SERTIFIKAT tanah palsu, seperti diduga? ternyata memang melahirkan berbagai sengketa dan perkara. Salah satu sertifikat palsu -- dari 600 buah yang kini diperkirakan beredar di Jakarta Selatan -- misalnya, ternyata digunakan pemiliknya untuk membobol PT Bank Pasar Gunung Tampomas Jaya (BPGTJ) di Jakarta sebesar Rp 100 juta. Kamis pekan lalu si tersangka pembobol, Komisaris PT Cerianaga Pertiwi, Susanto alias Yadikho alias Akauw, menyerahkan ke Mabes Polri. Sebelumnya telah menyerah pula Direktur PT Cerianaga, David Lay. Kedua orang itu, selain dituduh menbobol PT BPGTJ, juga didakwa telah menggelapkan uang BRI cabang Tanjungpriok Rp 50 juta. Menurut penyidik, pada Agustus 1988 David memohon kredit ke BPGTJ untuk memajukan usaha konfeksinya. Untuk jaminan, ia mengagunkan sertifikat tanahnya itu. Kepada bank David mengaku, pada Juni 1987 ia telah membeli tanah seluas 1.287 m2 di Gang Seha, Kelurahan Grogol Selatan, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, dari enam orang ahli waris almarhumah Sajamah. Akta jual-beli tanah itu, katanya, dibuat di depan Notaris Anasrul Jambi. Pihak bank ternyata percaya. Kredit Rp 100 juta pun cair. "Menurut konsultan kami, yang mengurus pengecekan itu, sertifikat itu dinyatakan clear. Karena itulah permohonannya kami cairkan," ujar bos BPGTJ yang enggan disebut namanya. Pengecekan, menurut konsultannya, juga sudah dilakukan ke Kantor Badan Pertanahan Nasional di Jakarta Selatan. Setelah kredit cair, barulah bank itu mengecek ke lapangan. Ternyata, tanah itu memang bukan milik David. Notaris Anasrul Jambi, yang diterakan sebagai pembuat akta jual-beli antara David dan Sajamah, setelah dicek juga membantah menandatangani akta itu. Usaha konfeksi yang disebut-sebut David akan dikembangkannya dengan kredit itu ternyata juga omong kosong. Berdasarkan semua itu, pihak bank melapor ke Mabes Polri. Pihak penyidik menduga, sertifikat David itu palsu. Sebab, stempel dan tanda tangan pejabat Kantor Agraria Jakarta Selatan yang tertera di sertifikat itu berbeda dengan yang asli. Polisi pun mencari kedua tersangka. David segera menyerahkan diri. Sementara itu Akauw, setelah sempat kabur, akhirnya juga menyerah. Menurut penyidikan, selain membobol PT BPTGJ, duet David-Akauw juga ketahuan, pada Agustus 1988, "mempecundangi" BRI Tanjungpriok Rp 50 juta. Untuk kasus ini David memakai sertifikat tanah miliknya seluas 330 meter di Pademangan, Jakarta Utara. Alamat tersebut tak lain kantor PT Cerianaga Pertiwi, yang juga sebagai rumah tinggal Akauw. Sertifikat tanah Pademangan itu akta jual-belinya ditandatanani notaris palsu. Amir Sucipto, yang sebenarnya hanya staf Notaris Soerdja Soemarta Atmadja. Surat tanah itu diagunkan David untuk mendapat kredit dari BRI Tanjungpriok, Rp 50 juta. Kejahatan itu baru terbongkar setelah Soerdja melayangkan surat ke BRI dan menjelaskan bahwa Amir Sucipto tak berhak menandatangani surat itu. Ia notaris palsu. Anehnya, berdasar penyidikan polisi, kredit untuk PT Cerianaga itu tak dicatat BRI di buku kredit. Nah, kok bisa cair? "Diduga kuat kasus ini melibatkan orang dalam bank," ujar sumber di Mabes Polri. Dengan keterlibatan Amir di sini, diperkirakan pula dalam kejahatan itu David-Akauw bekerja sama dengan tersangka "pabrik" sertifikat palsu Baharuddin dan Dharsono. Ketiganya sudah ditangkap beberapa waktu lalu (TEMPO, 1 April 1989). Sementara itu, kepada polisi, David mengaku selama ini hanya sebagai direktur boneka di perusahaannya. Ia tak tahu sertifikat tanahnya itu palsu. Juga tak diketahuinya dari mana Akauw memperoleh surat tanah itu. "Tugas saya hanya disuruh-suruh Akauw," katanya.WY, Ahmadie Thaha, dan Moebanoe Moera (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini