LIEM Hartono, pedagang yang memanipulasikan Rp 250 juta lebih
dari Bank Pembangunan Daerah DI Yogyakarta, meninggal dunia
tahun lalu dalam status terpidana 17 tahun penjara. Tapi seorang
tokoh yang selama ini diduga melicinkan jalan untuk manipulasi
itu, Sekwilda DIY, Moeljono Moeliadi, dibebaskan dari segala
tuduhan oleh Majelis Hakim Pengadllan Negeri Yogyakarta Senin
pekan lalu.
"Demi keadilan berdasarkan, tanggung jawab terhadap bangsa dan
negara maupun diri sendiri," ujar Sof Larosa ketua Majelis Hakim
ketika menutup persidangan. Sof Larosa yang pernah memvonis
bekas Kadolog Kal-Tim, Budiadji, agak terburu-buru mengetukkan
palunya sehingga tidak melihat Jaksa Soehadi mengacungkan
tangannya. "Selama jadi jaksa baru kali ini saya mendapat
perlakuan begini," ujar Soehadi yang langsung menyatakan banding
atas putusan itu. Sebelumnya Soehadi menuntut Moeljono dijatuhi
hukuman 1 tahun 6 bulan penjara karena terbukti ikut melakukan
korupsi dalam kasus manipulasi uang BPD itu.
Dalam tuntutannya, 12 Februari lalu Soehadi yakin bekas Sekwilda
DIY itu mempunyai andil besar dalam manipulasi itu. Almarhum
Liem Hartono katanya, dalam pemeriksaan membenarkan, inisiatif
pengeluaran uang atas nama kredit bagi pedagang itu dari BPD,
datang dari Moeljono sendiri. Tahun 1973, kata Liem dalam
peradilannya, Moeljono berhasrat ikut bekerja sama dalam bisnis
yang dilakukan Liem, yaitu jual-beli tanah di Jakarta. "Soal
modal saya akan mengatur melalui BPD kebetulan direkturnya kawan
kita. Saya akan mengedrop uang Pemda sebesar Rp 300 juta," ujar
Moeljono seperti dituturkan Liem.
Untuk memperlancar pemberian kredit kepada Liem, setelah
dirundingkan dengan Direktur BPD, Soerjono Tirtodiprojo,
disepakati kredit akan diberikan kepada 15 orang nasabah "semu",
di antaranya sopir BPD sendiri dan dua orang anak Soerjono.
Untuk memperlancar pengisian kas BPD menurut saksi Tjitrokusumo,
bekas kepala Direktorat Keuangan DIY, ia mendapat perintah
langsung dari Moeljono Moeliadi untuk mengedrop uang Pemda ke
BPD. Perintah itu pernah diberikan lisan dan juga pernah dengan
nota. "Sayang sekali saya tidak bisa menunjukkan nota itu," ujar
Tjitrokusumo di persidangan.
Berkat hubungan baik dengan Sekwilda yang juga menjadi anggota
komisaris BPD itu, Liem Hartono berhasil mengeruk uang negara
sebanyak Rp 264 juta. Tapi uang itu, kata Liem, tidak dimakannya
sendiri: 40% dari setiap kredit yang keluar disetorkannya
kembali ke Moeljono di rumah Sekwilda itu atau di kantornya.
Sisanya, baru dibagi dua antara Liem dengan Soerjono, direktur
BPD.
R. Soerjono membenarkan hal itu. Katanya, beberapa kali ia
menemani Liem mengantarkan amplop ke rumah Moeljono. Bahkan
setiap droping uang Pemda akan dilakukan, Moeljono tidak
segan-segan memperingatkan Liem, "Awas, bagianku jangan lupa,
kata Soerjono menirukan Moeljono dalam bahasa Jawa di
persidangan.
Selama rangkaian manipulasi itu, kata Liem, tidak kurang dari Rp
53 juta yang diserahkannya untuk Moeljono. Di antaranya pernah
Liem menyerahkan bagian Moeljono dalam bentuk cek senilai Rp 300
ribu tertanggal 25 April 1974. Cek itu kemudian diuangkan oleh
adik Moeljono yang juga karyawati BPD, dan kemudian dimasukkan
ke rekening Moeljono di bank itu. Berdasarkan semua itu Jaksa
Soehadi yakin, Moeljono terbukti korupsi.
Tapi majelis hakim berpendapat lain. Kesaksian Liem dan Soerjono
menurut Hakim Anggota Sudadi, terlalD berlebihan dan
dibesar-besarkan. Hakim menilai semua kesaksian itu tidak bisa
jadi pegangan. Liem dan Soerjono beberapa kali menemui Moeljono
juga tidak bisa dianggap bukti keterlibatan bekas Sekwilda itu.
"Kalau pencuri datang ke rumah orang, belum tentu orang yang
didatangi juga pencuri," ujar Sudadi. Sebagai pejabat, Moeljono
dianggap Sudadi biasa ditemui banyak orang.
Penyerahan amplop-amplop untuk pejabat daerah itu kata Sudadi,
hanya disaksikan Soerjono. "Sopir yang mengantarkan Soerjono pun
tidak tahu, tambah Sudadi, lagi. Begitu juga cek yang diserahkan
kepada Moeljono, menurut Sudadi, aneh. Sebab ketika itu,
Moeljono belum mempunyai rekening bank. Walaupun kemudian cek
itu dimasukkan ke rekening Moeljono yang dibuat kemudiarb hakim
malah menilai semuanya itu jebalan saja untuk Moeljono.
Apa pun alasan hakim, yang jelas keputusan itu tentu saja
menggembirakan Moeljono. "Biar sekarang masyarakat menilai mana
yang benar dan mana yang salah," ujar Moeljono, 60 tahun,
setelah sidang. Ia segera mendapat ciuman bahagia dari istri dan
6 orang anaknya begitu dibebaskan pengadilan. "Karena kemurahan
Tuhan-lah saya bisa bebas," ujar Moeljono yang pernah dijatuhi
hukuman 1 tahun penjara oleh pengadilan yang sama karena
dianggap memberikan sumpah palsu dalam perkara Liem Hartono.
Tapi kegembiraannya yang lain tentulah karena dalam vonis juga
hakim menyebutkan, deposito uang Moeljono di BBD dan BRI sebesar
Rp 23,6 juta yang pernah diblokade boleh dicairkan pemiliknya.
Ketua Majelis Hakim Sof Lalosa tidak berhasil ditemui karena
sedang cuti. Tapi yang pasti dua hari setelah putusan itu, Sof
Larosa menyerahkan jabatannya sebagai ketua Pengadilan Negeri
Yogyakarta kepada Ohim Padmadisastra. Entah ada hubungan dengan
kasus Moeljono atau tidak, Ketua Pengadilan Tinggi Yogyakara,
RM Tenojo Djojodiningrat dalam sambutannya ketika serah terima
itu mengatakan, "keputusan pengadilan yang tidak adil dan tidak
bijaksana akan tampak aneh dan menimbulkan tanda tanya dalam
masyarakat." Keputusan semacam itu, lanjut Tenojo, bisa
menimbulkan keresahan masyarakat dan menurunkan citra dan wibawa
pengadilan. Sof Larosa dipindahkan menjadi hakim tinggi di
Semarang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini