkan kepadanya. Perkara itu melebar. Pengadilan Tokyo terpaksa memanggil anak-anak almarhum Thahir melalui Kedutaan Besar RI di Tokyo. Saat itulah masalah komisi ini tercium Pemerintah. Diam-diam Pemerintah memasang kuda-kuda untuk merebut uang yang diduga hasil komisi tersebut. Presiden mengeluarkan keputusan (Keppres 9/1977), membentuk tim dengan ketua Jenderal L.B. Moerdani. Anggotanya terdiri dari Perwira Intelijen Teddy Rusdy, Dicky Turner (Pertamina), Soehadibroto (Kejaksaan Agung), dan Albert Hasibuan (pengacara). Tugas tim tersebut mengembalikan uang itu ke kas negara. Pada saat bersamaan Kartika kembali mencari jalan damai dengan keluarga Thahir setelah gagal di Tokyo. Pada 21 April 1977, di Hotel Summit Singapura, Kartika dan anak-anak almarhum Thahir berdamai lagi. Tanpa mengetahui persiapan Pemerintah, mereka kembali sepakat membagi dua harta peninggalan tersebut. Pada 2 Mei 1977 perdamaian itu dirayakan di Hotel Summit. Paginya, menurut rencana, akta perdamaian akan disahkan di Pengadilan Tinggi Singapura. Tak disangka, pagi itu, atase pertahanan Indonesia di Singapura, Emir Mangaweang, muncul dan meminta mereka supaya tidak meninggalkan hotel. Rencana pembagian harta karun itu pun bubar. Putra-putra almarhum kembali ke Indonesia, sedangkan Kartika hari itu juga kabur ke Swiss. Pada 6 Mei 1977, pemerintah Indonesia secara resmi menuntut agar pengadilan mengembalikan uang itu kepada pemerintah Indonesia. Alasannya, uang itu, menurut tim penyidik kasus-kasus Pertamina, merupakan komisi sebesar 5% yang diterima Thahir dari beberapa perusahaan Jerman kontraktor Pertamina, seperti Siemens, Ferrosthal, dan Klockner. Ada dugaan, komisi tersebut diberikan para kontraktor setelah nilai proyek Pertamina, Krakatau Steel, dibengkakkan menjadi dua kali lipat, atau sekitar US$ 2 milyar. Lima belas tahun kemudian, Kamis pekan lalu, tuntutan itu dikabulkan. Dalam pertimbangan hukum, Hakim Lai memakai kombinasi hukum Indonesia dan hukum Singapura. Hakim sependapat dengan saksi ahli Pertamina, Prof. Sudargo Gautama, Prof. Komar Kantaatmaja, dan Mr. Victor de Seriere, yang menyatakan bahwa konsep fiduciar relation dan constructive trust ada dan berlaku di Indonesia. Artinya, seorang bawahan wajib menyerahkan pemberian tidak sah yang diterimanya kepada atasannya. Dalam persidangan, masalah itu menjadi pokok utama perdebatan antara pengacara Pertamina David Hunt dan pengacara Kartika Bernard Eder, yang menyebut sistem hukum Indonesia tak mengenal ketentuan tersebut. Sebelumnya, berdasarkan kesaksian, Hakim menyimpulkan bahwa uang sebesar US$ 76 juta itu adalah uang komisi. Dan hubungan Thahir dengan Pertamina adalah hubungan mandatory, seperti diatur dalam pasal 1802 KUH Perdata. Karena itu, apa yang diperbuat penerima kuasa (Thahir sebagai wakil Pertamina dalam negosiasi dengan Klockner dan Siemens) harus dipertanggungjawabkan dan dilaporkan kepada pemberi kuasa (Pertamina). Pasal 1802 KUH Perdata itu juga mengandung aspek hukum kontrak dan aspek hukum pemilikan. Berdasarkan asas droit de suite, hak pemilikan mengikuti bendanya di mana pun benda itu berada. Menurut Lai, apa yang dilakukan Thahir bertentangan dengan Pasal 1338, 1339, dan Pasal 1603 (d) KUH Perdata, sebagai karyawan Pertamina. Di samping itu, Thahir melanggar UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam putusannya, Hakim menolak dalil pihak Kartika, sebuah yurisprudensi di peradilan Inggris pada abad ke-19, di mana komisi ilegal yang diterima bawahan bukan milik majikan. Menurut Hakim Lai, selain sudah ditinggalkan negara-negara maju, yurisprudensi itu bertentangan dengan conscience of court (hati nurani pengadilan). Kesaksian L.B. Moerdani punya andil besar dalam kemenangan Pertamina. Terutama soal pengakuan Kartika pada Benny pada tahun 1977, yang tertulis dalam dua lembar kertas, bahwa uang simpanan itu memang hasil komisi. Kesaksian Benny diterima hakim secara bulat, sebab unchallenged atau tidak dibantah kebenarannya oleh saksi Kartika. Banyak analisa di Singapura ketika itu mempertanyakan, mengapa Kartika tak mau tampil sebagai saksi, menjawab kesaksian Benny. Tak tampilnya Kartika disaat-saat kritis itu membangun anggapan bahwa ia secara diam-diam memang mengakui kebenarannya. Apakah Kartika akan banding setelah Pertamina memenangkan perkara? Pertanyaan ini akan terjawab pekan ini. Kartika, konon, langsung menemui penasihat hukumnya, Francis I. Spagnoletti, di Houston, Amerika Serikat, untuk merundingkan langkah selanjutnya. Pengacara Kartika di Singapura, Francis Xavier, tak mau memberi keterangan apa-apa. Sementara itu, Albert Hasibuan menyatakan akan segera mengajukan permohonan kepada Bank Sumitomo untuk mentransfer uang milik Pertamina sebesar US$ 76 juta. Tapi pengacara Sumitomo, Mr. Lee Chua Ming, mengutarakan bahwa pihaknya tak bisa begitu saja mentransfer uang itu ke Pertamina. "Sebelum ada perintah hakim, kami tak bisa memenuhinya," katanya. Kemenangan Pertamina ini disambut gembira banyak kalangan. Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri Radius Prawiro tak bisa menutupi rasa gembiranya. "Sepandai-pandainya orang menyimpan bangkai, akhirnya terbongkar juga," kata Menteri Radius. Dekan Fakultas Hukum UGM Yogyakarta, Dr. Maria Wulani Sumardjono, melihat kemenangan Pertamina membawa perkembangan dan konsekuensi pada hukum kita. "Kita harus konsekuen menghukum siapa pun yang menerima komisi ilegal seperti Thahir," ujarnya. "Ini hikmah paling utama." Aries Margono, Nunik Iswardhani, Iwan Q.H., dan Zaimuddin Anwar (Singapura)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini