Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Sidang Etik In Absentia untuk Nurul Ghufron

Dewan Pengawas memutuskan tetap menggelar sidang etik meski Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron tak hadir. Digelar secara in absentia.

6 Mei 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron (kiri) memberikan keterangan pers terkait ketidakhadirannya dalam sidang etik kasus dugaan penyalahgunaan wewenang di Dewan Pengawas KPK di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, 2 Mei 2024. ANTARA/Indrianto Eko Suwarso

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DEWAN dugaan pelanggaran etik Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron tetap digelar pada 14 Mei 2024, meski Ghufron tidak hadir. Anggota Dewas KPK, Albertina Ho, menyatakan jadwal sidang etik tidak akan mundur lagi.

Sidang etik Ghufron semestinya digelar pada Kamis, 2 Mei 2024. Tapi Wakil Ketua KPK itu enggan menghadiri panggilan.

Nurul Ghufron diperiksa Dewas KPK karena diduga melakukan pelanggaran etik dengan mengurus proses mutasi kerabatnya yang berstatus aparatur sipil negara (ASN) di Kementerian Pertanian (Kementan). Dia mengurus proses mutasi ASN itu dengan menghubungi eks Sekretaris Jenderal Kementan, Kasdi Subagyono.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Albertina Ho mengatakan, setelah Nurul Ghufron mangkir dari panggilan pertama sidang etik, Dewas KPK akan memanggilnya kembali untuk hadir dalam sidang kedua yang dijadwalkan pada 14 Mei 2024. “Sidang berikutnya tanggal 14 Mei 2024," kata Albertina kepada Tempo, Ahad, 5 Mei 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Albertina memastikan sidang etik Ghufron tak akan ditunda lagi. Dewas akan tetap melakukan sidang meski tanpa kehadiran Ghufron atau secara in absentia. "Ya," ujarnya.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, mengatakan Dewas KPK memang tetap bisa melanjutkan sidang etik terhadap Nurul Ghufron apabila dalam panggilan kedua nanti mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember itu tetap mangkir.

“Diatur dalam Pasal 7 ayat (4) Perdewas KPK Nomor 3 Tahun 2021,” kata Kurnia. Aturan yang sama ditemukan pada Pasal 11 ayat 4 Peraturan Dewas KPK Nomor 4 Tahun 2021.

Kurnia mengatakan, dalam aturan itu disebutkan, apabila terperiksa, dalam hal ini Nurul Ghufron, tidak hadir untuk kedua kalinya tanpa alasan yang sah, maka terperiksa telah melepaskan haknya untuk membela diri dan segera dilanjutkan tanpa kehadiran terperiksa. “Untuk itu, kami mendorong agar Dewas KPK bisa segera melanjutkan sidang supaya publik juga dapat segera tercerahkan,” kata Kurnia.

Menurut pengamatan ICW, tindakan Nurul Ghufron itu sudah masuk kategori pelanggaran berat dan harus dijatuhi sanksi pemecatan. Sekalipun Ghufron membantah menekan dalam komunikasi dengan Kasdi Subagyono, tapi jabatan yang diembannya seolah-olah memberikan bargaining.

“Bagi kami, itu pelanggaran berat, karena seseorang yang berkomunikasi dengan pimpinan KPK tentu ada rasa kekhawatiran, apalagi ini bahas soal kepegawaian,” kata Kurnia.

Bila dalam sidang pelanggaran etik nanti Ghufron terbukti melakukan komunikasi dan membahas soal kepegawaian dengan pejabat Kementerian Pertanian, Kurnia menyebutkan hal itu bukan sekadar pelanggaran etik. “Kalau terbukti ada komunikasi, ini sudah masuk ke unsur tindak pidana korupsi,” ujarnya.

Namun Nurul Ghufron beralasan dia tak mau menghadiri sidang etik itu karena sedang mengajukan gugatan terhadap Dewas KPK di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Selain itu, ia mengajukan uji materi terhadap Perdewas Nomor 3 dan 4 Tahun 2021 ke Mahkamah Agung.

“Saya sengaja (tak mau hadir), melalui surat menyampaikan, saya berharap pemeriksaan sidang etik terhadap diri saya itu ditunda,” kata Nurul Ghufron di Gedung Merah Putih KPK, Kamis, 2 Mei 2024.

Menurut mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember itu, perkara yang dipermasalahkan sudah kedaluwarsa. Menurut dia, masa kedaluwarsa suatu peristiwa untuk dianggap sebagai pelanggaran etik adalah satu tahun setelah peristiwa itu terjadi. Hal itu, menurut dia, tertuang dalam Perdewas Nomor 4 Tahun 2021. Karena itu, dia menilai Dewas KPK tak bisa menggelar sidang etik terhadap perkara tersebut. “Dalam perspektif saya, laporan yang dimaksud telah kedaluwarsa,” kata Ghufron.

Merujuk pada Pasal 23 Peraturan Dewan Pengawas KPK Nomor 4 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pemeriksaan dan Persidangan Pelanggaran Kode Etik dan Kode Perilaku KPK dikatakan bahwa laporan dan/atau temuan atas dugaan terjadinya pelanggaran dinyatakan kedaluwarsa dalam waktu satu tahun sejak terjadinya atau diketahuinya dugaan pelanggaran.

Atas dasar itulah Ghufron melayangkan gugatan ke PTUN dan uji materi di Mahkamah Agung. Dilansir dari situs resmi MA, gugatan Ghufron itu terdaftar dengan nomor perkara 26/P/HUM/2024 tertanggal 25 April 2024.

“Norma yang digunakan dalam pemeriksaan sidang etik tersebut adalah Perdewas Nomor 3 dan 4 Tahun 2021. Baik materi maupun acaranya sedang saya ajukan uji materi ke Mahkamah Agung," kata Ghufron.

Ghufron berdalih tindakannya itu merupakan bentuk penghormatan kepada Dewas KPK. Ia membantah berkonflik dengan Dewas KPK. "Ini penghormatan tertinggi saya kepada Dewas yang telah membentuk peraturan Dewas agar tegak dan dipatuhi oleh saya dan Dewas juga. Jangan sampai Dewas lupa kalau pernah membentuk peraturan. Sebagaimana diketahui, peraturan Dewas itu dibentuk, disahkan, dan dilaksanakan oleh Dewas," ujar Ghufron.

Ia mengatakan, berdasarkan Pasal 55 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (MK), jika suatu norma sedang diuji, maka turunan norma tersebut bisa ditunda. “Atas dasar itu, saya meminta penundaan. Karena memang saya sedang mengajukan gugatan terhadap keabsahan forum sidang etik yang dimaksud,” katanya.

Menurut dia, jika sidang etik tak ditunda, kepastiannya tak jelas, karena forum yang memeriksa pelanggaran etik sedang digugat ke PTUN Jakarta. “Maka akan memungkinkan bertentangan seandainya putusan di PTUN dan Dewas berbeda,” ujarnya.

Langkah Wakil Ketua KPK itu dipertanyakan oleh eks penyidik KPK, Yudi Purnomo Harahap. Ketidakhadiran Nurul Ghufron dalam sidang etik dinilai Yudi justru malah merugikan Ghufron sendiri. Dalam sidang etik itu, Ghufron seharusnya bisa melakukan pembelaan atas dugaan pelanggaran etik tersebut.

"Kenapa enggak dihadapi saja? Toh bisa melakukan pembelaan. Dia bisa bertanya kepada saksi-saksi di sidang etik. Dia juga bisa punya pembela pendamping," kata Yudi.

Yudi juga mempersoalkan sikap Nurul Ghufron yang memilih menggugat Dewas KPK ke PTUN. Sebab, proses hukum di PTUN terbilang lama, yaitu bisa memakan waktu berbulan-bulan, bahkan mungkin setahun sampai dengan kasasi.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Bagus Pribadi berkontribusi dalam penulisan artikel ini

Ade Ridwan Yandwiputra

Ade Ridwan Yandwiputra

Memulai karir jurnalistik di Tempo sejak 2018 sebagai kontributor. Kini menjadi reporter yang menulis isu hukum dan kriminal sejak Januari 2024. Lulusan sarjana Ilmu Komunikasi di Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik, Institut Bisnis dan Informatika Kosgoro 1957.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus